Izinkan Aku Bawa Cinta Ini
Part / 23
||🌺🌺🌺||
Altha mengompres wajahnya yang mengalami lebam. Dengan sedikit mendesis, dia menahan rasa sakit. Dia menatap jengah pada ketiga temannya yang dalam keadaan baik-baik saja. Bagaimana mungkin mereka bertiga bisa tidak mendapatkan satu luka pun mengotori wajahnya setelah bertarung dengan orang-orang yang menghadangnya dan Sisy? Sialannya ternyata. Mereka tidak hanya bertiga melawan begundal-begundal jalanan tadi siang. Ada para Bodyguard keluarga Maheshali yang mereka bawa. Sialan. Umpat Altha dalam hati.
"Jadi, orang-orang tadi suruhan siapa?" tanya Altha yang tak lagi memusingkan soal luka ketiga temannya.
"Biasa. David." Altha mendengus mendengar nama itu. Selalu saja dia ingin mencari masalah dengan dirinya. Padahal, Altha tidak pernah mengusik ketenangannya. David selalu Ingin menjadi penguasa. Ditakuti oleh kelompok lain. Apa coba keuntungannya? Berbicara mengenai kelompok, kelompok apa yang Altha punya? Hanya dua teman tidak warasnya dan satu sepupu resenya.
"Tuh anak. Belum juga kita bales waktu kejadian dia ngerusak motornya Altha. Eh, udah berulah lagi." Danish ikut nimbrung meskipun tangannya tidak berhenti mengupas kulit kacang.
"Gue nggak yakin David bakal nyerang gitu aja," ucap Dani.
"Maksud lo?" Dani hanya tersenyum lalu menatap Altha. Sembari mengangkat satu alisnya, Dani yakin pasti Altha tahu maksudnya.
Tatapan Dani yang diberikan kepadanya membuat Altha memutar bola matanya jengah. "Bokap tahu kalau David habis ngerusak motor gue. Dia bayar preman metro untuk berulah di markas David," jelas Altha.
Dia melemparkan tubuhnya ke atas kasur setelah merasa selesai dengan luka di wajahnya. Altha benar-benar merasa lelah hari ini. Belum lagi, dia masih kepikiran soal kondisi Sisy. Bagaimana mungkin pukulan di punggung Sisy bisa membuat wajah Sisy sepucat itu? Meskipun pukulan itu memang sangat keras adanya. Hanya saja, ada sesuatu yang mengusik pikiran Altha. Pasti ada yang tidak beres.
"Kok bisa?" tanya Liam. "Lo ngadu sama bokap, lo?" Pertanyaan Liam meleburkan angan Altha.
Altha melirik Liam sinis lalu berucap, "Lo pikir gue pengecut? Kalau ada apa-apa bakalan lapor sama bokap?" Liam hanya menampakkan cengirannya.
"Jangan lupakan gue dan Altha keturunan siapa. Meskipun nggak ngomong sama bokap kita masing-masing, mereka pasti tahu apa yang kita lakuin." Dani berucap tanpa memandang yang lainnya. Jangan berharap akan mendapatkan atensi Dani jika dia sudah berkutat dengan game pada ponselnya.
"Iya?"
Altha menghela napasnya kasar. "Iya, dan gue yakin, mereka pun saat ini tahu dengan apa yang kita lakukan." Mendengar ucapan itu, Danish menghentikan aksi makannya. Ia menatap Altha was-was lalu bangkit mendekati Altha.
"Al. Berarti bokap lo selama ini tahu, ya, kalau gue suka pakai WIFI apartemen, lo?" tanya Danish khawatir. Dia khawatir, papa Altha akan berpikir kalau dirinya hanya memanfaatkan anaknya lalu menghancurkan dirinya. Danish bergidik akan pikiran itu.
Altha yang sebelumnya menutup mata kini melirik Danish dengan sengit. "Menurut, lo?" Danish menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Baik-baik kelakuan lo sama gue kalau nggak mau gue minta bokap buat abisin lo." Altha menahan tawa melihat wajah pias temannya.
"Ka—kan gue selalu baik, Al." Altha bangkit dari tidurnya. Dia meraih minuman kaleng pada meja di hadapannya.
"Kita liat aja nanti." Altha meneguk minumannya dengan tetap melirik Danish dengan senyuman miring. Melihat itu, entah kenapa Danish merasa akan ada sesuatu yang Altha lakukan kepadanya.
Dani menghentikan permainannya lalu menatap Altha. "Menurut gue, ya, Al. Apa yang dilakuin bokap lo itu nanggung. Kenapa nggak langsung bawa bodyguard keluarga kita sekalian. Gue yakin setelah itu David nggak bakalan mau macem-macem lagi." Altha memutar bola matanya. Merasa jengah akan ucapan Dani. Sedangkan sepupunya itu malah tersenyum miring.
"Iya. Dan gue bakal dicap sebagai seorang pengecut. Beraninya ngumpet di belakang ketek bokap." Dani tertawa. Lagi-lagi membuat Altha ingin mencekiknya jika Altha tak ingat siapa dia.
🌺🌺🌺
Sinta menggenggam tangan Sisy yang masih terbaring lemah di brankar rumah sakit. Pikirannya masih terbayang akan ucapan Dokter untuk dengan segera mencarikan Sisy donor jantung. Pasti. Apa pun akan dia lakukan untuk mencari pendonor itu. Sisy adalah putri satu-satunya. Putri yang selalu menemani dalam hidupnya. Putri yang menjadi penyemangatnya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dia lakukan jika dia kehilangan Sisy.
Akan tetapi, mencari pendonor jantung bukanlah perkara mudah. Selain sulit, biayanya pun juga sangat mahal.
Tidak! Apa pun akan dia lakukan demi mencari pendonor untuk Sisy. Demi hidup anaknya. Bahkan, dia pun rela mendonorkannya. Sayangnya, dia tidak bisa. Yang bisa dia lakukan saat ini hanya berusaha dengan keras untuk mencari pendonor untuk anaknya.
Suara pintu terbuka menampakkan Aidan yang baru saja datang. Beberapa kantung makanan ada di tangannya. "Bu, Ibu makan dulu, ya."
Sinta memandang Aidan. "Ibu nggak nafsu makan, Nak Aidan."
"Bu, kalau Sisy ngelihat Ibu kayak gini, Sisy bakal sedih. Nanti juga ... siapa yang akan menjaga Sisy kalau Ibu sakit gara-gara tidak makan." Sinta terdiam sejenak. Jika dipikir-pikir, apa yang dikatakan Aidan ada benarnya.
Sinta mengangguk membuat Aidan tersenyum. "Ibu mau cuci tangan dulu." Aidan kembali mengangguk. Selepas kepergian Sinta, Aidan mendekati Sisy dan membelai kepala gadis itu.
"Sy, bangun! Jangan buat Kakak dan ibu kamu sedih. Kamu harus kuat. Kamu harus sembuh. Kakak janji akan bantu mencarikan pendonor jantung untuk kamu. Kalau perlu, Kakak akan berikan jantung Kakak untuk kamu." Setelahnya, Aidan memilih duduk di sofa ruangan Sisy. Memandang sosok cantik yang masih betah dengan tidurnya.
"Kamu sudah makan, Nak Aidan?" tanya Sinta saat dia membuka kotak makan yang sebelumnya dibawakan oleh Aidan.
"Sudah, Bu. Sebelum berangkat tadi Aidan sudah makan." Sinta mengangguk dan mulai memakan makanannya.
Beberapa waktu kemudian, suara rintihan Sisy terdengar. Sinta dan Aidan sontak bangkit dan mendekati Sisy. "Sayang," panggil Sinta.
"Ibu," lirih Sisy saat dia berhasil membuka matanya. Wajah ibunya dengan mata yang berkaca-kaca menyambutnya. Melihat itu dia tahu dia telah membuat ibunya khawatir. Tangannya terulur untuk menghapus air mata ibunya yang jatuh.
"Ibu kenapa nangis?" tanya Sisy dengan senyum tipis. Mendengar pertanyaan putrinya, Sinta malah menumpahkan air mata. Dia menggenggam tangan Sisy yang ada di pipinya dan mengecup tangan gadis itu.
"Jangan! Jangan buat Ibu khawatir. Kamu harus kuat. Kamu harus sembuh," ucap Sinta parau. Sisy mengangguk dalam senyumnya.
Tatapan Sisy kini jatuh pada Aidan. Dia kembali menampakkan senyum tipis. "Kak Aidan," panggilnya.
Aidan tersenyum. "Kuat, ya. Kamu harus sembuh." Sisy mengangguk. Dia memilih kembali memandang ibunya. Merentangkan tangan sebagai isyarat bahwa dia ingin dipeluk. Tentu saja, dengan senang hati Sinta melabuhkan pelukan pada putri tercintanya. Pelukan erat tanda dia tidak ingin kehilangan Sisy.
🌺🌺🌺
Seperti biasa, pagi itu, Altha dan ketiga temannya akan duduk santai di depan kelas sebelum bel masuk berbunyi. Di sela candaan mereka, sesekali Altha melihat ke arah gerbang. Berharap dia akan melihat kedatangan Sisy.
Sisy? Iya. Sisy. Altha menunggu gadis itu. Dia berdecak kala tak mendapatinya padahal sepuluh menit yang lalu dia melihat kedatangan Naira. Tidak biasanya gadis itu datang sendirian.
Hingga bel masuk berbunyi, Altha tak juga mendapati kedatangan Sisy. Pun dengan waktu istirahat. Dia juga tak mendapati keberadaan gadis itu bersama teman-temannya. Hanya ada Aidan dan yang lain. Ingin bertanya pun, Altha tak mungkin melakukannya. Mau tarok di mana mukanya jika dia bertanya pada Aidan.
🌺🌺🌺
Aidan duduk di depan kelas Sisy yang belum usai. Dia menunggu Naira yang ingin menjenguk Sisy di rumah sakit. Pada jam istirahat tadi, Aidan memberi tahu gadis itu karena terus didesak. Bagaimanapun juga, Naira adalah sahabat Sisy. "Kak," panggil Naira saat dia keluar dari kelasnya.
Aidan bangkit dari duduknya. "Sekarang?" Naira mengangguk. Berjalan beriringan, keduanya meninggalkan area sekolah. Di ujung lorong, keduanya bertemu dengan Altha dan ketiga temannya. Seperti biasa, Altha dan Aidan selalu saling memberikan tatapan sengit. Tak ingin waktunya terbuang, dia mengabaikan segala tingkah empat pemuda itu.
"Tumben Kakak nggak bales ucapan mereka?" tanya Naira saat Aidan membantunya mengenakan helm.
"Ada hal yang lebih penting daripada mengurusi orang-orang tak bermoral kayak mereka." Aidan berucap dengan senyum tipis. Membuat Naira mengulum senyum merasa benar akan ucapan Aidan.
Perjalanan dari sekolah menuju rumah sakit mereka tempuh sekitar 30 menit. Tanpa basa-basi, keduanya menuju kamar Sisy. Aidan melipat keningnya saat akan membuka pintu ruang rawat. Dia mendengar suara yang sangat dikenali. Tak ingin hanya menebaknya saja Aidan pun membuka pintu.
"Mama, Papa?" panggilnya saat dia melihat kedua orang tuanya berada di dalam. Aidan masuk untuk menyalami kedua orang tuanya dan juga ibunya Sisy. Pun dengan Naira.
"Papa sama Mama ngapain di sini?" Aidan memandang kedua orang tuanya penuh tanya.
Sedangkan kedua orang tuanya hanya tersenyum. Satu usapan lembut di kepala Aidan dapat dari mamanya. "Ya jenguk calon mantu Mamalah," ucap mamanya Aidan dengan melirik Sisy.
Aidan yang mendengar ucapan mamanya begitu frontal hanya tersenyum kikuk. Dia menggosok tengkuknya mencoba untuk menghilangkan rasa gugup. Sedangkan Sisy, ia tampak tersipu malu dengan mengulum senyumnya. Tepukan pelan dirasakan di pundak. Dia melihat Naira yang menaik turunkan alis.
Melihat hal itu ketiga orang dewasa di sana tertawa. Merasa lucu akan tingkah putra putri mereka. "Kamu kenapa nggak kasih tahu Mama, sih, kalau Sisy dirawat di sini? Untung saja tadi Mama nggak sengaja ketemu ibunya Sisy." Aidan mendapat lirikan tajam dari mamanya.
"Ya, maaf, Ma. Aidan lupa. Sisy juga baru kemarin masuk rumah sakit." Aidan menatap papanya yang saat ini memegang pundaknya.
"Papa akan membantu mencarikan donor jantung untuk Sisy." Aidan tersenyum dan refleks memeluk Papanya. Image cool Aidan tampak luntur saat dia berada di antara kedua orang tuanya.
"Terima kasih, Om, Tante," ucap Sisy dengan mata berkaca. Ia memandang ibunya seolah mengatakan bahwa ia pasti sembuh. Sinta mengangguk lalu memeluk Sisy.
"Kamu pasti sembuh, Sayang," ucapnya haru. Sinta menatap kedua orang tua Aidan. "Her, Ris, terima kasih." Mata Sinta berkaca-kaca. Merasa terharu dengan bantuan dua orang di hadapannya.
"Kita ini teman. Kita harus saling bantu." Sinta mengangguk. Dia semakin memeluk erat Sisy. Aidan yang masih berada di samping papanya memandang Sisy memberikan senyum ketenangan pada gadis itu. Tatapan keduanya saling bertemu seolah memberi isyarat untuk saling menguatkan dalam perjuangan.
🌺🌺🌺
Altha melangkah dengan tergesa di lorong sekolah. Dengan tatapan datar ia berjalan diikuti ketiga temannya. Altha harus menemui seseorang dan harus menanyakan suatu hal. Suatu hal yang mengganjal dalam hatinya selama lima hari ini. Sudah lima hari berturut-turut dia mendatangi rumah Sisy, tetapi tidak mendapati gadis itu mau pun ibunya. Rumahnya kosong. Bahkan aroma sabun cuci yang biasanya tercium saat dia menginjakkan kaki di pekarangan rumah kini tak ada lagi. Tak ada kegiatan sedikit pun di sana. Saat dia datang di malam hari pun, rumah itu terlihat gelap. Altha hanya bisa melampiaskannya pada kemudi mobil yang selalu dipukul kuat. Seolah tak memikirkan tangannya yang terasa sakit.
Altha selalu bertanya-tanya di mana Sisy berada. Sejak terakhir kali mengantar Sisy pulang setelah dari rumahnya, ia tak lagi bertemu gadis itu. Bodoh. Bodoh kau Altha. Seharusnya kau ingat bagaimana keadaan Sisy saat kau antar pulang. Wajahnya pucat. Tentu saja dia dalam keadaan tidak sehat.
Lalu, di mana Sisy? Aidan. Satu nama itu terlintas di kepalanya. Dan saat ini dia tengah mencari keberadaan sang ketua Osis itu. Altha memasuki kelas Aidan dengan menendang pintu. Suara gebrakannya mampu membuat seisi kelas terkejut. Menatap Altha penuh tanya. Mereka semua berpikir adakah salah satu murid di kelas mereka yang membuat masalah dengan Maheshali?
Altha yang melihat keberadaan Aidan tanpa basa-basi menghampirinya. Berdiri dengan wajah datar di depan pemuda itu. Aidan yang tidak mengetahui apa tujuan Altha mendatanginya hanya menautkan kedua alis. Tak ingin membuka suara untuk bertanya. Karena baginya itu tidaklah penting. Lagi pun, dia tidak merasa sudah mencari gara-gara dengan Altha dan teman-temannya.
"Di mana, Sisy?" tanya Altha dengan tatapan yang hanya tertuju pada Aidan. Nada datar dan aura dinginnya seolah menggambarkan apa yang seorang Maheshali inginkan. Beberapa murid yang melihat itu saling berbisik. Bertanya - tanya perihal Altha yang mencari keberadaan Sisy.
Semua tahu bagaimana bencinya seorang Altha akan Sisy. Semua menduga jika gadis itu baru saja membuat masalah dengan pemuda itu. Tetapi, mereka juga mengetahui, jika Sisy sudah tidak tampak di sekolah selama beberapa hari ini. Melihat Altha yang memberikan tatapan seperti itu, tak lantas membuat Aidan merasa takut. Dia melipat tangan di depan dada dengan kedua alis yang menukik mendengar ucapan Altha. "Gue nggak tahu," ucapnya santai.
Altha mendesis mendengar jawaban Aidan. Dia semakin menatap marah akan jawaban yang tidak diharapkan. "Gue tanya, di mana Sisy?"
"Dan gue jawab, gue nggak tahu." Altha mendesis. Tanpa diduga dia meraih kerah baju Aidan. Mencengkeramnya kuat dengan gigi bergemeretuk.
"Gue yakin lo tahu di mana Sisy," ucap Altha tajam, "jadi katakan di mana dia."
Aidan tersenyum remeh. Dia melepaskan cengkeraman Altha dengan santai. "Kalau gue emang tahu, kenapa?"
"Di mana Sisy?" tanya Altha yang kini sudah berteriak di depan wajah Aidan.
"Kalau gue nggak mau kasih tahu lo, lo mau apa?" Altha kini menampilkan senyum miring mendengar ucapan Aidan. Pemuda di depannya ini mau bermain-main rupanya.
"Lo nggak lupa, kan, gue siapa?"
"Nggak. Gue nggak akan pernah lupa siapa lo. Lo adalah Maheshali yang sombong dan angkuh." Altha tidak keberatan mendengar sebutan itu, malah menampilkan senyum miring.
Altha semakin mendekati Aidan. "Gue akan cari di mana pun keberadaan Sisy," ucapnya tegas.
"Untuk apa?" Kening Altha melipat. "Untuk apa lo cari Sisy? Dan Kenapa lo baru cari dia?"
"Bukan urusan, lo." Altha berlalu setelah mengucapkannya. Namun, langkahnya terhenti kala dia mendengar suara Aidan memanggilnya.
"Gue saranin lo nggak usah cari Sisy lagi. Karena Sisy ...," Aidan menjeda ucapannya. Ia melangkah mendekati Altha dan berdiri di samping pemuda itu.
"Karena Sisy adalah calon istri gue," ucap Aidan dengan berbisik. Hanya dia dan Altha yang bisa mendengarnya. Bahkan ketiga teman Altha pun tidak dapat mendengarnya juga.
"Brengsek!" umpat Altha sembari menendang bangku di sampingnya. Tendangan yang disertai amarah membuat bangku itu terguling. Sempat ada teriakan dari beberapa murid perempuan karena terkejut akan aksi itu.
Entah apa yang membuat Altha semarah itu. Semuanya tidak tahu. Altha dan ketiga temannya berlalu dari kelas Aidan. Berjalan dengan wajah tegang karena amarah. Meninggalkan Aidan yang menghela napas dalam. Dia berharap semoga semuanya baik-baik saja.||🌺🌺🌺||
Selamat pagi semua
Selamat beraktivitas di hari senin
😘😘😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan Aku Bawa Cinta Ini
Romance🐼 Follow dulu sebelum membaca 🐼 Start : 11 Februari 2020 End. : 15 Juli 2020 Jika kamu mencari kisah remaja anak motor, bukan di sini tempatnya. Jika kamu mencari kisah remaja di mana si cewek yang bucin sama cowoknya, bukan di sini tempatnya. Ji...