FOLLOW SEBELUM MEMBACA
Theo Dirgantara. Kehilangan cinta pertamanya, perempuan yang dulu memberinya sebuah diary dan menghilang begitu saja membuat Theo menjadi cowok dingin, ketus, dan pemarah.
Theo mengabaikan semua cewek yang mencoba mendekatiny...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pembaca yang baik, jangan lupa vote, komen, and share cerita ini, ya! dan jangan lupa krisarnya gaesss❤
💌💌💌
Zidan, ketua kelas XII IPA2 memberi kabar bahwa bu Marya yang seharusnya mengajar hari ini tidak bisa hadir karena ada keperluan mendadak. Kelas yang sebelumnya hening kini menjadi riuh, mereka langsung membentuk kelompok masing-masing.
Di barisan depan anak cewek melakukan aktivitas seperti biasanya. Ada yang berselfie. Ada pula yang mengobrol, entah itu membicarakan tentang make up, ataupun menggosipkan seseorang.
Di barisan belakang, anak cowok tak kalah hebohnya. Namun berbeda dengan kelompok cewek yang berpencar, anak cowok di kelas ini justru mengumpul menjadi satu. Mereka menundukan kepala, menatap intens benda pipih di hadapannya. Dengan lihai mereka menggeser jari-jarinya sesekali mengetuk-ngetuk layar ponsel.
Dan sebagian lagi memilih keluar dari dalam kelas.
Seperti mendapat surga dunia, Chika dan Gebby mengikuti plan terakhir. Kedua gadis itu menikmati langkah kecilnya menyusuri koridor menuju kantin yang berada di sebelah barat. Sesekali membalas sapaan murid yang berlalu lalang.
"Eh, Ge. Gue punya Kakak cowok, lho! Mau kenalan sama lo katanya," ujar Chika antusias.
Gebby memutar bola matanya jengah. Ini lagi? Apakah Chika tidak ada pembahasan lain?
"Udah deh, Chik. Udah berapa kali kamu bahas ini? Aku bosen tau dengarnya!"
Gebby sangat hapal ke mana arah pembicaraan Chika. Dimulai dari memberi tahunya tentang Kakak cowok yang Chika maksud dan berakhir setelah berkata, "Pokoknya gue mau jodohin Kakak gue sama lo Ge. Emang gak capek apa ngejar Theo terus? Move on dong! Mending sama Kakak gue. Dia itu ganteng, keren, baik, terus nilai plusnya, kakak gue itu mapan. Jadi lo gak perlu repot-repot nyari duit, tinggal minta terus kita belanja berdua."
Tentu saja Gebby menolak. Ia bahkan tidak tahu siapa Kakak sahabatnya. Tentang paras tampan atau tidaknya itu relatif, semua tidak akan sama pada mata yang memandang, karena mata Gebby bukanlah mata Chika maupun sebaliknya.
Apalagi pemikiran mereka tentang cowok itu sangat berbeda. Contohnya Theo, mungkin hanya Chika yang tidak terpesona raut wajah tampan cowok jangkung itu.
"Serius deh, pulang sekolah lo harus kerumah gue dulu Ge. Pasti lo langsung suka sama Kakak gue."
"Kapan-kapan aja deh Chik. Kasian, kan, kakak kamu juga mau kerja."
"Hari ini dia free. Kenalan aja dulu Ge. ya, ya, mau, ya?" Chika masih gencar menjodohkan Gebby.
"Hm, yaudah deh. Tapi pulangnya kamu harus anterin aku!" Chika menganggukan kepala dan tersenyum lebar.
"Sebagai ucapan terimakasih karena lo mau ketemu Kakak gue. Hari ini gue traktir," ujar Chika langsung bergegas memesan makanan.
Sepeninggal Chika, Gebby merasa sedikit bosan. Sudah sepuluh menit Chika pamit, namun sampai sekarang cewek berambut hitam pekat itu tak kunjung kembali.
Gebby mengembuskan napas. Menopang dagunya dengan tangan kanannya. Manik mata cokelat itu menyapu bersih setiap sudut kantin, mencari keberadaan sahabatnya yang terselip diantara lautan manusia.
Hingga mata bulatnya terfokus pada satu titik. di pojok kantin, cowok yang berhasil memporak-porandakan perasaan Gebby sedang duduk bersama teman-temannya.
Gebby memperhatikan raut datar terpampang jelas di wajah tampannya. Entahlah, rasanya Gebby tak bisa berpaling ke arah lain, seolah semuanya hanya terpusat pada Theo. Ia mengagungkan ciptaan Tuhan yang hampir sempurna, alis tebal, rahangnya yang kokoh, matanya yang tajam dan senyum yang menawan.
Gebby terus memperhatikan gerak-gerik Theo yang duduk tidak jauh dari mejanya. Sesekali Theo tertawa bersama teman-temannya lalu kembali terdiam.
"Kenapa kamu ganteng banget sih Yo? Kan aku jadi susah move on kalau gitu."
Gebby terus memuji ketampanan Theo. Bukan Gebby saja, hampir semua siswi yang berada di SMA Trisakti mengakui bahwa Theo yang paling tampan di kelas dua belas.
"Diam aja ganteng, gimana kalau senyum coba?"
Gebby masih bergumam tidak jelas, membayangkan Theo tersenyum kepadanya. Saat kedua matanya beradu, saling bertemu dengan manik mata hitam milik Theo. Gebby tersentak. Tatapan mereka terkunci satu sama lain.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Namun sayang, tatapan itu hanya mampu bertahan selama tiga detik setelah Theo memutuskan kontak mata mereka.
Gebby menunduk. Sebegitu menjijikan kah dirinya hingga untuk menatap saja Theo tidak sudi.
Apa salah jika ia mencintai Theo?
"KAK GEBBY TADI KAK THEO NGE-EEMPH."
Merasa namanya disebut Gebby mendongak, melirik sekilas adik kelasnya yang sedang beradu argumen dengan Yoan.
Tak lama Chika datang membawa beberapa makanan yang ia pesan.
"Yoan sama Utari bisa diam gak, sih? Berisik banget!" sewot Chika.
"kan biasanya juga emang gitu kali chik, kamu kayak gak tau Yoan aja," bela Gebby.
Chika mencibir, "kok lo jadi belain Yoan?"
Gebby mengelos membiarkan Chika yang terus mengoceh.
"BERISIK!"
Suara bentakan itu berhasil menghentikan acara makan mereka berdua. Gebby melirik Chika yang juga meliriknya, kemudian menatap Theo yang berjalan menjauh meninggalkan teman-temannya.
Gebby mengira Theo akan pergi menuju kelas atau lapangan. Tapi perkiraannya salah, karena Theo sudah berdiri tepat di depannya.
"Lo ikut gue!"
Tanpa mendengar jawaban Gebby, Theo sudah lebih dulu meninggalkannya. Walau sedikit ragu Gebby tetap mengikuti langkah cowok di depannya, sampai di taman belakang sekolah Theo berhenti.