Mimisan

27 4 0
                                    

Pengumuman Seleksi Olimpiade :

Bidang Matematika : Alvaro Azri Narendra (Score 100/100)

Bidang Kimia : Alvaro Azri Narendra (Score 98/100)

Bidang Fisika : Vinka Maudry (Score 95/100)

....

....

Suara gaduh terdengar dari arah madding, semua siswa tengah memperbincangkan penguman seleksi. Banyak diantara siswa yang kagum karena Varo dapat mewakili sekolah dalam dua bidang olimpiade. Tak sedikit juga yang kagum pada pencapaian nilai Vinka, mengingat fisika cukup sulit dikalangan para siswa program MIPA.

"Wah, gila sih Varo."

"Score sempurna matematika, kimia juga disabet."

"Gue mau dong irisan otak Varo."

"Semua otaknya aja lo ambil, ngapain setengah-setengah o'on!"

Vinka sudah berada di sisi madding, awalnya senyumnya sedikit tertarik karena ia berhasil lolos seleksi. Tapi, lengkungan itu berubah menjadi datar karena pujian semua orang mayoritas tertuju pada otak Varo.

"Berisik!" sentak Vinka, lalu ia berlalu meninggalkan kerumunan dan segera pergi ke kelas.

"Dasar nenek sihir!"

"Mak lampir!"

"Yaa, pagi-pagi si singa udah bangun..."

Alih-alih menggubris setiap celotehan para siswa, Vinka tetap melanjutkan langkahnya untuk segera menyemayani bangkunya dan menatap buku-buku. Hari ini akan melelahkan, mengingat jadwal pelajaran Vinka dialihkan sebagian untuk belajar persiapan olimpiade.

Baru saja Vinka akan mengistirahatkan tubuhnya didasar bangku, Varo menghampirinya dan memberikan secarik kertas kosong. Vinka menatap Varo dengan tatapan penuh pertanyaan.

"Gue kemarin udah bagi tugas kan."

"Terus?"

"Rancang materinya disitu!" pintah Varo, lalu kembali pada bangkunya lagi.

"Lo kira gue babu hah!" sentak Vinka, yang tak mendapat jawaban dari Varo.

Vinka ingin meremas kertas itu, tapi niatnya ia kurungkan, mengingat tugas proyek ini benar-benar penting untuk nilai keterampilan sejarah wajib. Vinka menyimpan kertas itu didalam loker, lalu membuka buku fisika dan mulai mencoret-coret diatas lembar kertas.

"Var, gue bisa gila kalau se kelompok ama tuh mak lampir..." rengek Rama.

"Nikmatin Ram, nilai lo pasti bagus dahh." Timpal Ujan.

Bug!

Sebuah buku mendarat tepat pada ubun-ubun Fauzan.

"Pala lo! Gue lebih baik mikirin kesehatan jiwa gue daripada nilai gue tikus!" umpat Rama, pada Ujan.

"Sakit goblok!"

"Var... jangan libatin gue dalam kelompok dong, gue numpang aja deh," Rama tak kunjung berhenti untuk membujuk Varo.

"Lo bilang sama Vinka." Usul Varo, yang langsung menerima jitakan keras dari Rama.

Usulan yang akan membawanya pada neraka dan bayang-bayang Vinka mencacinya akan membuat rambut Rama rontok selama semalam. Jelas Rama akan menolak usulan itu dan memilih untuk diam serta menerima nasibnya.

***

Seharusnya sepulang sekolah, Vinka maupun Varo masih harus mengikuti bimbingan tambahan persiapan olimpiade. Tapi, melihat semua siswa yang terlibat cukup kelelahan karena hampir setengah dari seluruh jam pelajaran diambil alih untuk bimbingan. Akhirnya, para guru pembimbing masing-masing bidang sepakat untuk mempulangkan mereka, untuk bersitirahat.

Beda halnya dengan Vinka, seharusnya ia pulang dan merebahkan diri diatas kasur. Tapi, ia memilih untuk pergi ke kelas dan melakukan bimbingan mandiri mengingat pulang adalah jalan terburuk yang terlintas diotaknya.

Suasana hening tercipta pada setiap sudut kelas, Vinka seorang diri tengah berkutik dengan angka-angka dan rumus yang benar-benar akan membuat otak jungkir balik.

Waktu sudah berlalu 3 jam setelah bel berdering. Matahari sudah tergelincir, hampir menuju senja. Angin berhembus kasar pada dedaunan, diikuti oleh awan pekat yang mengisyaratkan akan turun hujan. Tapi, sang pemilik jiwa sudah lupa akan waktu.

"Ck," kesekian kalinya ia berdecak kesal sambil membanting kasar penanya.

Vinka menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku, menatap sejenak langit-langit kelas yang tampak kusam tak terawat apik. Matanya terasa kantuk, ia ingin sejenak saja bisa menikmati gambaran mimpi. Tapi, beban pada pundaknya tak mengizinkan untuk beristirahat barang sejenak saja.

"Agh," Vinka memekik, saat lendir merah keluar dari sisi hidunya tanpa permisi.

Spontan Vinka segera mencari tissue disekitarnya, ia kelimpungan saat cairan itu terus mengalir hingga membuat bukunya ikut memancarkan aroma darah dan baju putihnya ikut terteteskan.

Tiba-tiba, sebuah tissue menempel pada sisi hidungnya.

"Otak butuh istirahat." Ucap Varo, yang entah darimana tiba-tiba muncul dihadapan Vinka saat ini.

Varo meraih dagu Vinka, dan mendorongnya keatas.

"Jangan nunduk, lo mau kehabisan darah?"

Melihat Varo masih menempelkan tissue pada hidung Vinka, Vinka segera menepisnya kasar dan mengambil alih tissue tersebut. Vinka buru-buru membersihkan darah mimisanya yang meluber hingga bibirnya.

"Lo emang gak ada tanggung jawabnya ya," timpal Vinka, setelah mimisannya cukup meredah. "Sampai jam segini lo belum kunci ke—"

"Lo kunci sendiri, lo yang pakai kelas!" sela Varo meninggalkan kunci pada dasar meja Vinka, lalu segera melangkah keluar tanpa sepatah kata lagi.

Vinkahanya menatap kepergian Varo dengan tatapan datar, tak ada minat untuk sekedarmengelak maupun mengucapkan 'Terimakasih' kepada Varo. Vinka terlalu lelah untuk melakukan hal itu. Akhirnya,tubuh Vinka bereaksi untuk mengisyaratkan istirahat.

***

Kritik, saran, maupun masukan sangat diterima ya.
Silahkan komen dibawah ! 🙇‍♀

REHATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang