🐼 25 🐼

1K 140 33
                                    

Izinkan Aku Bawa Cinta Ini

Part 25

||🌺🌺🌺||






Aidan kelimpungan mencari keberadaan Sisy yang tidak dia temui di dalam kelasnya. Dia takut jika Altha dan ketiga temannya kembali menjaili Sisy. Sedangkan kondisi gadis itu saat ini tidak dalam keadaan baik. Aidan memeriksa setiap kelas yang ada. Namun, tak juga mendapati keberadaan Sisy. Langkahnya terhenti saat ingin memasuki sebuah kelas karena dia melihat Altha yang menuruni tangga. Beberapa saat kemudian, dia juga melihat keberadaan ketiga teman Altha yang seperti tengah mengejar pemuda itu.

Altha dan yang lainnya turun dari tangga Rooftop. pemikiran Sisy berada di sana pun terbesit dalam benaknya. Setelah melihat Altha sudah jauh, Aidan berlari ke arah tangga untuk memastikan. Dugaannya benar, saat menapaki anak tangga dia mendapati keberadaan Sisy di sana. Namun, keadaannya tak dapat membuat Aidan tenang. Wajah pucat yang begitu kentara dan cara berjalan Sisy yang sempoyongan seperti orang kesakitan membuat dia segera menaiki tangga.

Keberuntungan masih dia dapat. Dia sampai di hadapan Sisy tepat saat tubuh gadis itu terjatuh. Apakah Altha menyakiti Sisy? Pertanyaan itu dia simpan untuk nanti.

"Sisy ... Sy," panggil Aidan. Dia menepuk pelan pipi Sisy berharap gadis itu bisa membuka matanya. Namun, usaha itu Sia-sia. Aidan segera meraih Sisy pada gendongannya dan membawanya keluar dari area sekolah.

"Pak Joko, panggilkan taxi," teriak Aidan. Pak Joko yang tidak mengerti sempat terkejut mendengar teriakan Aidan. Namun, melihat kepanikan sembari menggendong seseorang, Pak Joko dengan segera memberhentikan taxi yang kebetulan lewat.

"Loh, Non Sisy kenapa?" tanyanya saat melihat gadis yang Aidan gendong adalah Sisy. Belum lagi wajah pucatnya yang terlihat mengkhawatirkan.

"Sakit, Pak." Aidan memasuki taxi dengan bantuan Pak Joko. "Terima kasih, Pak. Sekalian titip motor."

"Baik, Nak Aidan!" Taxi melaju. Dalam hati dia berharap, semoga Sisy dalam keadaan baik-baik saja.

🌺🌺🌺

Dani, Liam, dan Danish memandang kosong ke arah ruangan di mana Altha tengah dalam kondisi tak berdaya. Ketiga orang ini terkejut saat mendapati laporan dari bodyguard keluarga Maheshali jika saat ini Altha tengah berada di Rumah sakit akibat kecelakaan.

Ketiganya sampai di rumah sakit saat Altha sudah di dalam UGD. Banyak luka yang cukup serius di sekujur tubuhnya. Hingga sekarang, Altha pun belum juga sadar. Tujuh orang bodyguard suruhan keluar Maheshali berdiri tak jauh dari ruangan Altha. Menjaga ruangan itu hingga kedua orang tua Altha datang.

"Sebenarnya apa yang dia bicarakan sama Sisy, sih? Kok sampai kayak ancur gitu? Biasanya juga, nggak kayak gitu." Danish yang sedari tadi merasa bingung pun bertanya. Tak seperti biasanya Altha yang akan memasang tawa kepuasan setelah mengerjai Sisy, beberapa jam lalu malah melihat Altha dengan wajah marah.

"Apa sekarang Sisy bisa membalas perlakuan Altha? Tapi, apa? Masak iya Sisy mukul Altha? Itu tidak mungkin, kan?" Dani hanya mengedikkan bahunya tak acuh. Sebenarnya, dia mempunyai dugaan tersendiri akan hal itu. Hanya saja, lebih baik diam untuk saat ini.

Helaan napas dalam terdengar dari Liam. Dani dan Danish menoleh padanya. "Kalau tahu bakal kayak gini, gue nggak akan kasih kunci motor gue sama Altha. Mungkin saat ini Altha masih ketawa sama kita. Nggak tidur di sana," ucapnya sembari menunjuk dengan dagu ruangan di mana Altha tengah berbaring tak berdaya.

Liam memandang Dani yang saat ini mendaratkan tepukan di pundaknya. "Nggak usah nyesel. Udah kejadian juga." Liam mengangguk lalu menunduk.

Tak lama, suara ketukan sepatu terdengar memenuhi lorong. Ketiganya menoleh dan mendapati pasangan paruh baya yang berjalan dengan tergesa-gesa. Farhan dan Lili, tak lain adalah orang tua Altha. "Om, Tante," panggil Dani.

"Dani, bagaimana keadaan Altha?" Kedua orang tua Altha bertanya dengan khawatir.

"Belum sadar, Om. Dokter masih menunggu hasil Rontgen untuk mengetahui keadaannya lebih detail," jelas Dani pada Om-nya itu.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Farhan dengan nada tegasnya. Rahang kokohnya yang kaku mengisyaratkan dia sedang marah. Liam yang melihat itu tampak meneguk ludahnya kasar. Takut jika dia akan mendapat masalah besar dari Farhan.

"Seperti Om tidak tahu saja tingkah Altha. Seperti biasa, ia kebut-kebutan di jalanan." Farhan mengerang, ia berbalik menatap ketujuh bodyguard yang memang dia tugaskan untuk menjaga putranya.

"Apa saja kerjaan kalian?" teriaknya marah pada ketujuh bodyguard itu. "Bagaimana bisa Altha sampai kecelakaan? Kalian tidak mengawasinya?" Tidak ada jawaban dari ketujuhnya. Mereka hanya bisa menunduk saat ini. Mereka salah. Sebenarnya, mau bagaimanapun dijelaskan, mereka akan tetap terlihat salah. Begitulah nasib bawahan.

"Sudah, Pa. Kita masuk saja untuk melihat keadaan Altha," ucap Lili parau. Dia mengelus lembut pundak suaminya mencoba untuk meredakan emosi sang suami.

"Ayo, Pa!" Lili menarik tangan Farhan yang masih bergeming di tempatnya. Baginya, keadaan saat ini percuma jika diluapkan dengan emosi. Toh semuanya sudah terjadi.

🌺🌺🌺

Ini adalah hari kedua Sisy berada di rumah sakit. Aidan dan Naira tengah duduk pada sofa di ruangan rawat Sisy. Keduanya langsung menuju rumah sakit sepulang sekolah tadi. Awalnya, mereka sempat dibuat panik saat mendapati ruangan Sisy yang kosong. Prasangka buruk sempat hinggap di pikiran mereka.

Namun, prasangka mereka hilang saat salah satu perawat memberi tahu Aidan jika ruangan Sisy dipindahkan. Di sinilah mereka saat ini. Di ruangan Sisy yang baru, ruangan yang terlihat lebih besar dari sebelumnya. Ruangan berkelas VIP. Dalam hati Aidan bertanya, bagaimana bisa ibunya Sisy menyewa ruangan ini? Namun, hal itu tidaklah etis menurutnya untuk dipertanyakan.

"Baru juga keluar sehari, udah masuk rumah sakit lagi," eluh Naira dengan memandang Sisy yang tengah makan disuapi ibunya.

"Berdoa saja, semoga Sisy segera dapat donor jantungnya." Naira mengangguk. Dia menarik napas dalam untuk membuang pikiran negatifnya.

"Kak Aidan," panggil Sisy yang langsung membuat Aidan dan Naira menatapnya. "Anterin Sisy ke taman, ya?"

Aidan mengangguk. Dia segera bangkit dan membantu Sisy untuk duduk di kursi roda. Baru saja Aidan akan mendorong kursi roda Sisy. Namun, gerakannya urung saat Naira menghentikannya. Gadis itu terlihat mengambil sesuatu dari dalam tas.

"Ini dia." Sebuah jepit rambut berwarna pink yang baru saja dia beli dikeluarkan. Mendekati Sisy, dia menyematkannya pada rambut Sisy. Dia rapikan sedikit rambut Sisy yang menutupi wajah pucatnya. "Nah, kalau gini, kan, sahabat gue makin cantik."

Sisy tersenyum. "Terima kasih, ya, Ra," ucap Sisy dengan senyuman. Suara lirih gadis itu hampir saja membuat Naira menitikkan air matanya. Dia benar-benar tidak tega melihat kondisi sahabatnya saat ini. Tapi, dia berusaha tetap tersenyum untuk kekuatan Sisy. Karena yang Sisy butuhkan saat ini adalah dukungan dan doa. Bukan air mata.

"Ya udah!  Sekarang waktunya kita jalan-jalan ke taman. Lets go!" seru Naira bersemangat. Mengundang tawa Sisy dan juga Aidan. Pun dengan Sinta yang sedari tadi memperhatikan interaksi ketiganya. Dia merasa bersyukur karena masih ada yang menyayangi putrinya sedalam itu.

Aidan memilih berhenti pada pohon mangga yang cukup rimbun untuk mereka berteduh supaya dapat melindungi mereka dari sengatan matahari. "Sisy mau duduk di rumput juga. Boleh?" Sisy meminta Aidan dengan pandangan puppy eyesnya. Aidan tersenyum dan mengangguk. Dia segera menggendong Sisy dan mendudukkannya di rumput taman rumah sakit. Kemudian, Aidan dan Naira pun turut duduk di sebelah Sisy.

"Sisy mau cerita." Aidan dan Naira menatap Sisy.

"Cerita apa?" tanya Aidan sembari mengelus pucuk kepala Sisy.

"Soal pertemuan Sisy dan Kak Altha di Rooftop sekolah." Pengungkapan Sisy membuat Naira dan Aidan saling melirik. Keduanya ragu ingin mendengarkan atau tidak. Namun, melihat keantusiasan Sisy membuat keduanya mengangguk.

"Memangnya ada apa waktu itu?" Naira bertanya dengan mencoba memasang senyuman. Dia menopang dagunya dengan kedua tangan.

"Hari itu adalah hari paling berarti dan bersejarah bagi Sisy," ungkap Sisy dengan wajah berbinar. "Tepat saat itu, Sisy tahu kalau Kak Altha juga mempunyai perasaan yang sama dengan Sisy."

Ada raut terkejut dari wajah Naira dan Aidan. Merasa tak percaya akan apa yang diucapkan Sisy. "Kalian pasti terkejut, kan?" Sisy memandang Aidan dan Naira bergantian. Dia memasang senyum seolah dia tidak pernah mempunyai penyakit yang mematikan.

"Serius, lo? Nggak bohong, kan?" tanya Naira tidak percaya. Sisy yang mendengar itu mencebikkan bibirnya.

"Sisy nggak bohong tahu. Sisy jujur." Sisy mengerucutkan bibir. Di mata Aidan hal itu selalu terlihat lucu meskipun saat ini wajah Sisy terlihat pucat.

"Iya, iya gue percaya. Terus, lo jadian dong sama Altha?" Mendengar pertanyaan itu Aidan memandang sendu Sisy. Dia ingat saat melihat Altha waktu itu dengan wajah marah dari arah Rooftop. Pasti ada suatu hal yang terjadi.

Sisy yang mendengar itu menunduk. Dia memilin jari-jarinya. "Sisy tolak Kak Altha," jawab Sisy yang membuat Naira menatapnya penuh tanya.

"Kok gitu?"

"Sisy nggak pantes buat Kak Altha. Sisy penyakitan. Kak Altha bakal repot kalau pacaran sama Sisy." Sisy berucap dengan lirih.

Naira merasa perih mendengarnya. Dia menggapai tangan Sisy dan menggenggamnya. "Lo pasti sembuh," ucap Naira. Sisy hanya memandang Naira tanpa ekspresi. "Gue yakin lo pasti sembuh. Dan saat itu tiba nanti, lo harus terima Altha. Kan, lo udah cinta sama dia sejak kelas sepuluh." Naira berucap dengan meyakinkan.

"Iya. Nanti pas sudah sembuh, kamu harus jadian sama Altha. Biar kakak nanti bisa minta traktiran sama Altha. Kapan lagi bisa ditraktir sama si kaya Maheshali," tambah Aidan. Sisy tersenyum dan mengangguk.

Tapi percayalah, di balik senyum itu, ada tawa miris dari Sisy. Jika saja dia mampu berucap, dia akan mengatakan jika dirinya sudah merasa lelah.

"Oh iya. Gue balik dulu, ya. Nyokap pasti nyariin. Besok gue ke sini lagi." Sisy dan Aidan mengangguk. Sebelum berlalu, Naira memberi pelukan pada Sisy.

Tinggallah Aidan dan Sisy yang masih betah berteduh di bawah pohon mangga. "Kamu mau kembali ke kamar?" tanya Aidan.

Sisy menggeleng. "Nanti aja, Kak." Dia memejamkan matanya, menikmati semilir angin yang terasa menyejukkan. Entah berapa lama lagi bisa ia nikmati

🌺🌺🌺

Dani menatap Altha yang masih setia dengan tidurnya. Dia menghela napas panjang. Sedari kemarin, Altha belum juga sadar. "Nish, Yam. Gue mau keluar sebentar. Kalian tunggu sini. Jaga-jaga kalau orang tua Altha datang. Tadi Om sama Tante bilang mau ke sini." Keduanya mengangguk.

Dani berlalu meninggalkan ruangan Altha. Langkahnya menyusuri lorong-lorong rumah sakit hingga tiba pada sebuah taman kecil, terlihat asri. Dani memilih duduk di salah satu bangku yang ada. Pandangannya mengedar mengamati setiap tempat hingga jatuh pada dua orang yang asyik bergurau di bawah pohon mangga, salah satu di antara mereka memakai pakaian pasien rumah sakit. Dani kenal betul mereka.

Dia memutuskan untuk menghampiri mereka. "Aidan, Sisy," panggilnya. Terlihat jelas mimik terkejut dari keduanya. "Kalian ngapain di sini?"

Aidan mengubah mimik menjadi datar. "Nggak liat, lo, Sisy pakai pakaian pasien rumah sakit?" Dani hanya mengangguk sekilas.

"Kak Dani ngapain Di sini?" tanya Sisy. Dia berusaha mencairkan suasana yang terasa tegang.

Pertanyaan Sisy, membuat Dani mengembuskan napasnya dalam. "Altha dirawat di sini," jawabnya yang sukses membuat Sisy melotot.

"Kak Altha sakit?" Dani mengangguk.

"Dia habis kebut-kebutan di jalanan setelah nemuin lo di Rooftop sekolah kapan lalu." Wajah khawatir Sisy semakin menjadi.

"Itu artinya, Kak Altha kecelakaan gara-gara Sisy dong!"

"Entahlah," ucap Dani santai. Dia tak memedulikan saat Aidan memberikan tatapan tajam.

Pengungkapan Dani sebelumnya membuat semuanya terdiam. Sesaat kemudian, Dani memandang Sisy intens. "Sebenarnya, apa yang lo bicarain sama Altha di Rooftop sekolah waktu itu?" Pertanyaan Dani membuat Sisy salah tingkah. Dia menggigit bibir bawah karena gugup.

Aidan melihat itu. Dia menatap Sisy dengan wajah khawatir. "Sy," tuntut Dani.

"Mmm ... itu.  Aku dan Kak A—"

"Tuan Dani," panggil salah satu bodyguard yang berjaga di depan ruangan Altha. "Tuan muda Altha sudah sadar."

Kabar yang diberikan bodyguard Altha mampu membuat Dani terkejut. Dia segera berlari menuju ruangan Altha.

Sedangkan Sisy, dia tampak merasa lega karena terbebas dari pertanyaan Dani. Sesaat kemudian, wajah sendunya kembali. "Kak Altha celaka gara-gara Sisy," ucap Sisy sendu.

Aidan menggenggam tangan Sisy. "Kamu tenang aja. Semoga Altha tidak kenapa-napa." Aidan tersenyum berharap bisa menenangkan Shisi.

🌺🌺🌺

Dani berlari ke ruangan Altha. Keningnya terlipat saat dia mendengar teriakan sepupunya itu. Ketika membuka pintu dia melihat Altha yang meronta pada cekalan Liam dan Danish sembari berteriak tidak jelas.

"Ada apa ini?" tanyanya yang mampu mendapatkan atensi semua orang. Sedang Altha, dia menghentikan sesaat rontaannya.

"Dan ... Dani," panggil Altha. Liam dan Danish hanya memandang Dani sayu. Seolah tak mampu mengatakan apa pun yang mereka ketahui. Akhirnya, Dani lebih memilih untuk mendekati Altha.

"Ada apa, Al? Kenapa lo teriak-teriak?"

"Dan ... Dan. Bilang sama mereka, Dan. Bilangin mereka." Altha berusaha berbicara pada Dani dengan mencoba menggapai Dani. Hal itu membuat kening Dani terlipat kembali, dia merasa heran dengan tingkah Altha yang mencoba meraba-raba dengan kedua tangannya.

"Al," panggil Dani dengan suara tercekat.

"Dan ... bilangin sama mereka, Dan. Jangan matiin lampunya, Dan. Gelap. Gue jadi nggak bisa liat, Dan. Bilangin sama mereka buat nyalain lampunya. Jangan dimatiin gini. Gue nggak bisa liat apa-apa." Dani menatap Dokter yang masih berdiri di samping Altha penuh tanya.

"Inilah yang ingin saya sampaikan pada keluarga pasien, benturan di kepalanya membuat Altha kehilangan penglihatannya," jelas sang Dokter.

"Nggak. Gue nggak buta. Ini hanya mati lampu. Gue nggak buta!" teriak Altha setelah mendengar penjelasan dari Dokter.

"Al, tenang dulu. Lo harus tenang." Dani mencoba memegang bahu Altha yang kembali memberontak.

"Nggak! Gue nggak mau buta. Gue nggak mau buta, Dan. Gue nggak mau buta!" Teriakan Altha semakin terdengar pilu. Altha terus meronta meski saat ini Dani memeluknya erat. Liam dan Danish yang mempunyai sifat konyol pun tak dapat lagi membendung kesedihannya. Melihat salah satu sahabatnya seperti ini merupakan pukulan bagi mereka. Mata mereka mulai berkaca. Mendongakkan kepala, mereka berharap air mata itu tak jatuh. Meski akhirnya, semua itu percuma.

"Gue nggak mau buta!" teriak Altha kembali. Kali ini disertai tangisan pilunya. Apa yang dirasakan Altha seolah dapat dirasakan semua orang di sana. Termasuk seseorang yang saat ini menangis dalam pelukan orang lain di luar kamar rawat Altha. Jangan salahkan Dani yang tak kembali menutup pintu ruangan sehingga dua orang itu dapat mengetahui semuanya.

"Gue nggak mau buta!"





||🌺🌺🌺||

Selamat pagi. Apa Kabar Kalian Semua? 😚😚😚

Izinkan Aku Bawa Cinta IniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang