Sebuah Tuntutan

29 6 0
                                    

Keheningan menyeruak kesetiap sudut ruangan itu, sesekali hanya ada suara sendok yang beradu dengan garpu. Para pemilik jiwa yang berada pada ruangan enggan untuk sekedar mengeluarkan suara. Saat ini, semua tengah fokus pada makanan mewah yang sudah dihidangkan rapi pada sisi tengah meja makan.

Seorang pria dengan setelan jas hitam duduk diujung kursi meja, disamping kirinya ada wanita yang mengenakan dress putih yang tampak serasi dengan setelan jas itu. sedangkan disamping kananya ada dua gadis yang memiliki paras sangat berbeda walaupun status mereka adalah saudara.

"Ekhm," pria itu berdehem setelah menanggalkan sepiring makan malamnya.

Entah itu perintah atau memang mereka sudah hafal dengan isyarat itu, semuanya berhenti melakukan kegiatan makan dan segera menandaskan air minum dan mengalihkan perhatian terhadap pria itu.

"Vinka, sekolahmu akan mengadakan seleksi OSN, kan?" tanya pria itu, terhadap anak bungsunya.

Pria dengan setelan jas hitam itu adalah papa Vinka, Andika. Seorang dokter spesialis bedah syaraf dan merangkap sebagai direktur sebuah rumah sakit swasta. Papa Vinka dikenal sebagai dokter yang kompeten dan berwibawa. Hal itu juga tercerminkan, saat ia mendidik kedua putrinya. Tegas dan keras, adalah sifat mutlak dari sosok papa Vinka.

"Iya, pa." Jawab Vinka.

"Bidang apa yang akan kamu ikuti?"

Vinka terdiam.

"Papa mau kamu lebih fokus pada seleksi ini, tidak ada kesalahan satupun yang akan kamu perbuat!" tuntut papa Vinka.

Vinka masih terdiam, tangannya meremas ujung bajunya.

"Tidak ada yang tidak sempurna, walaupun itu hanya nilai ulangan harian." Tambah Andika lagi.

Satu hal yang saat ini terlintas dibenak Vinka tentang ucapan papanya adalah, nilai ulangan matematika Vinka yang hampir sempurna dan hanya mampu mencapai nilai 98.

"Jika mau menjadi putri saya, jangan buat malu dan jadi ujung piramida itu. Semua orang yang tidak memakai otaknya, selalu menjadi pijakan kita dan menjadi dasar piramida." Tutur Andika, sambil mengusap bibirnya dengan tisu.

Suasana hening berubah menjadi mencekam, aura itu selalu muncul saat papa Vinka angkat bicara terlebih lagi membahas dan menuntut segala hal kepada Vinka. Wanita yang berada disisi kiri papanya hanya diam dan sepert enggan untuk ikut campur.

"Baik pa, Vinka akan usahakan yang terbaik." Vinka memberanikan diri untuk menjawab.

Brakk!!

Tangan yang tadinya dibuat untuk mengelap bibirnya itu, saat ini menggebrak sisi meja makan. Vinka berusaha menyembunyikan keterkejutannya dan memasang wajah senetral mungkin.

"Usaha gak pernah cukup, papa tidak minta untuk jadi terbaik. Papa cuma minta segalanya ada ditangan kamu!"

Perkataannya cukup sulit dicerna oleh Vinka, tapi Vinka mengulumnya perlahan agar dapat memahami setiap kata yang diucapkan papanya.

"IQ rendah seperti kamu akan sulit jadi yang terbaik, cukup jangan buat malu papa dan raih semuanya dengan sempurna!" kali ini suara Andika mengeras.

Vinka semakin keras meremas ujung bajunya, tapi wajahnya tak sinkron dengan keadaanya saat ini. Wajahnya tetap tenang dan seolah-olah menerima kalimat itu masuk dengan kasar ke kedua lubang telinganya.

"Rapatnya dilaksanakan setengah jam lagi, kita harus pergi sekarang." Wanita itu akhirnya angkat bicara,

Andika mengangguk, setelah itu pundaknya menghilang dibalik pintu bersama wanita itu.

"Otak dipakai yang bener," gadis yang berada disamping Vinka melanjutkan makanannya yang masih setengah habis.

"Gue pikir lo lebih bodoh dari gue." Balas Vinka, yang hendak pergi meninggalkan ruangan yang benar-benar selalu ia benci itu.

Gadis itu adalah kakak Vinka, lebih tepatnya statusnya adalah kakak tiri. Fay Reyna, seorang putri yang selalu papanya bangga-banggakan itu selalu mengusik hidup Vinka.

***

Kringg... Kringg...

Akhirnya, suara yang dinantikan oleh seluruh siswa menggema pada setiap sudut sekolah. Seketika siswa yang asik dengan mimpi di siang bolong, terbangun dan mengepak seluruh barangnya dan bergegas meninggalkan sekolah. Seolah-olah, sekolah adalah sebuah neraka bagi mereka dan pulang adalah jalan surga yang mereka inginkan.

"Vin, jalan ke gerbang bareng yuk!" ajak Alika, dengan tas yang sudah bertengger dipunggungnya dengan rapi.

Sedangkan Vinka, masih mempertahankan posisinya di bangku. Ia enggan untuk berdiri, lalu mengeluarkan seluruh alat tulisnya lagi beserta beberapa buku dari tasnya.

"Loh, Vin, lo gak pulang? Mau ngapain?" tanya Alika. "Belajar? Kan bisa di rumah..." bujuk Alika, yang masih terus mengoceh.

"Kalau lo mau pulang ya pulang aja!" sentak Vinka, kesal.

Alika cukup lelah untuk berdebat dengan Vinka, akhirnya ia memilih untuk melenggang pergi dan segera merebahkan diri di kasur kesayangannya.

Vinka akhirnya melakukan pendalaman materi dan belajar di kelas, ia enggan untuk pulang. Mengingat seleksi OSN yang akan dilaksanakan pekan ini, Vinka akan lebih memacu dirinya untuk menguasai semua materi yang kemungkinan besar akan diujikan.

Bel pulang sudah berdering sejak 2 jam yang lalu, tapi, Vinka masih berada di kelas dan terus menatap buku-buku yang cukup membuat otak terkoyak. Vinka berencana pulang setelah berhasil mengerjakan 25 soal dengan benar dan tepat.

"Biasanya jam 2 udah di kunci nih kelas, dasar Varo gak becus!" gumam Vinka, mengumpati Varo yang biasanya bertugas untuk mengunci kelas setelah jam pelajaran berakhir.

Tetapi, hingga pukul 4 sore ini kelas masih dibiarkan terbuka dan belum ada siswa yang bertanggung jawab untuk mengunci kelas. Hal itu semakin membuat Vinka kesal dengan Varo selaku ketua kelas.

Vinka tidak pernah tau, bahwa sepasang telinga sedang mendengarkan umpatan kesalnya dari samping sisi luar pintu. Sang pemilik telinga hanya terdiam sambil melipat tangannya, seolah menunggu penghuni kelas terakhir untuk segera meninggalkan kelas.

***

Dikit ya? (emang, cuma 800an kata)

Selamat menikmati kisah "Rehat"

Semoga akan mengikuti hingga akhir cerita 💓

REHATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang