Mulut Pedas

28 5 0
                                    

Berhubung dengan awal semester baru, terjadi perombakan pengurus osis hingga ketua osis. Banyak muba yang mulai mengantre didepan ruang osis untuk mengisi formulir, dan tak sedikit juga siswa kelas sebelas yang menjajaki antrean.

Antusias para siswa cukup tinggi, mengingat jabatan osis selalu populer dikalangan warga sekolah. Tapi, tak sedikit juga yang membenci perangkat sekolah itu.

"Vinka?" Fani selaku koordinat pendaftaraan cukup terkejut melihat keberadaan Vinka.

"Cuma isi doang kan?" tanya Vinka, lalu tangannya mulai meraih pena dan mengisi semua kolom kosong yang berada pada secarik kertas. "Gue boleh isi jabatannya jadi ketua?"

Fani membelalak, wajahnya tak ingin terlihat terkejut. Tapi rupanya hatinya tak ingin mengajak air wajahnya bekerja sama.

"Tapi Vin, kalau gak ada surat rekomendasi dari guru lo ga—"

"Gue tanya, boleh apa nggak? Gue gak butuh penjelasan dari lo!" kesal Vinka.

Gadis didepannya jelas-jelas tak ingin membuat kegaduhan, sehingga ia hanya menimpalinya dengan anggukan kecil. Padahal, untuk mengisi jabatan itu hanya boleh dari anggota osis yang sudah mengabdi selama setahun. Kecuali, ada surat rekomendasi dari para guru yang membolehkan siswa tersebut mencalonkan diri walaupun sebelumnya bukan anggota osis.

"Nih," Vinka mengeluarkan sebuah amplop putih dan menyimpannya diatas meja.

Fani segera membuka amplop tersebut, lalu lagi-lagi terkejut dengan tulisan cetak yang berada pada kertas didalamnya.

"Ehm, sejauh ini masih ada 2 kandidat ketua Vin, jadi lo persiapin untuk debat sama kampanye kecil-kecilan aja ya..." pesan Fani, setelah menyimpan kertas itu disakunya.

Pesan Fani ternyata tak digubris, Vinka dengan seenaknya melenggang pergi setelah urusannya dirasa sudah rampung. Telinganya seketika panas, saat beberapa siswa disana berbisik menjelekkan Vinka karena berhasil mendapat surat rekomendasi guru.

***

Tuk! Tuk!

Suara penggaris yang diketukkan di papan mendominasi ruang kelas XI MIA-3 saat ini. Seketika semua siswa mengalihkan perhatiannya dan menfokuskan diri pada Varo yang sudah berdiri didepan.

"Hari ini Pak Bagas ada rapat, jadi kalian belajar sendiri lalu latihan soal." Ucap Varo menyampaikan amanat dari sang guru, yang baru saja meninggalkan sekolah untuk pergi ke dinas.

Jam kosong adalah surga bagi kelas unggulan, jarang sekali atau hampir tidak pernah guru meninggalkan kelas mereka. Walaupun guru itu sedang sakit, mereka akan mebela-belakan untuk tetap mengisi jam pada kelas itu.

Para siswa bersorak kecil, alih-alih mengambil buku dan belajar. Mereka lebih memilih untuk bermain ponsel, bercengkerama, gosip, bahkan tidur dibelakang kelas. Varo sebenarnya keberatan karena mereka tidak melaksanakan amanat Pak Bagas. Tetapi, kali ini Varo ingin memberi mereka kebebasan. Toh, tidak belajar pun mereka akan tetap pintar.

Berbeda halnya dengan Vinka, ia tetap melaksanakan amanat dari Pak Bagas. Memasang headseat dikedua telinganya. Meredam seluruh kebisingan disekitar, serta menutup kemungkinan untuk Alika mengajaknya bicara.

"AKHIRNYA KELAS GUE JAMKOS!!" teriak Rama, sambil berdiri diatas kursi.

"Ram, lo emang gak pernah pantes masuk nih kelas. Heran gue kenapa lo bisa masuk sini, nyogok lo ya?" tuding Ujan, menarik perhatian Varo untuk mendengar jawabannya juga.

"Ngawur lo! Gini-gini gue tiap hari dikasih makan daging biar otak gue penuh nutrisi"

"Daging tikus? Kasian banget idup lo," timpal Ujan.

"GUE ADUIN EMAK GUE LO JAN, BIAR DIGEBUKIN AMA RAMBUTAN!!"

Ujan maupun Varo tak menggubris, mereka sibuk menertawakan kekonyolan sahabatnya itu. Memang, diantara mereka hanya Rama yang terlihat aneh saat masuk di kelas unggulan.

"Lo bisa diem gak sih!!" suara bentakan terdengar dari sisi bangku depan.

Seluruh kelas tiba-tiba terdiam. Lalu, meninggalkan kegiatanya dan menarik perhatian terhadap kedua siswa yang tampaknya tengah berseteru.

"Tuh cewek PMS tiap hari kali, ya..." Rama menggeleng-gelengkan kepala, lalu tak minat lagi akan suara bentakan itu.

"Vin, gue kan cuma bosen..." lirih Alika, seraya menundukkan kepalanya.

Ck!

Vinka benci situasi ini, seolah-olah ia telah menghardik Alika dan tatapan jengkel terang-terangan ditujukan kepadanya dari beberapa pasang mata saat ini. Apa Vinka salah jika ingin tak diganggu? Apa Vinka salah saat seseorang mengusiknya?

"Lo bisa gak sih gak usah bersikap seperti anak kecil? Lo itu kayak bocah!" tuding Vinka, suaranya mulai meninggi.

"Vin, lo kok ngomongnya gitu sih?" Alika berusaha mengelak, tapi dia tak akan mampu menandingi seorang Vinka saat sedang emosi.

"Lo gini karena dulu gue pernah nolongin lo waktu smp? Hahaha...."

Vinka tertawa miris. Semua anggota kelas semakin menarik diri untuk mendengarkan kalimat lanjutan dari mulut Vinka.

"Gue gak pernah ada minat buat nolong lo! Lo emang pantes di posisi itu, lo pantes di bully. Dan lo tau kenapa?"

"Vin..." suara Alika semakin lirih.

Alika tak mau semua orang tau bahwa dahulu ia selalu ditindas saat SMP. Alika dulu adalah gadis pendiam yang hanya bisa menjadi pesuruh dan sasaran semua murid dikelasnya. Alika menjadi lemah, saat seseorang mengungkit masa lalunya.

"Lo itu masih bocah! Kekanak-kanakan! Dan lo—"

"VINKA!" kali ini, seorang laki-laki membentak dengan suara yang bergetar, emosinya yang dari tadi disimpan akhirnya meluap keluar.

Vinka tersenyum remeh, seolah-olah menganggap bentakan itu hanya lalat yang lewat.

"Lo gak punya harga diri, ya?" Vinka masih meneruskan untuk mengintimidasi Alika. Padahal, air mata Alika sudah menetes dan berada pada ujung dagunya.

Sebelum semuanya tak terkendali, Varo segera menghampiri Vinka dan menyeretnya keluar kelas dengan kasar. Tangannya mencengkeram pergelangan Vinka, tapi Varo masih berusaha untuk tak melukai gadis itu.

"Lo gak punya hati?" sentak Varo.

"Gue gak butuh hati, gue butuh otak!" solot Vinka, sembari melepas kasar cengkeraman tangan itu.

"Sebelum lo rendahin orang, lo ngaca sama diri lo sendiri." Kali in Varo benar-benar emosi, Vinka sudah diluar batas.

Lagi-lagi, Vinka hanya menarik bibirnya dan kembali tersenyum.

"Lo gak pernah di didik sama orang tua lo?"

"Gue dididik bukan untuk mikirin hati orang, gue dididik untuk ngelakuin semua hal dengan otak bukan sama hati." Balas Vinka. "O iya, asal lo tau aja papa gue udah sebaik-baiknya didik gue. Jangan anggap orang tua gue tutup mata sama pendidikan gue!

Kalimat itu mengakhiri percakapan keduanya, Vinka melangkahkan kakinya menjauh dan meninggalkan kelas.

Varo menatap punggung itu yang semakin menjauh, tangannya tanpa sadar mengacak rambutnya dengan frustasi. Entah mengapa rasa bersalah menelisik masuk pada hatinya, ia rasa ucapannya terlalu sarkas kepada Vinka.

REHATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang