Izinkan Aku Bawa Cinta Ini
Part / 21
||🌺🌺🌺||Sisy masih setia memandangi wajah tampan di hadapannya. Wajah milik pemuda yang dia cintai selama ini. Embusan napas hangat yang menerpa wajahnya seakan membuatnya terlena, hingga dia mempunyai keberanian untuk menutup mata. Degupan jantung Sisy semakin bertalu kala merasakan hidungnya tersentuh sesuatu. Seperti ... Hidung Altha? Cukup lama dia merasakan sentuhan itu hingga—
"Ngapain lo tutup mata? Lo pikir gue mau nyium, lo?" Sisy membuka mata dan melotot seketika. Dia bisa melihat wajah Altha yang penuh dengan senyum kemenangan serta tatapan mencemoohnya. Menyadari dirinya yang terlalu percaya diri, Sisy hanya bisa menunduk dan menggigit bibir bawahnya karena malu.
Bodoh! Bodoh sekali kamu Sisy. Dia merutuki dirinya dalam hati.
Menyilangkan tangan di depan dada, Altha tersenyum miring menatap Sisy yang menunduk. Ternyata, pesonanya masih mampu melumpuhkan gadis ini meski Aidan selalu menempeli Sisy. Dia yakin kalau gadis di hadapannya ini masih mencintai dirinya. Semakin banggalah dia karena Sisy masih menomor satukan dirinya. Dia tidak perlu merasa khawatir jika Aidan akan mengalahkannya.
Tunggu! Kenapa dia harus khawatir jika Aidan bisa mengalahkannya akan hati Sisy? Apa mungkin— Tidak, tidak. Dia tidak mungkin menyukai Sisy. Masa bodoh siapa yang ada di hati gadis itu. Yang dia pedulikan hanya dirinya tak ingin Aidan berada di atasnya. Ya. Hanya itu.
"Minggir!" Altha mendorong Sisy supaya tidak menghalangi jalannya untuk membuka pintu. Pelan dia membuka sedikit pintu itu bermaksud untuk mengintip keberadaan Pak Joko. Mata Altha dan Sisy membulat melihat dua orang dewasa di hadapan mereka saat pintu itu terbuka sempurna.
"Eh, Pak Joko, Pak Mahmud," sapa Altha dengan cengirannya. Sayang disayang. Pak Joko yang dia kira sudah pergi, ternyata masih ada di depan ruangan itu. Bahkan, tak hanya Pak Joko saja yang ada di sana. Pak Mahmud selaku guru BK juga berdiri dengan berkacak pinggang menatap nyalang ke arah mereka.
"Kalian! Mau kabur ke mana?" tanya Pak Mahmud membuat Altha semakin melebarkan senyum. Sisy, seperti biasa, dia hanya bisa menunduk karena takut.
Tatapan Pak Mahmud tertuju pada Sisy. "Kamu juga. Bagaimana bisa kamu melanggar aturan untuk masuk ke sekolah? Seharusnya kamu ikuti peraturan yang ada jika telat." Petuah dari Pak Mahmud membuat Sisy meneguk ludahnya sendiri.
"Pasti diprovokasi sama Nak Altha, Pak," sahut Pak Joko yang ada di sebelah Pak Mahmud. Mendengar itu, membuat Altha memelototi Pak Joko karena ucapan barusan. Dia merasa tidak terima. Meskipun, nyatanya dirinya yang memang mengajak Sisy memanjat tembok belakang sekolah.
"Kalian berdua. Sebagai hukuman, kalian bersihkan ruang musik. Sekarang!" teriak Pak Mahmud.
"Ya—ya. Ya ... Pak. Kok dihukum, sih?" protes Altha pada Pak Mahmud. Dia mengekori Pak Mahmud yang berjalan dengan langkah lebar.
Mendengar ucapan Altha, Pak Mahmud berhenti dan berbalik menatap muridnya marah. "Kamu pikir, kamu kenapa bisa dihukum? Kalau salah, ya terima saja hukumannya."
"Ta—"
"Atau hukuman kamu mau saya tambah dengan lari mengelilingi sekolah?" Altha tak lagi melanjutkan ucapannya yang terpotong. Tentu saja dia tidak ingin lari mengelilingi sekolah yang sebesar ini.
Menampilkan wajah lesu Altha pun menjawab, "Baik, Pak." Setelahnya, Pak Mahmud pun berlalu.
"Lain kali, Non Sisy nggak usah ngikutin anak nakal kayak Altha gitu ya, Non," ucap Pak Joko yang menatap remeh pada Altha. Membuat Altha kembali melotot pada Pak Joko.
"Ya udah, Non. Pak Joko kembali ke pos aja. Ada macan yang mau ngamuk," sambung Pak Joko yang membuat Sisy mengulum senyumnya.
Pak Joko segera berlari saat mata Altha semakin lebar. "Dasar. Satpam sialan. Anda lupa siapa saya? Saya seorang Maheshali!" teriak Altha ke arah kepergian Pak Joko.
Sisy yang menahan tawanya mendapat tatapan memicing dari Altha. "Kenapa?" tanya Altha. Sisy sekuat tenaga menormalkan wajahnya dan menggeleng.
"Mau ketawa, ya ketawa aja. Nggak usah ditahan-tahan. Meskipun gue seorang Maheshali yang kaya raya, gue nggak mau, ya nama keluarga gue keseret kalau lo mati gara-gara nahan tawa." Pecah sudah tawa Sisy mendengar ucapan Altha. Ucapan yang tak masuk akal namun terdengar lucu bagi gadis itu.
Mana ada orang mati karena menahan tawa? Ada-ada saja seorang Maheshali satu ini. Altha sempat tertegun melihat tawa Sisy. Tawa yang menurutnya sangat ... indah? Oh, tidak. Lagi-lagi dia tanpa sadar mengagumi Sisy, dan sekali lagi, Altha menggeleng untuk menyadarkan ketidakwarasannya. Setidaknya, begitulah menurut dia.
Altha melipat kedua tangannya di depan dada. "Sudah puas ketawanya?" Mendengar ucapan Altha, Sisy segera meredakan tawanya. Tak ingin membuat seorang Maheshali marah lagi.
Melihat tawa Sisy yang mereda, Altha berlalu dari sana. Sesaat kemudian, Altha menghentikan langkah dan menatap Sisy yang hanya diam tak bergerak. "Mau sampai kapan lo diem di situ? Kita masih ada hukuman yang harus kita jalanin."
Sisy pun mengikuti Altha yang sudah berjalan terlebih dahulu. Di belakang Altha, entah kenapa Sisy selalu menerbitkan senyumnya meski dia akan menjalani sebuah hukuman.
🌺🌺🌺
"Lama sekali kalian ini," ucap Pak Mahmud yang sudah berdiri di depan ruang musik. Dia segera memasuki ruangan musik yang diikuti Altha dan Sisy.
Altha dan Sisy menatap bingung saat keduanya diantar pada pintu di sudut ruangan. Terlihat Pak Mahmud membuka pintu itu. "Kalian berdua, bersihkan Alat-alat musik ini!" titah Pak Mahmud.
"Loh ... Pak. Ini, kan alat-alat rusak," tunjuk Altha pada beberapa Alat musik yang sudah tidak dipakai. Ada piano yang beberapa tutsnya sudah hilang. Gitar yang patah dan alat musik lainnya yang tentunya sudah rusak.
"Iya, lalu?"
"Untuk apa dibersihkan, Pak?" tanya Altha tak habis pikir.
"Anggap saja sekolah kita menerapkan cinta kebersihan dengan sangat. Jadi, segala sesuatunya harus bersih. Baik barang yang terpakai, atau pun yang tidak terpakai." Altha melongo menatap Pak Mahmud. Sedang yang ditatap hanya menampilkan senyum manisnya dan segera berlalu.
Pak Mahmud menghentikan langkah di ambang pintu. "Kalian bersihkan semua itu sampai bersih. Baru kalian bisa kembali ke kelas," ucap Pak Mahmud.
"Apa? Pak, seharian aja ini nggak bakal selesai," protes Altha. Tak menggubris ucapan Altha, Pak Mahmud hanya melambaikan tangan dan berlalu begitu saja.
Altha mengembuskan napas beratnya. Dia melihat Sisy yang mulai mengerjakan hukumannya tanpa protes. "Ini semua gara-gara elo," gerutu Altha.
"Kok aku, Kak?" tanya Sisy sembari menunjuk dirinya.
"Iya, lah. Kalau aja lo nggak teriak-teriak tadi, kita nggak bakal ketahuan."
"Iya, iya maaf." Sisy menekuk wajahnya. Keduanya kembali menjalankan hukuman mereka dengan Altha yang selalu menggerutu.
"Bagaimana fans gue kalau tahu gue dihukum? Semoga aja pesona gue nggak luntur." Sisy hanya diam tak menanggapi. Sebenarnya, bukannya dia tak peduli, dia hanya menghindari ucapan menyakitkan dari Altha jika terus menimpali.
Waktu terus berlalu yang hanya diisi oleh gerutuan Altha. Meski tangannya bekerja, gerutuannya pun juga tak pernah berhenti. Sesekali, Altha menghapus peluh yang terasa mengalir di wajah. "Apa kata orang kalau tahu keturunan Maheshali dihukum kek gini?" Altha kembali menggerutu.
Pemuda itu menoleh dan Sisy yang hanya diam. Dia merasa jengkel karena tidak mendapat tanggapan sedikit pun dari gadis di sebelahnya. "He! Lo denger keluh kesah gue nggak, sih?" tanyanya yang berhasil membuat gadis itu terkejut.
"Ap—" ucapan Sisy terhenti kala dia menoleh. Kata yang ingin diucapkan hilang seketika saat melihat wajah Altha yang terasa menggelitik baginya. Sayangnya, kali ini Sisy tidak dapat menahan tawa lebih lama. Tawanya pun pecah hingga meluruhkan sedikit air di sudut matanya.
Lagi-lagi, Altha tertegun mendengar suara tawa indah itu. Untuk saat ini, biarkan dia mengakui kalau dia menyukai suara itu. Hingga beberapa saat kemudian, Sisy tak menghentikan tawanya sama sekali. Bahkan setelah kedua tangan gadis itu memegangi perutnya sendiri.
Altha menduga, pasti Sisy tertawa hingga perutnya terasa sakit. Dia menjadi penasaran dengan apa yang tengah ditertawakan oleh gadis? "Asyik, ya ketawa sampek segitunya," cibirnya yang sudah merasa jengah akan tawa Sisy.
Sisy yang mendengar cibiran Altha menutup mulutnya dengan kedua tangan. Meski belum mampu menghentikan tawa dia berusaha keras untuk tidak tertawa lagi. "Ma—maaf, Kak," ucap Sisy terbata karena rasa ingin tertawa itu masih ada.
"Lo ngetawain apa, sih?" tanya Altha yang merasa penasaran. Keningnya terlipat saat gadis itu menunjuk wajahnya. "Apa?"
"Mu—muka Kakak lucu." Lagi. Gadis itu seolah ingin kembali tertawa. Dahi Altha terlipat, dia segera memegang wajahnya. Merasa semakin penasaran, Altha mendekati kaca di salah satu dinding yang sudah terlihat retak.
Saat itulah, dia melihat wajahnya yang sangat kotor. Altha yakin ini adalah hasil dari dia yang membersihkan alat musik yang penuh debu. Suara tawa lepas kembali terdengar dari Sisy. Kali ini, bukannya merasa jengkel, tawa itu menular padanya. Keduanya tertawa lepas seolah tidak ada yang namanya kebencian di diri Altha untuk Sisy.
"Sialan! Lo ngetawain gue? Awas ya, lo." Altha mendekati Sisy yang masih tertawa. Tak lupa juga tangannya yang ia sapukan pada debu terlebih dahulu.
Sisy yang melihat itu menjulurkan kedua tangannya. "Eh, Kakak mau apa? Jangan, jangan, jangan!" Sisy mundur untuk menghindari Altha.
Namun Altha yang gesit dengan mudahnya mendapatkan Sisy dan segera mencoret wajah Sisy dengan debu di tangannya.
"Ah, Kak Altha ...," rengek Sisy. Sekarang, Althalah yang mengeraskan tawa akan kondisi gadis itu.
Sisy yang merasa tak terima, mencoba untuk membalas perlakuan Altha. Tubuh Sisy yang kecil, membuatnya kesusahan untuk menggapai wajah pemuda di hadapannya. Sayangnya, dengan mudah Altha bergerak mundur menghindar dari serangannya.
Tak lupa juga wajah penuh ejekan yang Altha tunjukkan pada Sisy karena dia tak mampu membalasnya. "Kak Altha curang ...." Sisy masih berusaha memoleskan debu pada wajah itu. Dia terus melompat meski Altha menghalanginya.
"Enak aja. Gue nggak curang, ya. Lo aja yang cebol." Gelak tawa Altha pecah melihat raut wajah Sisy yang semakin cemberut karena ungkapan cebol darinya. Rupanya, gadis itu terlihat semakin geram, bahkan semakin bersemangat ingin mencoret wajahnya.
Pergerakan Altha yang mundur membuatnya tak dapat melihat kondisi di belakang. Punggung pemuda itu terbentur dinding karena pergerakannya yang sudah sampai pada sudut ruangan. Di saat yang sama pula, Sisy tengah melompat untuk mencapai wajahnya. Saat itulah sesuatu terjadi. Membuat keduanya diam membeku. Saling meresapi satu sama lain.
Altha merasakan ada hal yang aneh dalam dirinya. Sisy, tubuhnya terasa menghangat semenjak keningnya beberapa menit yang lalu merasakan kecupan singkat dan tak sengaja itu.
"Awas! Nggak usah deket-deket gue!" Suara teriakan dari arah luar menyadarkan keduanya.
Mereka saling berdehem menjadi salah tingkah dan saling menggaruk kepala yang tidak gatal. Altha kembali berdehem sebentar sebelum berucap, "Gue, mau lihat siapa di luar." Sisy hanya mengangguk dengan kepala yang masih dalam keadaan menunduk.
"Eh, cewek! Dari tadi si Dani nggak deketin, lo. Emang pintunya aja segitu." Altha sangat kenal suara itu. Itu adalah suara Liam sahabatnya.
"Alah. Alesan aja," bantah suara cewek yang Sisy ketahui adalah suara Naira.
Altha berdiri di ambang pintu dan menatap ketiga temannya yang tengah berdebat. Ah, tidak. Lebih tepatnya, Dani hanya mengawasi. Meskipun Naira melontarkan kemarahan kepada pemuda itu, Dani hanya diam. Malah Liam serta Danishlah yang membalasnya.
"He, kalian ngapain?" tanya Altha yang melipat tangannya di depan dada. Keempatnya menoleh. Semuanya tertawa, meninggalkan Dani yang hanya tersenyum tipis. Mereka cukup terhibur saat melihat wajah Altha dan Sisy yang kotor.
"Mau gue jahit mulut kalian?" Pertanyaan Altha mampu membuat Danish dan Liam bungkam. Tapi tidak dengan Naira.
"Lo lucu banget, Sy," ucap Naira saat berjalan mendekati Sisy. Dia merangkul sahabatnya dan memberikan minuman pada sahabatnya.
Altha hanya melihatnya sekilas pada Sisy lalu menatap ketiga temannya. "Ada apa?"
"Gue bawain orang buat gantiin hukuman, lo," sahut Dani sembari menunjuk beberapa orang di belakangnya dengan dagu.
"Anjir. Kenapa gue bisa nggak kepikiran?" Altha menepuk keningnya pelan. Dani yang berdiri di sampingnya tampak mendengus santai.
"Buat apa lo jadi keturunan Maheshali kalo lo nggak gunain kuasanya. Bego!" Altha melotot saat sepupunya mengatainya seperti itu. Namun, akhirnya dia hanya bisa menggaruk tengkuknya.
"Ya udah! Kalian bersihin nih semua!" titah Altha pada beberapa orang itu.
"Nah ... Ya udah, Sy. Yuk kita ke kantin!" ajak Naira. Gadis itu membawa sahabatnya pergi dengan rangkulan pada lengan.
"Eh. Hukuman lo belum selesai!" Altha mengingatkan Sisy akan hukumannya. Sisy sudah ingin berhenti, tapi Naira melarangnya.
"Kan, udah diurus orang suruhan, lo. Jadi, beres dong!" Tanpa melihat, Naira berucap dengan sedikit berteriak. Tak lupa juga lambaian tangannya yang dia tujukan pada Altha dan ketiga temannya.
"Oh, iya. Terima kasih, ya maha Agung Tuan Maheshali," sambungnya lagi dengan suara yang cukup tinggi.
Baru saja Altha ingin membalasnya, tapi suara Dani sudah menghentikannya. "Udah. Jangan kek orang susah. Mending kita ke kantin." Dani berucap dengan berlalu.
Altha mendengus. Sepupunya ini memang menyebalkan. Untung saja masih jadi sepupu. Sebuah rangkulan dia rasakan pada pundak kanan dan kiri, terlihat Liam dan Danish yang saat ini menampakkan cengirannya. "Benar kata Dani, Al. Mending kita ke kantin sekarang. Sultan Maheshali, ayo bayarin kita makanan."
Altha menatap datar Liam dan Danish. Dengan sekali hentak dia melepaskan rangkulan keduanya lalu berlari sembari berucap, " Ogah!”
||🌺🌺🌺||Selamat pagi.Up di pagi harii. jangan lupa komen dan bintangnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan Aku Bawa Cinta Ini
Romance🐼 Follow dulu sebelum membaca 🐼 Start : 11 Februari 2020 End. : 15 Juli 2020 Jika kamu mencari kisah remaja anak motor, bukan di sini tempatnya. Jika kamu mencari kisah remaja di mana si cewek yang bucin sama cowoknya, bukan di sini tempatnya. Ji...