🐼 24. 🐼

1K 128 20
                                    

Izinkan Aku Bawa Cinta Ini

Part 24

||🌺🌺🌺||










Sisy memandang setiap sudut kamar rawatnya. Sudah seminggu lebih dia berada di sini. Dia mulai merasa bosan. Hanya duduk diam, berjalan ke toilet, paling jauh pun ke taman rumah sakit. Sisy melihat ibunya yang tengah menyiapkan makanan yang baru saja diantar untuknya. "Bu, Sisy bosan," ucapnya lirih.

Sinta tersenyum memandang putrinya. Tangannya terulur untuk membelai rambut lurus sang putri. "Kamu mau jalan-jalan ke taman?" Sisi menggeleng, membuat ibunya melipat kening. "Lalu?"

"Sisy pengen pulang. Sisy pengen sekolah, Bu." Sisy menatap ibunya dengan tatapan penuh permohonan.

"Tapi sayang, kamu tidak boleh beraktivitas berlebihan lagi. Kondisi kamu tidak memungkinkan," jelas ibunya penuh dengan kelembutan. Sebenarnya, Sisy masih diperbolehkan beraktivitas. Akan tetapi bukan aktivitas berat. Hanya saja rasa bosan itu membuat dia benar-benar merasa hanya menjadi sebuah beban.

"Bu. Sisy kayak nggak ada artinya hidup kalau cuma di kamar ini," eluhnya yang tidak sadar bahwa ucapan itu membuat Sinta sedih.

"Kamu ini ngomong apa? Kamu itu sangat berarti untuk Ibu. Kamu nggak tahu betapa takutnya Ibu waktu itu," ucap Sinta dengan wajah marah, napasnya tersengal. Setelah mengatakan itu, dia membuang muka agar amarahnya tidak sampai menyakiti Sisy semakin dalam. Mendengar kemarahan ibunya untuk pertama kali membuat Sisy ketakutan. Dia menunduk dan memilin jari-jarinya. Dia tahu ibunya cemas akan kondisinya, hanya saja-

Aidan memasuki kamar rawat Sisy saat mendengar teriakan Sinta. Dia menatap gadis di atas brankar yang kini juga menatapnya dengan mata berkaca. "Ada apa, Bu? Kok Ibu teriak-teriak?"

Menarik napas dalam, Sinta memilih keluar dari kamar rawat Sisy. Saat itulah tangis Sisy pecah karena merasa bersalah akan kemauannya. Aidan yang melihat itu segera mendekat dan memeluknya. "Ibu marah sama Sisy, Kak."

"Ssst, enggak. Ibu nggak marah." Sisy masih menangis dalam pelukan Aidan. "Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Ibu kamu sampai teriak seperti itu?"

Sisy melepaskan pelukan Aidan. Dia menghapus air matanya dan menatap Aidan sedih. "Sisy bosen, Kak di sini. Sisy pengen sekolah." Aidan menghela napas dalam.

"Kamu, kan, tahu sendiri bagaimana kondisi kamu?"

"Cuma sekolah aja, kok, Kak. Nggak akan yang lain. Sisy cuma pengen sekolah," ucapnya dengan sesenggukan. Aidan mengerti apa yang dirasakan Sisy. Layaknya remaja yang lain pasti ingin merasakan kebebasan. Bukan dikurung di sebuah rumah sakit. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Kondisi yang mengharuskan berada di sini.

Seorang Dokter memasuki ruangannya. Pria berkacamata itu tersenyum pada Sisy. "Saya sudah mendengar keinginan kamu dari Ibu kamu. Baiklah Sisy. Saya mengizinkan kamu untuk sekolah." Wajah Sisy yang dipenuhi air mata itu kini menampakkan binarnya.

"Akan tetapi, kamu harus hati-hati dalam melakukan apa pun. Ingat apa saja hal yang harus kamu hindari." Sisy mengangguk dengan semangat.

"Siap, Dok!" Dokter itu tersenyum. Ia mengagumi semangat Sisy di tengah sakit yang dideritanya. Gadis itu memandang ibunya yang berada di samping Dokter. Dia merentangkan tangan yang langsung mendapat sambutan pelukan hanya dari Sinta.

Sisy tersenyum dalam pelukan ibunya. Dalam hati dia berucap, "Maaf kalau Sisy membuat ibu khawatir. Sisy hanya ingin sekolah. Merasakan kehidupan remaja pada umumnya. Sebelum Tuhan menjemput Sisy."

🌺🌺🌺

"Bodoh! Apa saja kerja kalian sampai mencari keberadaan satu gadis saja tidak bisa? Ha?" teriak Altha pada kesepuluh bodyguard keluarganya. Seluruh bodyguard paling diandalkan di keluarganya dia arahkan untuk mencari keberadaan Sisy. Tapi, gadis itu tidak dapat juga ditemukan, bagai hilang ditelan bumi.

Kesepuluh bodyguard itu hanya menunduk. Bersiap jika Tuannya akan marah dan mendaratkan pukulan pada mereka. Sedangkan Danish dan Liam yang berada di belakang Altha memandang Altha dengan bergidik. "Keluar kalian!" teriaknya kembali.

Kesepuluh bodyguard itu pun pergi. "Aaa. Bangsat. Sialan," umpat Altha dengan menyapu meja di hadapannya. Semua kaleng minuman dan beberapa camilan jatuh berserakan.

"Al, udah, Al. Kalau kayak gini, lo nggak bakal nemuin Sisy." Liam mencoba untuk meredakan emosi Altha. Keduanya menahan napas saat Altha menatap dengan amarah.

"Di mana Dani?"

"Gue di sini," sahut Dani yang berada di pintu apartement. Kedua tangannya yang dia masukkan ke saku celana membuat Dani terlihat tampan dengan gaya santainya. Dia memasuki apartement Altha lalu duduk di salah satu sofa dan menyalakan tivi.

Altha mendengus melihat kelakuan sepupunya. Tidak tahukan Dani jika dia tengah kalang kabut mencari keberadaan seseorang? "Oh iya," ucap Dani tiba-tiba membuat ketiga orang di sana menatapnya secara bersamaan.

"Mungkin nggak, sih Sisy dirawat di rumah sakit?" Kening Altha terlipat mendengar ucapan sepupunya.

"Maksud, lo?" tanyanya yang masih tidak mengerti.

"Kemarin gue lihat Aidan memasuki rumah sakit—"

"Sialan. Kenapa lo nggak ngomong sama gue," potong Altha akan ucapan Dani.

"Gue lupa." Hanya Danilah yang tidak akan takut dengan kemarahan Altha. Altha menggeram menahan emosinya. Dia segera menyeret tangan sepupunya keluar dari apartemen. Setelah menyeret Dani, keempatnya segera menuju rumah sakit di mana Dani melihat keberadaan Aidan kemarin.

Tak membuang waktu, Altha segera mencari keberadaan nama Sisy di rumah sakit itu. Sesuatu membuat amarahnya kembali naik. Nama Sisy memang pernah terdaftar di rumah sakit itu. Hanya saja, kemarin sore sudah meninggalkan rumah sakit. Altha, kembali mengumpat. Dia segera melajukan mobilnya ke rumah Sisy. Namun, sayangnya tidak ada siapa pun di sana. Rumahnya masih kosong. Lalu, di mana  gadis itu?

"Bangsat! Di mana dia?" Umpatan selalu Altha ucapkan. Dia menendang ban mobilnya menumpahkan kekesalan yang tidak dapat menemui keberadaan Sisy. Lagi-lagi Altha seperti orang bodoh yang marah-marah tidak jelas di depan rumah orang.

Jika Dani memandang tingkah Altha dengan santainya, lain hal dengan Danish dan juga Liam. Keduanya merasa bingung akan sikap Altha yang beberapa hari ini sering uring-uringan. Apalagi, ini semua karena Sisy. Sebesar apa gadis itu membuat salah pada Altha sehingga pemuda itu ingin sekali membalasnya?

"Sisy abis ngapain, sih, Nish? Kok Altha kayak marah banget gitu?" bisik Liam.

"Gue juga nggak tahu. Pan, terakhir kita ketemu Sisy pas Altha sama Sisy dikeroyok orang suruhannya David." Liam mengangguk, membenarkan ucapan Danish.

"Gue yakin nih, ya. Sisy pasti udah ngelakuin kesalahan yang sangat fatal sampai Altha marah kek gitu. Apalagi, Sisy sampek sembunyi dari Altha kek gini," duga Liam. "Sampe nggak masuk sekolah."

"Iya kayaknya." Keduanya mengangguk bersama masih dengan menatap Altha.

Hingga kemudian terpikirkan suatu hal pada otak cerdas Liam. Dia menjentikkan jari di depan wajah Danish. "Sisy pasti nyolong benda berharga di rumah Altha. Terus Altha baru tahu setelah dia nganter Sisy pulang. Pas Altha mau cari Sisy, eh, Sisy-nya udah nggak ada di rumahnya."

"Lo bener. Gue yakin udah." Biarkanlah Danish dan Liam dengan pemikiran otak tercerdas mereka.

🌺🌺🌺

Sepatu sudah dia kenakan, tas sudah ada di punggungnya. Jaket berwarna biru langit sudah melingkupi tubuhnya. Senyumnya berkembang dengan lebar, dengan wajah bahagia dia menghampiri motor ninja yang sudah ada lelaki tampan berdiri di sana.

"Sudah siap, Sy?" Sepulangnya dari rumah sakit kemarin orang tua Aidan meminta Sisy dan ibunya untuk tinggal di rumah mereka. Kedua orang tua Aidan beralasan rumah mereka jaraknya lebih dekat dari rumah sakit. Selain itu, ada sopir yang selalu siaga jika terjadi apa-apa pada gadis itu.

Hari ini Sisy siap untuk bersekolah. "Ayo Naik." Sisy menaiki motor Aidan yang terbilang tinggi. Pagi tadi, permintaan gadis itu kembali membuat ibunya khawatir. Dia menolak untuk naik mobil dan memilih untuk dibonceng Aidan dengan motor.

"Hati-hati. Jangan ceroboh di sekolah. Ingat kondisi kamu," wanti Sinta pada Sisy. Lalu dijawab anggukan dan acungan jempol oleh putrinya. Tawa manis pun senantiasa menghiasi wajah gadis itu hari ini.

"Aidan jangan ngebut, ya. Hati-hati bawa motornya." Kali ini Risa yang mewanti putranya.

"Iya, Ma. Kalau gitu, kita pamit dulu. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam." Aidan melajukan motornya meninggalkan rumah. Sinta memandang kepergian Sisy penuh kekhawatiran. Tiba-tiba dia jadi teringat dengan apa yang telah dipikirkan semalam.

Sebuah usapan lembut dia rasakan pada pundaknya. Sinta menoleh dan mendapati Risa tersenyum padanya. "Kamu mikirin apa, Sin?"

Sinta menghela napas dalam. "Aku ... kepikiran untuk meminta bantuannya, Ris." Sinta menunduk, memilin jarinya karena masih merasa belum yakin akan apa yang ingin dia lakukan, merasa ragu dalam.

"Kalau menurutku itu bagus, Sin. Makin banyak yang membantu kita mencarikan donor jantung untuk Sisy, akan semakin baik juga, Sin." Sinta menghela napas kemudian mengangguk membenarkan ucapan sahabatnya. Ya, semakin banyak yang membantu, akan semakin baik pula. Semoga, mereka cepat mendapatkan pendonor untuk Sisy.

"Aku akan menghubunginya sekarang." Sinta meremas ponselnya sebelum menjauhi Risa. Merasa bukan urusannya lagi, Risa memilih untuk memasuki rumah.

Sinta mendial nomor seseorang. Tak perlu waktu lama untuk seseorang di seberang sana mengangkat panggilan darinya. Sebuah sapaan 'hallo' membuat tubuh Sinta sedikit merinding.

"Aku ... membutuhkan bantuanmu.” Dia diam sesaat. “To—tolong carikan donor jantung untuk Sisy." Sinta bisa mendengar orang di seberang sana menghela napas dalam.

"Apa yang kita takutkan telah terjadi," ucap seseorang itu.

"Ya. Tapi aku tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Aku tidak ingin kehilangan dia," ucap Sinta yang saat ini sudah kembali menitikkan air matanya.

"Aku mengerti. Aku akan membantu putriku. Pasti."

"Terima kasih." Setelah mendapat jawaban pasti, Sinta memutuskan panggilannya. Ia sangat berharap agar putrinya cepat mendapatkan donor. Semoga seseorang itu bisa membantunya. Terlepas setelah semua yang telah terjadi.

🌺🌺🌺

Pemandangan paling memuakkan bagi Altha baru saja dilihat. Tatapan penuh amarah dia arahkan pada gerbang masuk sekolah. Di mana sebuah motor dikendarai oleh seorang murid laki-laki bernama Aidan. Bukan. Bukan itu masalahnya. Aidan, yang beberapa hari lalu mengatakan tidak mengetahui keberadaan Sisy, hari ini membawa Sisy pada boncengannya.

"Bakal ada perang, nih."

"Ho'o. Pasti seru." Liam dan Danish saling terkikik.

"Brengsek! Dia udah bohongin gue." Altha berniat menghampiri keduanya. Namun, sebuah cekalan pada pundaknya membuatnya terhenti.

"Mau ke mana, lo?" tanya Dani si pelaku.

"Ngampirin si Aidan. Dia udah berani bohongin gue."

Dani mendengus kasar. Altha selalu tidak dapat mengontrol emosinya. "Nggak usah bikin ribut pagi-pagi. Nanti siang, kan, juga bisa. Lagian, dia nggak bohong. Dia nggak mau ngasih tahu lo. Beda."

Bantahan yang akan dilayangkan Altha urung kala dia melihat Aidan dan Sisy yang akan melewati tempatnya berada. Lebih baik dia mencegatnya. Tepat saat Aidan sudah berada beberapa langkah darinya, Altha sudah berdiri siap menghadang keduanya.

Sisy yang melihat keberadaan Altha entah kenapa menjadi salah tingkah. Seminggu tidak melihat wajah orang yang dia cintai bohong jika Sisy mengatakan bahwa tidak merindukannya. Pipinya tiba-tiba terasa panas. Semburat tomat mulai tampak. Rona merah itu semakin terlihat karena kulit putihnya yang pucat.

Namun, dia terkejut saat tiba-tiba saja Altha mencengkeram kerah baju Aidan. Dia juga memekik saat merasakan sebuah tarikan pada punggungnya. Kini dia menjadi berjarak dengan Aidan dan juga Altha. "Sialan! Nggak usah kasar sama cewek, bisa?" teriak Aidan pada Liam yang masih memegangi kerah baju Sisy bagian belakang. Teriakan Aidan menjadikan mereka kini sebagai pusat tontonan para murid lain. Dani hanya menatap jengah sepupunya yang memang susah untuk diberi tahu.

Aidan kembali menghadap Altha saat cengkeraman pada bajunya semakin terasa. Tatapan Altha yang penuh akan kemarahan semakin membuat Aidan muak. "Lo bilang, lo nggak tahu di mana keberadaan Sisy. Tapi nyatanya, hari ini kalian berangkat bersama. Lo bohongin gue, ha?" Altha mendesis menahan amarah yang sudah siap dia keluarkan.

"Gue nggak pernah bohongin lo. Gue hanya nggak mau kasih tahu lo?" Aidan memang tidak pernah takut pada Altha. Bahkan di saat Altha menatapnya dengan penuh kemarahan. Dia pun merasakan betapa cengkeraman Altha begitu kuat pada kerah bajunya.

"Bangsat!" Satu pukulan Altha layangkan pada wajah Aidan. Pekikan beberapa murid terdengar saat hal itu terjadi. Begitu pula dengan Sisy. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apakah kemarin ada masalah di antara mereka? Tubuh Aidan bergerak mundur dengan wajah yang terpelanting ke samping, ibu jarinya diangkat untuk menyeka darah yang dirasakan mengalir pada sudut bibir. Tak terima akan perlakuan itu, Aidan pun membalas.

Kembali. Pertengkaran keduanya tak terelakkan. "Kak Altha. Kak Aidan. Udah!" Sisy berteriak berharap keduanya menghentikan perkelahian. Namun, percuma. Altha yang marah karena merasa dibohongi dan Aidan yang tidak terima atas perlakuan Altha membuat keduanya saling melayangkan pukulan.

"Kalian kenapa diam aja? Pisahin mereka," ucap Sisy pada ketiga teman Altha.

"Kenapa dipisahin? Seru ini." Sisy menatap tak percaya pada Liam. Bisa-bisanya dia membiarkan temannya berkelahi dan babak belur.


"Lagian, kita nggak mau kena pukul. Altha tuh, ya, kalau udah marah nggak liat siapa yang dia pukul." Sisy menatap khawatir Altha dan Aidan. Keadaan keduanya kini sudah berantakan. Baju yang tak lagi rapi serta beberapa luka lebam di wajah mereka.

Sisy meringis kala keduanya saling mendaratkan pukulan semakin keras. Dia sudah tak sanggup melihat pemandangan ini. Sekuat tenaga melepaskan diri dari Liam. Berhasil, lalu segera menghampiri Altha dan juga Aidan. "Waduh! Berani bener," ucap Liam yang melihat Sisy mendekati area pertengkaran.

Sisi menatap bingung keduanya. "Kak Altha, Kak Aidan. Udah!" Perkataan Sisy tak keduanya hiraukan. Mereka masih saling melayangkan pukulan.

Sisy yang ucapannya tak digubris sama sekali memberanikan diri untuk mendekat. Dia mencoba untuk memisahkan Aidan dan Altha. Namun, hal yang tak terduga terjadi. Sebuah tarikan keras dari arah belakang membuatnya tertarik dan punggungnya terbentur dinding. "Lo gila? Lo mau kena pukul sama mereka?" tanya Dani dengan teriakan. Sisy tidak menggubris ucapan itu. Fokusnya hanya pada rasa sakit di punggung yang kini menjalar pada dadanya.

"Sisy!" teriak Aidan. Matanya yang tak sengaja melihat Sisy terduduk di lantai dengan wajah kesakitan membuatnya melupakan perkelahiannya. Akibat dari itu dia mendapat pukulan Altha yang mendarat telak di wajah. Dia terjatuh. Akan tetapi dia tidak memedulikannya, yyang utama baginya saat ini adalah Sisy.

Aidan bangkit, dan Altha bersiap untuk menghadapi Aidan kembali. Altha tersenyum miring saat Aidan tak lagi membalasnya. Dia memandang remeh saat Aidan menghampiri Sisy. "Sisy, kamu nggak papa?" Wajah kesakitan Sisy membuat Aidan khawatir. "Coba tarik napas, lalu embuskan. Pelan-pelan." Sisy mengikuti instruksi dari Aidan. Dengan setenang mungkin dia melakukannya.

"Ada apa ini?" Suara Pak Mahmud selaku guru BK memecah kerumunan. Pak Mahmud menghela napas kasar kala mendapati Altha dan kawan-kawannya. Sudah biasa baginya. Akan tetapi dia menatap tak percaya pada Aidan yang membantu Sisy berdiri.

"Kalian berlima, ke ruangan saya sekarang," titah Pak Mahmud sembari menunjuk Altha, ketiga temannya dan juga Aidan. Seperti biasa, Altha hanya memutar bola matanya malas.

Tidak dengan Liam dan Danish, keduanya melotot mendengar ucapan Pak Liam. "Lah, kok kita juga, sih, Pak?" protes mereka yang merasa tidak terima. "Kami, kan, tidak ikut-ikutan."

Pak Mahmud memandang keduanya jengah dan berucap, "Kalian berdua, satu paket sama Altha. Jadi, kalian ikut saja."

"Pak, saya mau mengantar Sisy ke UKS dulu." Pak Mahmud mengangguk dan segera berlalu. Berbeda dengan Altha dan ketiga temannya yang langsung mengikuti Pak Mahmud, Aidan dan Sisy berjalan berlawanan arah dengan mereka.

🌺🌺🌺

Sisy mengetukkan jari-jarinya pada bangku. Suasana kelas sudah sepi sejak sepuluh menit yang lalu. Dia masih berada di kelas karena menunggu Aidan yang katanya masih ada urusan. Merasa bosan, Sisy memutuskan untuk menunggu Aidan di kantin saja.

Baru saja dia keluar dari kelasnya, bekapan pada mulut dan matanya membuat dia terkejut. Meminta tolong pun percuma. Sisy merasakan langkahnya kini menaiki tangga, dengan terhuyung dia berusaha melangkah dengan hati-hati. Namun, tetap saja sesekali kakinya terhantuk.

Hingga embusan angin sedikit kencang menerpa, tubuhnya didorong begitu saja. Dia tahu di mana kini. Rooftop sekolah. Sisy berbalik untuk melihat siapa pelaku yang membawanya. Namun, pintu di belakangnya sudah tertutup.

Mata Sisy membelalak ketika pintunya tidak dapat dibuka. "He. Ada siapa di sana? Tolong buka pintunya!" teriak Sisy. Tangannya tak henti-henti menggedor pintu itu. Berharap seseorang tadi menghentikan aksi jailnya.

"Tolong buka. Ini nggak lucu, ya?" Sisy masih menggedor pintu itu. Meski tidak mendapat jawaban apa pun, Sisy tetap berusaha.

"A—" Sebuah tarikan membuatnya terkejut kembali. Tubuhnya terhempas begitu saja pada dinding. Lagi, untuk kedua kali dalam sehari, punggungnya membentur dinding. "Ini sakit," ucap Sisy dalam ringisnya.

Apa lagi, kali ini ditambah sebuah cengkeraman pada kedua lengannya, semakin menambah kesakitan Sisy. Gadis itu meringis kala merasakan perih pada lengan.

Mata Sisy membuka. Dia terkejut mendapati Altha berada di depannya. "Ka—kak Altha," ucapnya terbata. Apalagi, jarak di antara keduanya yang hanya sejengkal membuat Sisy kembali merasakan kegugupan.

"Ya. Ini gue." Nada datar dalam pengucapan itu terdengar menakutkan bagi Sisy. Belum lagi mata Altha yang memandangnya dengan tajam.

"A—ada apa, Kak?" tanya Sisy dengan terbata. Dia berusaha menahan rasa sakit yang kini mulai menjalar dari punggungnya.

"Ada apa?" ulang Altha dengan nada mengejek. Tangannya semakin mencengkeram kedua lengan Sisy. Tak peduli gadis itu yang meringis.

"Ada apa lo bilang?" Kali ini suara Altha sedikit meninggi. Sisy kembali terkejut hingga memejamkan mata.

"Lo nggak ada kabar seminggu lebih. Lo hilang gitu aja setelah pulang dari rumah gue. Gue cari lo ke mana-mana tapi nggak ketemu. Lo tahu betapa khawatirnya gue sama lo? Ha? Lo tahu?" Ada rasa hangat yang menjalar di hati Sisy saat Altha mengatakan bahwa dia menghawatirkannya.

"Gue kayak orang bego lo tahu nggak?" Kali ini Altha kembali meninggikan suaranya kembali.

"Dan sekarang, setelah lama menghilang lo tiba-tiba aja muncul bareng Aidan. Jadi selama ini lo sama Aidan, gitu?" Sisy menggeleng saat mendengar ucapan Altha.

"Enggak, Kak. Eng—"

"Lalu apa?" teriak Altha kembali. "Setelah seminggu lebih lo ilang, datang-datang lo bikin gue emosi tahu nggak. Gue cari lo kayak orang bego sedangkan elo enak-enakkan sama Aidan? Bangsat!" Altha memukul dinding tepat di samping kepala Sisy.

Sisy memejamkan mata dengan ketakutan yang melanda dirinya. Bersamaan dengan itu setitik air matanya jatuh. Sekuat tenaga dia mengatur napas, membuka mata dan memandang Altha lekat.

"Kenapa?" tanya Sisy. Mata Altha membulat mendengar pertanyaan dari Sisy.

"Kenapa Kakak khawatir sama aku? Bukankah Kakak nggak suka ak—" belum sempat Sisy menyelesaikan ucapannya, Altha melakukan hal yang tidak pernah Sisy duga. Atth mencium sudut bibirnya. Ciuman pertamanya, milik Altha. Laki-laki yang dia cinta. Tidak ada lumatan di sana. Hanya ada bibir yang saling menempel dan bergetar. Deru napas hidung yang memburu. Sisy mengedipkan mata yang seketika turut menurunkan air asinnya.

Altha menarik kepalanya dari Sisy. Memandang gadis itu dalam meski hanya didapati tatapan bingung. "Apakah, apakah lo rasain apa yang gue rasain ke elo? Apakah yang gue lakuin tadi nggak bisa buat lo sadar kalau gue mulai punya rasa yang beda sama, lo?" tanya Altha dengan napas tersengalnya.

Tangan Altha menangkup wajah Sisy. Dia menempelkan keningnya pada kening gadis ity. Ibu jarinya digunakan untuk menyapu lembut pipi Sisy. Napas hangat keduanya saling bertemu. "Gue cinta sama lo. Gue cemburu liat lo sama Aidan. Gue udah cari lo ke mana-mana tapi nggak ketemu. Gue kayak orang mati nggak liat lo seminggu lebih.”

Jangan tanya betapa bahagianya Sisy saat ini. Rasa cintanya terbalaskan. Laki-laki yang dia cintai juga turut mencintainya. Hanya saja, waktunya tidak lagi tepat. Semuanya sudah berubah. Kondisinya tak lagi mampu untuk memantaskan diri mencintai Altha. Kondisinya hanya akan menyusahkan Altha. Tidak. Sisy tidak menginginkan itu.

Memberanikan diri, Sisy mengangkat kedua tangannya. Menempatkan pada dada Altha dan mendorongnya pelan sehingga memberi jarak di antara keduanya.

"Ma—maaf, Kak. Sisy nggak bisa. Sisy nggak bisa mencintai Kak Altha." Bisa Sisy lihat tatapan penuh kekecewaan pada wajah Altha. Sekuat tenaga dia menggigit bibir bawahnya agar tidak menangis.

"Kenapa?" tanya Altha dengan suara parau. "Bukankah lo cinta sama gue?" Sisy hanya diam tak menjawab. Meski air mata Sisy telah lolos, dia berusaha untuk tidak terisak.

"Lo bohong, kan? Lo hanya ngerjain gue, kan?" Sisy dengan cepat menggeleng. Membuat Altha kehilangan kata-katanya. Dia menghela napas dalam dan mendongak untuk menyembunyikan matanya yang sudah terasa memanas.

"Kenapa? Apa sekarang di hati lo ada orang lain? Iya?" Altha bertanya dengan pandangan sayu. Sisy tak kuasa melihatnya. Namun, dia tetap menahan tangisnya yang ingin pecah. Melihat tatapan Altha yang seperti itu jujur saja membuatnya merasa sakit.

"Siapa? Siapa orang itu? Aidan? Iya, kan? Aidan, kan?" Mata Sisy membulat. Ingin mengatakan tidak, tetapi Sisy ingin segera hal ini berakhir.

Akhirnya, dia pun menjawab, "Iya." Sisy menjawab dengan mengalihkan pandangannya. Dia tak bisa melihat tatapan Altha yang pasti bertambah kecewa padanya.

Mendengar jawaban itu, Altha terkekeh. Merasa lucu akan dirinya. "Berarti gue goblok banget dong. Gue bego banget dong. Gue dengan percaya dirinya dan yakin kalau lo masih cinta sama gue." Tawa Altha semakin kencang terdengar. Tawa yang terdengar menyayat hati tersirat akan kekecewaan.

"Bangsat!" Sisy terkejut akan umpatan Altha. Altha mengumpat disertai dengan kakinya menendang kursi kayu yang berada tak jauh darinya. Entah sekuat apa Altha menendangnya hingga kursi kayu itu terpelanting cukup jauh.

Tak lama suara pintu ditutup terdengar. Altha telah pergi meninggalkannya. Tubuh Sisy luruh ke lantai. Dia memeluk lututnya sembari menumpahkan tangis.

"Enggak, Kak. Enggak. Cinta aku masih sama. Cinta aku masih sama, masih besar seperti dulu untuk Kakak, tapi aku sudah tidak pantas untuk Kakak. Orang berpenyakitan ini tidak pantas untuk Kakak," ucap Sisy di tengah tangis.

Rasa nyeri mulai terasa kembali. Sisy mulai bangkit untuk segera turun. Aidan pasti saat ini tengah mencarinya. Dengan langkah tertatih dia menggapai pintu, membukanya dan segera menuruni tangga secara perlahan. Namun, pening lebih dulu menyerang. Kepalanya terasa berat gelap pun menyerang pandangannya.

🌺🌺🌺

Altha mengabaikan pandangan ketiga temannya yang penuh pertanyaan. Rasa marah sudah menyelimuti dirinya. Tanpa menunggu ketiganya, Altha berlalu begitu saja. Tak tinggal diam, Dani, Liam dan Danish mengikutinya.

Ketiganya turut berhenti saat Altha berhenti begitu saja. Mereka tidak bertanya saat melihat wajah Altha yang sembab. "Kunci motor," pinta Altha pada Dani. Entah kenapa dia tak ingin membawa pulang mobilnya. Dia ingin kebut-kebutan untuk melampiaskan kemarahannya.

Dani menghela napas, tangannya masih setia pada saku. "Lo lagi marah. Bisa bahaya kalau lo bawa motor."

Altha mendengus, dia menatap Liam tajam tanpa kata. Tangan diulurkan pada Liam. Liam mengerti apa artinya. Untuk sesaat, dia ragu memberikan kunci motornya karena melihat gelengan dari Dani. Namun, tatapan Altha yang penuh intimidasi membuat dia memberikan kunci motornya dengan ragu-ragu.

Dani berdecak. "Al, bahaya, Al." Altha tak menanggapi ucapan Dani. Dia segera ke parkiran dan menjalankan motor Liam.

Tak menghiraukan jalanan yang padat, Altha mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Dia menyalip mobil dan motor lain sembarangan. Umpatan dari beberapa pengendara lain atas kelakuannya tak dihiraukan. Tetap melajukan motor dengan kencang. Bahkan, tak ragu untuk menerobos lampu merah.

"Bangsat. Bisa-bisanya gue suka sama lo cewek aneh," racaunya di atas motor yang masih dipacu kencang.

"Sialan," umpatnya kembali. Semua kemarahan dia tuangkan di jalanan ini. Tak memedulikan orang lain yang meneriakinya.

Hingga sampai pada lampu merah yang entah ke berapa, Altha masih memacu motor kencang. Warna lampu memang hijau, tetapi itu tersisa beberapa detik saja. Tuas gas Altha tarik lagi, motornya semakin melaju kencang. Namun sayang, lampu berubah warna karena waktu telah habis. Altha melintasi perempatan tepat dari arah lain lampu berubah warna menjadi hijau. Sebuah bus yang telah melaju terkejut akan adanya Altha di depannya. Sopir bus itu memang sempat menginjak rem.

Namun, tabrakan itu tetap tak terelakkan. Motor Altha tertabrak bus itu. Pemuda itu terpental dari motor. Jatuh ke aspal membuatnya mati rasa. Tubuh tak berdaya berguling di atas aspal yang panas. Hingga sebuah pembatas jalan menghentikannya karena tubuh yang membentur pembatas itu.

Tak ada rasa sakit yang bisa Altha rasakan. Semuanya mati rasa. Yang dia ingat hanya wajah penolakan Sisy akan dirinya. Hingga gelap menyapa.










||🌺🌺🌺||

Selamat sore

Cuma mau ngasih tahu nih

Cerita ini sudah ada versi bukunya, ya😁😁😁

Cerita ini sudah ada versi bukunya, ya😁😁😁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Yang mau pesan, tuk segera chat.

Oke

😘😘😘

Izinkan Aku Bawa Cinta IniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang