Matahari hampir tenggelam, sejenak meninggalkan bagian bumi tersebut dan digantikan sementara oleh sang dewi malam. Langit menerima keputusan matahari, dan membantunya untuk menciptakan kesan berupa kemuning senja.
Burung-burung mulai berterbangan kembali pada sangkar, menemui anaknya untuk memberi hasil pencarian makan mulai esok hari. Para manusia yang mulai apatis, ikut meramaikan suasana. Semua manusia sibuk mengklakson kendaraannya agar dapat segera melaju dan kembali pulang, sehabis bekerja.
Sebuah rumah yang jauh dari hiruk piruk jalanan, terlihat tentram. Sebuah atap yang terlihat kecoklatan dengan beberapa burung dara diatasnya, tanaman-tanaman hias yang bertengger disisi teras terlihat cantik, disampingnya terdapat perkarangan sederhana dengan beberapa sayuran yang tertanam, rumah sederhana itu hanya memiliki empat ruangan yaitu, dua kamar tidur, dapur yang merangkap menjadi ruang tamu, dan juga kamar mandi.
"Al, bisa bantu nenek sebentar?" seorang wanita paru baya, tengah berteriak dari pekarangan rumah.
"Ada apa, nek?" Varo, segera bangkit dari ranjangnya.
"Tolong bantu nenek mengangkat keranjang ini," nenek memberikan sebuah keranjang dengan berisikan penuh oleh beberapa sayuran segar yang baru saja dipetik.
Tanpa basa-basi, Varo segera mengambil alih keranjang dan menaruhnya pada sisi dapur. Diikuti oleh neneknya yang berjalan dibelakang punggung Varo, sesekali ia menyeka bulir keringat yang terus-menerus menetes.
"Al, kapan kamu akan mengunjungi ayahmu?" tanya nenek, kali ini ia berusaha mengeluarkan seluruh isi keranjang.
Varo hanya terdiam, ia tak ingin menjawab pertanyaan sang nenek. Alih-alih bersuara, ia malah ikut membantu untuk menata sayuran-sayuran itu kedalam mesin pendingin yang tampak sudah sedikit berkarat.
"Nenek tau, meskipun kamu terlihat tidak peduli. Tapi, sebenarnya kamu berusaha untuk tidak percaya dengan keadaan yang menimpa ayahmu, Varo."
Sang pemilik nama masih enggan untuk mengeluarkan suara.
"Kalau kamu mengunjungi ayahmu, jangan hanya membawa sekotak makanan. Ajak ayahmu berbincang, sudah lama dia tidak mendengarkan suara dari putranya."
"Nek, Varo harus belajar."
Varo tidak terusik dengan semua nasihat neneknya. Ia hanya masih butuh waktu untuk memahami semua yang terjadi padanya dan mengapa semuanya harus meinimpa keluarga Varo dengan tiba-tiba.
Varo memasuki kamar, lalu menutup perlahan pintu kayu tersebut. Kali ini ia mendudukkan tubuhnya pada kursi meja belajar, lalu bersandar sejenak. Matanya terpejam, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai lelah.
Titt... tit...
Satu pesan masuk.
Dengan malas, tangannya meraih ponsel diatas nakas. Lalu segera membuka pesan tersebut.
Vinka (XI MIA 3) : Besok pulang sekolah, di perpustakaan. Bawa semua materi yang udah lo susun!
Varo melirik secarik kertas yang terletak diatas meja, tampak kosong. Lalu, tanpa minat untuk membalas pesan singkat itu Varo malah mematikan ponselnya, setelah itu kembali memejamkan matanya dan mencoba tertidur sejenak.
***
"Vinka, lo masih marah sama gue?" tanya Alika.
Untuk kesekian kalinya Vinka kembali mengabaikan Alika, ia tetap fokus pada materi yang saat ini tengah diterangkan oleh Bu Ellin, seorang guru muda yang mengajar bidang biologi.
"Vinka, maafin gue deh." Alika masih memohon agar Vinka berusuara.
Vinka ingin marah, kali ini Vinka ingin benar-benar membentak gadis itu lagi. Tetapi, ia harus benar-benar menahannya karena Bu Ellin adalah guru Killer nomor dua yang tak segan-segan menghukum seluruh murid yang membuat gaduh pada kelasnya, termasuk Vinka.
"Vin, jawab dong!" rengek Alika.
"Bu!" Vinka mengangkat tanganya tiba-tiba.
Seluruh perhatian kelas saat ini tertuju padanya.
"Saya ingin izin ke kamar mandi."
Setelah menerima anggukan dari Bu Ellin, Vinka segera melenggang pergi dan meninggalkan Alika yang benar-benar selalu membuatnya naik pitam.
Vinka tidak pergi ke kamar mandi, melainkan ke UKS. Kemudian ia duduk sejenak di salah satu ranjang kosong. Tangannya memegang erat perut, terutama pada posisi uluh hati.
"Agh," Vinka meringis kesakitan saat lambungnya mulai terasa begitu perih.
Tadi pagi Vinka memang tidak sarapan, dan itu adalah kesalahan yang fatal. Apalagi ia juga tidak mengisi perutnya hingga jam terakhir, Vinka mengisi istirahatnya untuk berdiam diri di kelas dan belajar untuk persiapan olimpiade. Obat maag yang selalu ia simpan di tas sudah habis kemarin, belakangan ini penyakit Vinka mulai kumat dan semakin parah.
Vinka sering merasa mual dan tak nafsu makan. Lambungnya pun terus-terusan terasa seperti tertusuk hingga belakang punggungnya. Biasanya, Vinka akan menghabiskan dua butir obat untuk mengurangi rasa sakitnya.
"Lo bolos?" seseorang tiba-tiba mengejutkannya dari balik tirai ranjang.
Vinka tak bereaksi walaupun ia cukup terkejut, Vinka masih terus menahan sakitnya. Alvaro yang baru saja datang, menyadari ekspresi wajah Vinka yang meringis kesakitan. Varo pergi ke UKS untuk mengambil buku catatan milik Bu Ellin yang tertinggal di loker meja jaga.
"Petugas UKS biasanya simpen obat di lemari kaca, kalau gak ada biasanya masih segelan ada di lemari bawah." Ucap Varo, setelah menemukan buku catatn bersampul hijau tersebut.
"Lo pikir gue sakit?" solot Vinka.
Seorang Vinka harus selalu terlihat sempurna mata semua murid, tak boleh ada celah yang menampakkan kelemahannya begitu pula dengan penyakit yang ia derita sejak kecil itu.
Vinka segera turun dari ranjang lalu merampas buku catatan dari tangan Varo, setelah itu pergi meninggalkan UKS dan segera kembali ke kelas. Meskipun sakitnya belum mereda, dan akan semakin parah jika tidak segera diisi oleh makanan.
***
Kritik, saran, maupun masukan sangat diterima ya.
Silahkan komen dibawah ! 🙇♀
![](https://img.wattpad.com/cover/224917074-288-k323385.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
REHAT
Teen FictionIni bukan hanya kisah kedua sejoli yang saling jatuh hati, ini kisah dimana kedua pemilik raga yang berusaha mengendalikan dirinya, hatinya, dan menerima keadaan saat ini. Keluarga menjadi kunci penting dimana karakter dan sifat manusia terbentuk. V...