Mulai Akrab

12 1 0
                                    

Alvaro tampak rapi hari ini, ia mengenakan kemeja biru tua yang dipasangkan dengan celana jeans. Rambutnya ditata apik, sedikit dipoles dengan minyak rambut. Aroma parfum khas laki-laki, juga tercium dari beberapa lekuk kemejanya.

Laki-laki itu saat ini tengah duduk manis, disalah satu bangku yang disediakan oleh pihak LAPAS atau lembaga pemasyarakatan. Setelah mendapat surat izin kunjungan, dan mendapat stempel lengan. Alvaro dipersilahkan untuk duduk hingga menunggu namanya dipanggil.

Tidak butuh waktu terlalu lama, karena saat ini LAPAS tampak sepi akan pengunjung. "Alvaro Azri Narendra!"

Setelah namanya dipanggil, Varo segera beranjak mengikuti salah satu sipir yang memandu menuju ruang kunjungan.

"15 menit, ya." Pesan sipir itu, lalu meninggalkan Varo.

Sepersekian detik, seorang pria yang tampak berumur 50 tahun keluar dari balik pintu dengan kedua tangan yang terpasang borgol. Ekspresi wajahnya menyapa ramah pada Varo, senyumnya seketika merekah sempurna.

"Varo, jangan sering-sering kesini, nak. Kamu harus jaga nenek di rumah, tidak usah peduliin ayah. Ayah baik-baik saja, kok."

Pria itu adalah Pramitya Narendra, ayah kandung Varo yang sudah mendekam satu tahun dibalik jeruji besi.

Masih seperti hari-hari yang lalu, Varo hanya akan duduk dan mendengarkan seluruh ucapan ayahnya tanpa ingin membalas atau mengeluarkan suaranya.

Varo melirik wajah ayahnya, yang mulai terlihat kurus dengan kantung mata kecoklatan. Sepertinya ayah Varo tidak cukup tidur. Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa saat ini baik-baik saja?

Lagi-lagi, Ayah bohong.

Varo hanya membatin.

"Gimana sekolah Varo? Jangan terlalu pikirkan yang berat-berat, nikmati aja masa sekolah kamu tanpa terbebani apapun." Pria itu masih terus menceloteh, walaupun lawan bicara dihadapannya tak sedikitpun bergeming.

"Ayah seperti ngomong sama tembok ya, hahaha...." lagi-lagi, pria itu tertawa bahagia seakan-akan pundaknya begitu ringan akan beban.

Selalu seperti itu. Varo benci, saat melihat ayahnya yang selalu berusaha baik-baik saja seolah-olah bahagia berada didalam sana. Ayahnya selalu tampak bahagia dihadapan Varo, dengan selalu mengatakan,

"Ayah baik-baik saja, jangan khawatirkan ayah."

"Ayah makan enak disini"

"Teman satu sel ayah, memperlakukan ayah dengan baik."

Kalimat itu yang terus-menerus Narendra, ayah Varo ucapkan. Varo benar-benar muak, sesekali ingin ia mengungkap apa yang sebenarnya ingin Varo ucapkan. Seperti,

"Ayah gak baik-baik aja!"

"Itu bukan kesalahan ayah!"

"Jangan merasa bahagia didalam sana!"

"Ayah bukan penjahat!"

Tetapi, lidahnya keluh. Mulutnya tak ingin terbuka, fikiranya selalu tertutup saat berhadapan dengan sang ayah. Kata-kata yang ingin terucap tiba-tiba menguap begitu saja, bergantikan rasa sakit hatinya yang teramat.

***

Pagi ini, suasana kelas benar-benar mencekam setelah beberapa menit Varo menyampaikan amanat dari Bu Desi. Bukan hanya Vinka yang saat ini merasa otak maupun raganya terbakar, tapi hampir seluruh kelas.

"Gak ada gunanya marah-marah, kerjain tugas sebelum bel!" Varo kembali membuka suaranya.

BRAK!

Tangan itu, kembali menggebrak sisi meja Varo sepagi ini.

"Lo gak bisa nolak? Lo sengaja, ya?" tuding Vinka.

Hanya satu hal yang saat ini membuat Vinka benar-benar kesal, presentasi tugas proyek dan materi diubah begitu saja tanpa persetujuan semua murid sekelas. Bagaimana bisa Vinka tidak marah, saat tugasnya sudah selesai dan hanya menunggu waktu presentasi?

"Lo cuma ngangguk aja, kayak anjing yang lagi minta makan? Gitu?"

Akan sia-sia jika Vinka berbicara dengan makhluk didepannya saat ini. Vinka memilih pergi meninggalkan seluruh isi kelas, melangkahkan kakinya dengan setiap hentakan untuk menuju ruang guru.

Tanpa berpikir dua kali, Varo segera menyusul Vinka. "Vinka!"

Sang pemilik nama tidak menghentikan langkahnya, sampai sebuah tangan menahan lengan kanannya.

"Lo mau ngapain kesana?" tanya Varo dengan tenang.

"Terserah gue, kalau perlu gue bisa gebrak setiap meja yang ada disana." Ucap Vinka tanpa beban, emosinya saat ini benar-benar ada pada puncak ubun-ubun.

Varo menghela nafasnya, "Gue udah bicara sama Bu Desi."

Kedua alis Vinka tertautkan, seolah-olah menagih ucapan selanjutnya dari mulut Varo. Saat ini, Vinka tak ingin digantungkan oleh kalimat Varo.

"Hasil tugas proyek kemarin, tetap dikumpulkan tapi nggak ada presentasi."

"Oh."

Setelah itu hening, emosi Vinka seketika turun dengan drastis. Disatu sisi ia kecewa tau perasaan senang menelisik masuk, karena ia tak perlu memastikan Alika dan Rama untuk menghafal teks presentasi yang telah Vinka dan Varo susun.

Lalu, kenapa Varo tidak mengatakan kepada seluruh isi kelas?

Sebuah pertanyaan yang tidak akan Vinka utarakan, terlintas dalam benaknya sekilas.

"Dahi lo?"

"Udah gue kompres," saut Vinka memutar tubuhnya kembali dan berniat kembali ke kelas.

Sejak kapan keduanya bisa seakrab ini?

Vinka maupun Varo tak merasa keberatan berjalan bersisian, walaupun keduanya hanya akan membungkam mulut dan hanya mengatakan hal-hal yang benar-benar diperlukan. Setidaknya, Vinka perlahan bisa meredam emosinya saat berada disamping Varo.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

REHATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang