🐼 19 🐼

1K 141 20
                                    

Izinkan Aku Bawa Cinta Ini

Part 19

||🌺🌺🌺||

"Jadi, sekarang kita harus bagaimana?" Dani, Liam dan Danish kini berada di apartemen Altha sejak tadi siang. Ketiganya tengah memikirkan keberadaan Altha yang diduga dibawa oleh David ke markasnya.

"Bahaya kalau kita ke sana cuma bertiga. Kita harus mencari bantuan," usul Danish.

"Kenapa kita nggak minta bantuan sama Zigas aja. Siapa tahu mereka mau bantu." Danish dan Dani mengangguk, menyetujui ide Liam.

Dani meraih ponselnya untuk menghubungi Zigas. Baru saja dia akan mendial nomornya, panggilan dari nomor asing tertera di layar ponselnya. "Nomor siapa ini?" gumamnya.

Dani menjawab dan mengerutkan wajah saat mendengar suara perempuan di seberang sana. "Sisy?" tebak Dani.

Mendengar nama Sisy disebut, Danish dan Liam saling pandang, lalu memandang Dani penuh tanya, tetapi Dani hanya mengedikkan kedua bahunya. "Ada apa, Sy?"

Dani mendengarkan dengan saksama suara Sisy. "Oh, oke. Makasih atas infonya." Panggilan pun terputus.

"Ada apa?"

Dani menghela napas dalam. "Syukurlah. Altha lagi sama Sisy sekarang." Tampak jelas wajah-wajah penuh tanya dari Liam dan Danish. Namun, rasa lega pun tak bisa mereka elak. "Udah, kita jemput dulu Altha di rumah Sisy."

Ketiganya beranjak dan segera menuju ke rumah Sisy untuk menjemput Altha.
🌺🌺🌺

"Tahu dari mana, lo rumahnya Sisy?" tanya Liam pada Dani saat mobil sudah terparkir sempurna. Pasalnya, seingat dia Dani tidak menanyakan alamat rumah gadis itu pada orangnya saat sebelumnya Sisy menghubungi mereka.

"Tahu aja." Mereka segera turun dan mendekati rumah Sisy. Keadaan rumah yang jauh dari kata layak membuat Danish dan Liam menatap bingung. Masih bisakah tempat ini ditinggali? Begitulah pemikiran mereka.

Mereka sampai di depan pintu kayu tua rumah Sisy. Pelan, Danish mulai mengetuk. Takut-takut pintu itu akan roboh jika ia mengetuknya dengan kencang. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan sosok Sisy di hadapan ketiganya. "Kalian sudah datang?" sambut Sisy ramah saat melihat ketiganya.

"Ayo masuk!" Sisy membuka pintu rumahnya lebih lebar, dia sedikit bergeser agar ketiga pemuda di hadapannya bisa masuk ke rumah.

Sesampainya di dalam, ketiga pemuda itu meneliti setiap sudut rumah Sisy. Melihat-lihat keadaan rumah yang untuk ke-sekian kali membuat Liam dan Danish tidak habis pikir. "Lo tinggal sendiri?" tanya Dani saat melihat suasana rumah Sisy yang sepi.

Sisy menggeleng. "Sama Ibu," jawabnya jujur, "kalian mau langsung nemuin Kak Altha atau minum dulu?"

"Memangnya Altha di mana, Sy?"

"Di kamar."

"Di kamar?" tanya Danish dan Liam bersamaan dengan nada tinggi. Keduanya saling pandang seolah mengisyaratkan lewat pandangan masing-masing kalau mereka memiliki pemikiran yang sama. Dani yang memang mengerti otak dua temannya itu hanya menggeleng.

"Iya. Dia sedang tidur," jawab Sisy lagi. Dua lemes itu kembali terkejut.

"Tidur?" Kali ini suara Danish dan Liam lebih keras dari sebelumnya. Satu tepukan mereka dapat di kepala dari Dani.

Sisy meringis melihat pukulan Dani yang terdengar keras, lalu mengangguk dan menjawab, "I—iya. Memangnya kenapa?" Tanpa menjawab, Liam dan Danish berlari memasuki rumah Sisy lebih dalam. Sesaat kemudian, mereka kembali.

"Kamar, lo, yang mana, Sy?" Melihat itu Sisy hanya bisa tersenyum akibat tingkah lucu mereka. Dani yang melihat itu mendengus seketika. Dalam hati dia merutuki dirinya sendiri, mengapa dulu dia bisa memilih Liam dan Danish sebagai temannya? Ingatkan Dani untuk memilih teman yang lebih waras di kehidupan selanjutnya.

"Ayo, Kak. Aku antar." Mereka mengikuti Sisy. Saat Sisy membuka pintu kamarnya, mereka segera masuk. Bisa mereka lihat Altha yang tertidur begitu lelapnya.

"Mau dibangunin sekarang?" tanya Sisy tak tega. Wajah damai Altha dalam tidurnya sungguh membuat Sisy bahagia karena bisa melihatnya. Hanya saat inilah dia bisa menikmati pesona wajah Altha dengan memandang penuh, tanpa takut Altha akan marah jika tahu dia sedang memandangnya.

"Iya." Dani mendekati Altha. "Al, bangun, Al." Altha menggeliat saat merasakan seseorang menepuk pundaknya. Dia membuka mata dan menoleh.

Wajah ketiga temannya dan juga Sisy dia lihat saat membuka mata dengan sempurna. "Akhirnya kalian datang juga." Altha berucap lirih. "Yok! Kita pulang."

Altha bangkit dari tidurnya, lalu turun dari tempat tidur Sisy dan melangkah keluar dari kamar. Ketiga teman Altha yang melihatnya berlalu begitu saja hanya saling menatap, kemudian melihat keberadaan Sisy. Sisy yang mengerti pun hanya mengangguk sekilas. "Thanks sebelumnya," ucap Dani sebelum berlalu.

Keempatnya pun meninggalkan rumah Sisy setelah berpamitan. Saat di perjalanan, Dani melihat Altha yang tidur di sebelahnya. "Lo nggak ada niatan gitu ngucapin terima kasih sama Sisy?"

Altha membuka mata dan menatap Dani. "Nggak penting." Dani tidak membalas ucapan Altha. Karena baginya itu pun tidak penting.

Danish yang duduk di depan menoleh ke belakang. "Urusan David gimana?"

"Lo nggak mikir gue orang bego, kan Yang bakal diem aja tanpa balas dendam?" Danish menyunggingkan senyumnya. Tangannya terulur membentuk kepalan yang disambut kepalan pula oleh Altha.

"Siap kapan pun," ucap Danish. Altha kembali memejamkan mata yang membuat keadaan mobil hening kembali. Akan tetapi, dalam mata terpejamnya, Altha memikirkan ucapan Dani. Berterima kasih pada Sisy?

Ribet.
🌺🌺🌺

Sebatang coklat berada dalam genggaman Altha, ia melihatnya dengan ragu pada coklat di genggamannya. Sebelum sampai di sekolah tadi, dia mampir terlebih dahulu ke minimarket. Ucapan Dani kemarin ternyata cukup mengganggu tidurnya. Haruskah, dia melakukan itu? Batin Altha meragu.

Di jam istirahat ini, dia meminta ketiga temannya untuk lebih dulu ke kantin. Altha ingin menyelesaikan suatu urusan. Awalnya, ketiganya ingin mengikuti Altha, tetapi tentu saja dia menolaknya. Setelah perdebatan alot, ketiganya pun setuju membiarkan dia pergi sendiri. Bisa malu setengah mampus jika ketiga temannya tahu apa yang akan dia lakukan.

Suara tawa seseorang terdengar olehnya, Altha menatap si pemilik suara itu. Terlihat Sisy yang saat ini tengah berjalan berdua dengan Naira. Sepanjang malam dia memikirkan ucapan Dani, dan di sinilah dia saat ini. Membuang rasa gugup yang tidak Altha ketahui dari mana datangnya, dia melangkah mendekati Sisy. Altha berhenti begitu saja di hadapan Naira dan Sisy yang tengah berjalan. Membuat Naira dan Sisy otomatis berhenti pula. Dia dapat melihat tatapan Naira yang tak bersahabat di tujukan padanya.

“Gue mau ngomong sama Sisy," ucapnya seperti biasa. Tak terbantahkan.

"Apa? Lo mau ngebully dia lagi?" tanya Naira bersungut-sungut sembari menarik Sisy ke belakangnya. Dia tidak ingin Sisy kembali mendapatkan masalah dari Altha.

"Lo nggak budek, kan? Gue mau ngomong doang sama dia." Altha memutar kedua bola matanya jengah.

"Nggak boleh!" tolak Naira yang membuat Altha berdecak. "Gue nggak akan serahin Sisy sama, lo." Naira menunjuk wajah Altha, membuat Altha menaikkan satu alisnya.

"Nggak bakal gue apa-apain," jelas Altha.

"Nggak percaya." Naira melotot. Tangannya berkacak pinggang seolah menantang Altha. Altha selalu mengumandangkan mantra sabar di dalam hatinya. Mengingatkan bahwa dia hanya ingin menyelesaikan urusannya bersama Sisy.

"Nggak bakal gue apa-apain." Naira tetap pada posisinya. Membuat Altha menghela napas panjang. Dia pun menatap Sisy yang berada di belakang Naira, pandangan tajam yang kali ini seolah memiliki arti berbeda.

Sisy yang melihat Altha memang memerlukan bicara dengannya mencoba bicara pada Naira. "Udah, ya, Ra. Kak Altha, kan cuma mau ngomong."

"Tapi Sy—"

"Nggak papa." Sisy tersenyum meyakinkan berharap Naira mau mengerti.
Naira mengembuskan napas. Dia mengangguk. "Oke. Kalau ada apa-apa, lo teriak yang kenceng." Sisy mengangguk.

"Emang mau gue apain dia," gumam Altha yang masih bisa didengar Naira. Naira kembali melotot pada Altha. Tak melepas pandangan dari pemuda itu saat mulai berjalan meninggalkan keduanya.

"Ayo cepet!" Entah sadar atau tidak, Altha berjalan ke arah belakang sekolah dengan menyeret tangan Sisy. Percayalah, hanya hal sekecil ini saja sudah mampu membuat pipi gadis itu merona. Padahal, bisa dikatakan Altha menyeretnya dengan sedikit kasar.

Keduanya sampai di belakang sekolah. Beberapa saat hening tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mereka berdua. Sisy yang tak mengetahui tujuan Altha memilih diam daripada disalahkan lagi. Beberapa saat kemudian, Altha mengambil sebatang coklat dan memberikannya pada Sisy. Sisy melihatnya dengan ragu. "Cokelat?"

"Udah tahu itu cokelat, masih aja tanya." Altha berucap dengan ketus seperti biasa jika berbicara dengan Sisy.

"Buat aku?" tanya Sisy yang masih tak percaya. Dia menunjuk wajahnya.

"Iya," jawab Altha malas.

"Dari Kakak?"

"Eh?" Altha menggaruk belakang kepalanya. Padahal, tadi memang niatnya mau memberi cokelat untuk ucapan terima kasih. Kenapa sekarang berat mengatakannya?

"Bu—bu—bukan," ucap Altha dengan tawa garingnya. "I—itu punya Liam. Tadi dia beli banyak buat dibagi sama cewek-ceweknya yang banyak itu. Terus sisa satu, dia suruh kasih ke lo." Sisy hanya mengangguk. Wajah Sisy menampakkan senyum kecewanya.

"Terima kasih, Kak." Sisy menerimanya dengan senyum yang dipaksa, lalu melangkah untuk kembali. Ada perasaan aneh hinggap di diri Altha melihat Sisy pergi.

"Sisy," panggil Altha. Sisy berhenti dan kembali menatap Altha yang menunduk.

Altha merasa bingung. Ada pertarungan batin dalam dirinya. Mengembuskan napas dalam, Altha berucap, "Cokelatitudariguesebagaiucapanterimakasihguesoalkemarin." Altha mengucapkannya begitu cepat hanya dalam satu tarikan napas. Tentu saja hal itu tidak mampu dipahami oleh Sisy. Sisy yang tidak mengerti hanya mengerjapkan mata mencoba memahaminya. Namun, tetap saja tidak bisa.

"Ha?" Sisy membeo, membuat Altha merasa jengkel.

"Nggak ada siaran ulang!" Altha berlalu dari hadapan Sisy. Meninggalkan Sisy yang masih menatapnya bingung.

Di tikungan koridor, Altha berhenti. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding. Tangannya terangkat memegang dada yang terasa berdegup kencang. "Kenapa gue deg-degan gini?" tanyanya pada dirinya sendiri. Dia meremas dadanya sembari memejamkan mata.

"Nggak mungkin, kan, gue sakit jantung? Masih muda ini."

"Cupu. Nggak guna." Sebuah suara membuat Altha membuka matanya. Altha melihat keberadaan Dani yang ada di sampingnya turut menyandarkan tubuhnya pada dinding.

"Se—sejak kapan lo ada di sini, Dan?" tanya Altha yang merasa terciduk. Dia menggaruk belakang telinganya kikuk.

"Nggak perlu tahu. Yang jelas, lo cupu." Dani melenggang pergi begitu saja. Meninggalkan Altha yang masih cengo karena kehadirannya yang tiba-tiba.





||🍓🍓🍓||

Selamat siang. Apa kabar yang ada di sini?

Hello

Kuharap kalian masih mengikuti kisah ini, ya

😋😋😋





Izinkan Aku Bawa Cinta IniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang