🐼 22 🐼

1K 116 12
                                    

Izinkan Aku Bawa Cinta Ini

Part 22

||🌺🌺🌺||






Duduk menyandar pada kursi balkon sembari menikmati angin malam, membawa pikiran Altha pada kejadian tadi pagi yang dia alami bersama Sisy di sekolah. Tangannya terangkat untuk memegangi bibirnya. Seperti masih bisa dia rasakan kulit halus dan harum kening Sisy yang dia cium secara tidak sengaja. Entah kenapa, satu sudut bibirnya terangkat saat memikirkan hal itu.

"Si Altha kenapa?" Suara Liam yang bertanya dengan keras pun tidak digubris. Pikirannya saat ini hanya satu. Sisy. Ya, dia tak menampik hal itu saat ini.

"Gila. Si Altha udah gila. Dia udah nggak waras," ucap Danish dengan gelengan kepala.

"Apa Altha kerasukan hantu balkon kamarnya?" Dani yang mendengar pembicaraan unfaedah Danish dan Liam hanya menghela napas. Dia lebih memilih untuk mendekati sepupunya yang tengah asyik melamun itu.

"Sialan!" umpat Altha saat sebungkus snack mendarat di kepalanya. Altha melihat tiga makhluk yang sudah hadir tak dia ketahui kapan datang. Dari mereka dia cukup tahu siapa yang berani melakukan itu padanya.

"Lo emang nggak pernah ada akhlaknya, ya, sama sepupu." Seperti biasa, sepupunya itu bersikap tak acuh. Malah duduk santai di hadapannya sembari menumpukkan kaki di atas meja. Altha menggeleng dan berucap lirih, "Bener-bener nggak ada akhlak emang."

"Lo ngelamunin apa? Cewek? Sisy?" Mata Altha membulat kala pertanyaan Dani tepat sasaran. Dia segera menormalkan mimik wajahnya karena tak ingin apa yang dikatakan Dani adalah benar adanya.

Namun, sayang. Bagi Dani itu percuma. Entahlah kalau untuk dua perusuh itu. Dani menatap Danish dan Liam bergantian. "Yam, Nish. Gue mau tanya." Dani memfokuskan pandangannya pada kedua orang itu. "Gue tahu kalian suka bercanda. Tapi gue juga yakin kalau kalian nggak menyangkal soal cinta—"

"Tumben lo ngomongin soal cinta-cintaan," potong Danish.

"Bisa diem dulu, nggak?" Danish memukul mulutnya saat mendapat tatapan tajam dari Dani. Bagaimanapun, Dani masih keturunan seorang Maheshali. Dia membuat gerakan seolah mengunci mulutnya dan membuang kuncinya.

"Apa yang bakal kalian lakuin kalau kalian jatuh cinta sama salah satu cewek di sekolah?" Danish dan Liam terdiam seolah berpikir.

"Bakal gue jadiin pacarlah," jawab Liam.

"Kalau gue, gue bakal PDKT dulu. Bikin dia nyaman sama gue." Danish berucap dengan menaik turunkan Alisnya.

"Caranya?"

"Ya ... kita kenalan lebih dekat. Ajak jalan, atau apa gitu. Dari situ, kan, kita juga tahu dia bisa diajak serius apa enggak. Jangan sampe, dia cuma manfaatin ketenaran kita doang." Suara tepuk tangan Liam menggema.

"Wih ... tumben omongan lo lurus?" Danish hanya menjawab ucapan Liam dengan lemparan kulit kacang. Membuat Liam tertawa dibuatnya.

Altha memandang Dani dengan penuh tanya. "Tumben, lo tanya-tanya soal cinta?"

Dani memandang Altha dengan senyum remeh. "Nggak papa. Cuma mau nyadarin orang yang lagi jatuh cinta tapi nggak mau ngakuin aja." Diam. Altha kicep akan ucapan sepupunya. Dia lebih memilih mengalihkan pandangannya daripada menghiraukan teman-temannya.

🌺🌺🌺

Sisy menata kue-kue pesanan yang akan dia antarkan pada keranjang sepedanya. Baru saja akan meletakkannya, seseorang mengambil alih dari tangannya. "Eh, Kak Altha?" Sisy terkejut akan keberadaan Altha di rumahnya sepagi ini.

Mata Sisy melotot saat Altha membawa kue-kue itu menjauh dari sepedanya. "Kak Altha, itu semuanya kue pesanan," ucapnya saat melihat Altha membawa masuk kuenya ke sebuah mobil. Dia pun buru-buru menghampiri pemuda itu.

"Kak, itu semua kue pesanan. Kalau Kakak mau, besok aja. Hari ini Sisy cuma buat untuk yang pesan aja." Altha menatap Sisy dengan kening berkerut.

"Siapa yang mau beli kue, lo?" Sisy menatap Altha tak mengerti. "Gue mau anterin, lo."

"Ke mana?"

Altha memutar bola matanya. Heran. Kenapa saat bersama Sisy dia sering sekali memutar bola mata? "Lo mau ngaterin kue pesanan ini, kan?" Sisy mengangguk.

"Ya udah! Gue anterin naik mobil gue," sambung Altha. Jangan tanyakan bagaimana terkejutnya Sisy saat ini. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Naik mobil Kak Altha? Sudah tiga kali dong aku naik mobilnya?" lirih Sisy saat mengingat sudah berapa kali dia menaiki mobil Altha.

Altha sudah membuka pintu mobil saat menyadari Sisy masih berdiri di tempatnya tanpa bergerak. Dia berdecak. Selalu seperti ini saat menyuruh Sisy memasuki mobilnya. "Sy, ayo!"

Sisy segera tersadar dari rasa terkejutnya. Buru-buru dia mendekati sisi lain mobil Altha untuk memasukinya. Namun, niat itu urung kala mengingat sesuatu.

"Kak, bentar! Aku belum kunci rumah aku." Sisy kembali menutup pintu mobil Altha.

"Ya elah, rumah sekecil ini. Nggak bakalan ada maling juga yang masuk. Mau nyuri apa mereka?" Sisy mencebikkan bibirnya mendengar ucapan Altha.

"Banyak, Kak. Ada kulkas, tivi, oven, setrika dan yang lainnya. Meskipun harganya nggak seberapa, itu berarti buat aku dan Ibu." Sisy segera berlalu untuk mengunci pintu rumahnya. Mendengar hal itu, wajah Altha berubah menjadi sendu.

Sisy tidak mengetahui, jika Altha mengikutinya dari belakang. "Mentang-mentang orang kaya, ngomong seenaknya. Aku ajak tukeran posisi baru tahu rasa," gerutu Sisy.

"Ngomong apa, lo?"

"Astagfirullah." Sisy berjingkat kala mendengar suara Altha yang tiba-tiba ada di belakangnya. Gerakan tangannya untuk mengunci pintu pun terhenti karena kuncinya terjatuh.

"Kakak ini, suka banget ngagetin." Sisy membungkuk untuk meraih kunci rumahnya.

"Nyokap lo mana?" tanya Altha.

"Ibu lagi di rumah tetangga sudut belokan bantuin mereka yang mau ada hajatan." Altha hanya mengangguk sekilas. Setelahnya, mereka segera mengantar kue pesanan pelanggan Sisy.

🌺🌺🌺

Sisy memandang takjub rumah besar yang ada di hadapannya. Setelah mengantar kue pesanan tadi, Altha tak lantas mengantarkan dia pulang. Pemuda itu mengajaknya ke rumah milik Altha dengan dalih pemuda itu tengah bosan di apartement. Di rumah pun sendirian. Akhirnya mengajak Sisy ke sini. Saat Sisy bertanya kenapa tidak mengajak teman Altha yang lain, jawaban Altha pun sama seperti kapan lalu Sisy menanyakan hal itu.

"Bosan bareng mereka dari orok," jawab Altha. Padahal, kalau diingat dengan detail, hanya Danilah yang menemaninya dari kecil.


"Wah ... ini besar banget, Kak." Wajah takjub Sisy tercetak begitu jelas di sana. Rasa kagum yang dia tunjukkan tak lantas membuatnya malu. Inilah Sisy.

Mendekati pintu utama, Sisy menatap heran akan pintunya yang begitu besar. "Mobil mah bisa masuk lewat Sini, Kak," ucapnya sembari mengagumi ukiran pintunya. Memandang heran akan ukuran pintu di rumah Altha. Memangnya, seberapa besar badan orang tua Altha? Sampai harus membuat pintu sebesar ini?

Memasuki rumah, Sisy menghirup napas dalam akan aroma yang tercium. Wangi aromanya seperti alam. Terasa sangat segar. Udara seperti inilah yang membuat jantungnya terasa sehat. Bukan hanya jantung, seluruh tubuh malah.

"Biasa aja! Kayak anak kecil." Selalu. Perkataan Altha selalu merusak suasana. Bagaimana bisa ada cowok dengan mulut pedas seperti Altha? Bukan, bukan hanya pedas. Boleh dikatakan kalau pemuda itu adalah tipe cowok yang nyinyir juga.

Sisy jadi heran sendiri pada dirinya. Bagaimana bisa dia mencintai sosok Altha? Padahal, jika dilihat-lihat benar apa kata Naira. Aidan lebih baik daripada Altha. Aidan kaya meski tidak sekaya Altha. Aidan juga tampan meski tidak setampan Altha. Malah, Aidan memiliki nilai plus dengan sikap baiknya. Sedangkan Altha ... begitu minus dengan sifat sombongnya.

Tetapi, balik lagi jika ini masalah hati. Kita tidak bisa mengarahkan hati untuk mencintai seseorang. Meskipun Aidan jauh lebih baik daripada Altha, tapi hatinya hanya mencintai Altha saja. Eh! Kenapa Sisy malah membeda-bedakan antara Aidan dan Altha? Nggak baik Sisy.

"Heh! Ngelamun aja dari tadi dipanggil juga. Pakai acara geleng-geleng lagi. Lo mabok? Mau dugem? Jangan di sini. Dikatain orang gila baru tahu rasa, lo. Ayo masuk!" Altha segera berjalan mendahului Sisy yang masih menggerutu.

Memasuki ruangan yang lebih luas, keduanya disambut oleh beberapa orang berseragam yang berbaris rapi. Salah satu dari mereka mendekati Altha dan Sisy. "Selamat datang, Den Altha, Nona," sapanya ramah.

Sisy mengangguk dan memberikan senyumnya. "Siapa mereka, Kak?" tanya Sisy dengan berbisik.

"Asisten rumah tangga di sini." Langkah Sisy terhenti saat mendengar jawaban Altha. Hal itu juga membuat Altha turut terhenti dan memandang Sisy. "Kenapa?" tanya Altha.

"A—asisten rumah tangga? Sebanyak ini?" Sisy memandang deretan orang-orang berseragam itu kembali. Jika dihitung-hitung, mereka lebih dari 20 orang. Altha berdecak melihat raut wajah Sisy.

"Orang sebanyak itu kerjanya ngapain aja, Kak?" Altha memutar bola mata. Ternyata Sisy lebih cerewet dari yang dia duga. "Ih ... Kakak jawab."

Altha menghela napas dalam. "Nyapu. Ngepel. Bersihin guci. Bersihin lukisan. Nyuci baju. Nyuci piring dan masih banyak lagi. Setiap bagian ada tiga orang dalam pengerjaannya." Tak lama, keduanya telah sampai pada sebuah ruangan yang lebih kecil. Altha mengajak Sisy pada meja panjang di mana sudah tertata rapi berbagai macam makanan, buah-buahan dan minuman di atasnya.

Sisy kembali menganga. Makanan yang ada semuanya adalah makanan mahal dan lezat. Hingga kemudian dia mengingat sesuatu. Sisy menahan senyum lalu menatap Altha. "Kakak sengaja?"

Altha menatap Sisy penuh tanya. "Kakak siapin ini sengaja buat Sisy, ya?”

Altha memukul pelan kening Sisy. "Jangan Geer!" Sisy mengaduh dan memanyunkan bibir.

"Lalu, apa? Biasanya, ya, Kak. Kalau di tivi-tivi, yang cowok bakalan jemput ceweknya buat diajak ke rumahnya. Nah, sebelum jemput, cowok itu berpesan sama pembantunya untuk nyiapin makanan buat ceweknya," jelas Sisy panjang lebar.

Altha menggeleng tak habis pikir. "Korban film. Asal lo tahu, ya, makanan ini baru gue suruh siapin waktu lo turun dari mobil gue."

"Yang bener?"

"Serah." jawab Altha tak acuh. Dia tak ingin repot membuat Sisy percaya dengan ucapannya. Yang nyatanya, ini memang sengaja dia siapkan karena dia memang ingin mengajak Sisy ke rumahnya.

"Bisa gitu?" tanya Sisy curiga. Merasa tak percaya akan ucapan Altha. Altha mendengus karena Sisy tak hentinya bertanya. Akhirnya dia memandang gadis itu datar.

"Jangan lupakan kalau gue seorang Maheshali. Apa pun bisa gue lakukan hanya dengan menghubungi seseorang untuk gue suruh." Sisy menatap tak percaya akan ucapan Altha yang terlalu sombong itu. Sisy kembali merutuki hatinya yang entah kenapa bisa jatuh cinta pada seorang Maheshali yang satu ini.

Sisy memilih ikut duduk di hadapan Altha. "Sombong sekali," gerutu Sisy yang masih bisa didengar Altha.

"Sombong-sombong gini lo juga suka sama gue," ucap Altha cepat. Namun, Sisy mampu mendengarnya dengan baik. Gadis itu menggigit bibir bawahnya takut dia yang akan melompat karena kegirangan. Akan tetapi, jangan lupakan pipinya yang saat ini memanas. Altha mendudukkan dirinya dan menunggu makanannya dipersiapkan di piring oleh pelayan di sampingnya.

"Duduk di sini!" titahnya saat melihat Sisy yang duduk di hadapannya.

Tak ingin berdebat, Sisy menurut dnegan segera duduk pada kursi di dekat Altha. Lalu menatap seorang pelayan yang mempersiapkan makanannya. "Gue kira lo cewek yang nggak suka dandan."

"Ha? Maksudnya?" tanya Sisy tak mengerti.

Tangan Altha menunjuk wajah Sisy. "Tuh, pipi lo pakai blushonnya ketebelan. Sampe merah gitu," ucap Altha sembari memasukkan potongan buah apel ke mulutnya.

Nada yang Altha gunakan dalam berucap memang biasa. Namun, sudah cukup membuat Sisy deg-degan. Gadis itu berdehem untuk menetralkan rasa gugupnya. Bagaimanapun itu bukan blushon.

"Ngomong-ngomong, orang suruhan Kakak mau aja, ya, disuruh-suruh?" Sisy mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Haruslah."

"Mereka mau aja gitu, disuruh meskipun waktunya udah mepet? Nggak protes?"

"Mereka nggak bakal ngambil risiko dipecat kalau mau protes. Mereka nggak bakal buang kesempatan buat bekerja di keluarga Maheshali,” jawabnya santai.

"Kenapa?" tanya Sisy penasaran.

"Gaji mereka yang kerja pada keluarga gue setara dengan gaji karyawan di kantor besar." Sisy menganga dibuatnya.

"Orang sebanyak itu gajinya melebihi gaji kantoran?" Altha mengangguk. "Melebihi ketetapan gaji pembantu yang ada dong?"

"Keluarga gue ini yang kaya." Ya Alloh. Sabarkan Sisy menghadapi kesombongan Altha.

Sisy mulai mencicipi makanan yang baru saja dihidangkan untuknya. Melirik Altha sejenak, lalu memakan makanannya. Dia mengangguk dan tersenyum saat merasakan makanan yang dia makan begitu lezat. Beruntungnya dia yang mempunyai kesempatan untuk memakan makanan seenak ini.

"Enak, Kak. Coba aja kalau ibu aku ikut, pasti dia juga seneng banget." Sisy kembali menikmati makanannya, tak menyadari Altha yang memandangnya sendu. Hingga kemudian, Sisy mengingat sesuatu. Dia ingin belajar memasak makanan ini untuk ibunya.

Sisy mendekati Altha dan berbisik, "Kak. Dari mereka semua, mana yang tugasnya memasak?"

Altha memandang Sisy sejenak, lalu kembali menikmati makanannya. "Nggak ada," jawab Altha tanpa melihat Sisy.

"Terus?"

"Ada koki untuk bagian masak." Sisy kembali menganga. Untuk makanan keluarga Altha membayar koki? Boleh tidak, sih, Sisy bertepuk tangan?

Sisy kembali mengingat keinginannya. "Kak. Tolong bilangin ke koki Kakak dong! Sisy pengen belajar masak buat ibu." Altha menghentikan kunyahannya sejenak. Melihat itu, Sisy menggigit bibir bawahnya. Takut-takut kalau Altha akan kembali ke sifat awalnya yang selalu menyakitinya. Kenapa dia bisa tidak sadar jika sudah terlalu lancang?

"Bi Ira," panggil Altha. Asisten rumah tangga yang sebelumnya menyambut kedatangan mereka mendekati Altha.

"Iya, Den Al."

"Panggilkan koki kita." Asisten rumah tangga itu berlalu. Tak lama, dia kembali datang dengan lima orang laki-laki dan perempuan yang berpakaian ala-ala chef di tivi. Lima orang. Sisy kembali dibuat menganga.

"Tuan Muda memanggil kami?" ucap kelima chef itu berbarengan. "Apa ada yang salah dengan makanan buatan kami?"

Altha menggelengkan kepala. "Buatkan lagi semua makanan yang ada di meja ini untuk teman saya nanti saat pulang." Kelima chef itu mengangguk dan segera berlalu.

"Kak. Aku, kan, mau belajar."

"Nggak usah!" Jawaban Altha membuat Sisy mengerucutkan bibirnya. "Makan!" titah Altha yang langsung diangguki Sisy. Wajah yang tadinya masam, kini kembali tersenyum saat makanan enak itu melewati tenggorokannya.

🌺🌺🌺

Setelah makan tadi, Altha menemani Sisy berkeliling rumah yang menurut Sisy lebih mirip dengan istana. Rumah yang ukurannya cukup luas ini membutuhkan lebih dari satu jam untuk mengelilinginya. Saat ini, gadis itu tengah asyik bermain dengan burung peliharaan Altha. Selain warnanya yang cantik, suara burung itu terdengar cukup merdu.

Altha, dia hanya memandangi Sisy dengan duduk santai di gazebo rumahnya. Saat tengah asyik bermain, tiba-tiba Sisy merasa sedikit pusing. Tubuhnya terasa tidak enak. Menyadari kejanggalan, dia segera mendekati Altha. "Kak. Sekarang jam berapa?" tanya Sisy dengan buliran keringat di wajahnya.

Altha melihat ponselnya sejenak. "Jam 12:30." Sisy melotot.

"Kak. Antar Sisy pulang. Sekarang!" Sisy melakukan kesalahan. Dia melewatkan sesuatu. Belum lagi, dia tidak menghubungi ibunya sama sekali karena lupa membawa ponsel.

"Buru-buru amat, sih?"

"Kak. Sisy mohon ...," pinta Sisy dengan wajah memelasnya. Melihat itu, Altha pun menjadi tidak tega. Dia mengiyakannya permintaan Sisy.

"Bentar. Gue ambil makanan, lo."

"Nggak usah, Kak. Kita langsung aja." Bagi Sisy, makanan itu saat ini tak penting lagi. Ada yang lebih penting dari sekedar makanan.

"Bentar doang."

"Kak—" Altha meninggalkan Sisy begitu saja. Tak melihat Sisy yang dirundung gelisah, bulir-bulir keringat mulai banyak membasahi wajah Sisy. Gadis itu menggigit kecil bibir bawahnya saat merasa Altha terlalu lama.

Hingga saat melihat Altha yang kembali dengan beberapa kantong plastik, Sisy segera menarik tangan sosok itu keluar dari rumah besar ini. "Pelan-pelan dong, Sy." Altha berucap dengan malas karena melihat kelakuan Sisy. Tidak sengaja, dia menatap pelipis gadis itu yang dipenuhi dengan keringat. "Sy, lo sakit?"

Sisy menggeleng, masih terus menarik Altha keluar dari rumah pemuda itu. Altha berdecak. "Pelan, Sy. Wajah lo itu udah keringetan."

"Nggak bisa, Kak. Ini penting."

"Emangnya apa, sih, yang penting?" tanya Altha.

"Sisy nggak bisa jelasin sekarang. Sisy mohon antar Sisy pulang, Kak." Akhirnya, tanpa banyak tanya pun, Altha mengantarkan Sisy untuk pulang.

Di dalam perjalanan, bulir keringat Sisy semakin banyak terbentuk. Sisy berharap dia bisa sampai di rumahnya. Duduk dengan keadaan gelisah, belum lagi dadanya sekarang sudah merasakan sedikit nyeri. Namun, dugaannya salah. Lima motor menghadang jalan mereka. "Sialan!" Umpatan Altha membuat perasaan Sisy semakin tidak enak.

"Lo diam di sini, jangan keluar. Biar gue yang atasi mereka." Altha berucap dengan memandang Sisy teduh.

"Tapi, Kak—"

"Udah." Sebelum Altha keluar, dia menekan sesuatu di mobilnya. Sisy melihat Altha yang menghadapi beberapa orang dari dalam mobil. Untuk sesaat, mereka terlihat berdebat. Hingga kemudian mulai saling baku hantam.

Sisy menutup mulutnya saat perkelahian mereka mulai terasa mencekam. Bahkan Sisy sesekali memekik saat Altha terkena pukulan. Hingga gadis itu melihat sesuatu yang berbahaya di sana. Sisy panik, tanpa rasa takut, dia keluar untuk melindungi Altha.

"Kak Altha!" teriak Sisy mendekati Altha. Hingga ia merasa sesak ketika sebuah kayu yang sebelumnya dia lihat diarahkan pada Altha kini mendarat di punggungnya. Sisy jatuh tersungkur hingga dadanya membentur aspal.

"Sisy!" Altha menendang seseorang yang masih memegang balok. Altha mendekati Sisy untuk menolongnya. "Sy."

"Sakit, Kak."

"Sorry, Sy. Sorry," ucap Altha penuh sesal. Sisy hanya menampakkan senyumnya. Melihat itu, entah kenapa Altha malah dilanda perasaan sesak.

"Kenapa kalian diam aja? Bantai dia!" Suara seseorang itu membuat beberapa orang mendekati Altha. Bersiap untuk memukuli Altha yang memangku kepala Sisy. Hingga sebuah suara lain menyelamatkannya.

"Banci!" Altha kenal suara itu. "Mainnya keroyokan. Sini lawan kita."

Altha menoleh saat sebuah tepukan mendarat di pundaknya. Terlihat Liam yang menampakkan senyumnya. "Lo nggak papa, kan, Al?" tanya Liam.

"Lumayan kewalahan." Altha mendudukkan Sisy.

"Lo antar Sisy, gih. Biar mereka urusan kita." Altha mengangguk dan segera meraih Sisy dalam gendongannya. Meski dalam keadaan tubuhnya yang terasa sakit, Sisy merasakan sebagian tubuhnya tergelitik. Rasa bahagia itu pun turut hinggap di sela sakitnya. Sakit yang membahagiakan. Sisy, tidak akan pernah melupakan hari ini.

"Thanks," ucap Altha pada ketiga temannya sebelum dia berlalu. Segera memasuki mobilnya dan berlalu dari sana.

"Aku antar kamu ke rumah sakit." Tangan Sisy memegang tangan Altha saat Altha ingin membelokkan arah.

"Nggak, Kak. Bawa Sisy pulang saja," pintanya dengan suara lemah.

"Tapi l—"

"Kak, Sisy mohon ...." Entah kenapa jiwa tegas dan tidak ingin dibantah di diri Altha lenyap seketika. Dia lebih memilih menuruti keinginan Sisy untuk membawa gadis itu pulang.

🌺🌺🌺

Sinta terlihat gelisah dengan berjalan mondar-mandir di depan rumahnya. "Assalamualaikum." Suara Aidan membuat Sinta menoleh. Aidan mendekatinya dan menyalami tangannya. "Sisynya ada, Bu?"

"Sisy tidak ada di rumah, Nak Aidan," ucap Sinta. Terlihat jelas wajah khawatir di sana.

"Loh, ke mana, Bu?"

"Ibu juga nggak tahu, Nak. Dari pagi Ibu bantu di tetangga yang ada hajatan. Pas Ibu pulang, Sisy sudah tidak ada di rumah. Ibu pikir, dia mungkin ngantar pesanan kue atau apa. Tapi sepedanya ada di rumah." Aidan menatap sepeda Sisy yang terparkir di halaman rumah.

"Sampai saat ini Sisy belum pulang juga. Mana jamnya minum obat sudah lewat lagi." Wajah kekhawatiran itu semakin tercetak jelas.

"Memangnya Sisy tidak bawa obatnya, Bu?"

"Tidak! Itu yang membuat Ibu khawatir."

"Kalau begitu, biar Aidan cari Sisy, Bu." Baru saja Aidan akan berangkat, sebuah mobil yang dia kenali pemiliknya berhenti di depan rumah Sisy. Terlihat Altha yang keluar dan memutari mobil. Saat pemuda itu membuka pintu mobilnya, Aidan bisa melihat Sisy di dalamnya.

"Sisy!" panggil Aidan yang segera berlari ke arah keduanya. Aidan menatap khawatir Sisy saat mendapati wajah gadi itu yang terlihat pucat. Belum lagi, wajah Altha yang penuh dengan luka.

"Kalian habis dari mana?" tanya Aidan. Ada nada tidak suka dari cara bicaranya.

"Nanti aja. Biar gue bawa Sisy ke dalam dulu. Lo bawa aja bungkusan yang ada di mobil bagian belakang." Aidan mendengus melihat Altha yang memerintahnya. Kalau keadaannya tidak seperti sekarang, mungkin dia akan melawan Altha. Tapi— Ah. Sudahlah! Aidan pun mengambil apa yang Altha bilang di mobilnya. Ia segera menyusul Sisy dan Altha yang sudah memasuki rumah.

"Ya sudah, Bu. Saya pamit dulu. Sekali lagi, saya minta maaf." Aidan mendengar Altha yang sudah berpamitan saat dia memasuki rumah. Saat Altha melewatinya, keduanya saling memberi tatapan sengit. Saling menubrukkan bahu mereka seolah peperangan di antara mereka tidak akan pernah usai.

Aidan meletakkan beberapa kantong plastik di meja. Berdiri di samping Sinta dan memandang Sisy khawatir. "Makan terus minum obat dulu, yuk!" Sinta menawarkn makan pada putrinya.

"Sisy udah makan, Bu. Langsung minum obat aja," jawab Sisy dengan suara lirih.

"Ya sudah." Baru saja Sisy berdiri, tapi kepalanya terasa berat. Seisi rumah seolah berputar, tangannya terangkat untuk memegang keningnya. Sinta dan Aidan yang melihat itu menjadi khawatir kembali. Hingga ...

"Sisy!"




||🌺🌺🌺||

Izinkan Aku Bawa Cinta IniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang