Dalam genggamanmu-4

12 3 2
                                    

Ah pria itu, romantis sekali. Sayangnya ia menikah dengan adikku. Pernikahan mewah ini, ia persembahkan yang terbaik untuk calon istri tercintanya.
Kurasa begitu.

Tak lama ungkapan manis janji suci terucap "Ya Zidan ainurr rafiq bin Anwar, saya nikahkan anda dengan putri saya Mikasyah Nazata dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai"

Mendengar nama Zidan dengan Mikasyah, ah ambyarr. Kenapa tidak dengan Mikaisyah saja?

Aku mendampingi adik kembaranku di kamar. Tak lama pangerannya datang dengan penuh rasa bahagia, adikku menyambutnya dengan penuh harap. Aku duduk di tepi ranjang Asyah, ku rasa aku takkan sanggup melihat semua ini dan menjadi saksi atas cinta suci mereka berdua. Maka dari itu, aku memunggunginya. Biarlah dianggap tak sopan, biarkan aku melakukannya demi menghormati hatiku sendiri.
Aku menunduk. Sampai kata "Semua menunggumu di depan, Sayang. Ayolah." Ku lihat mereka menjauh dari pintu kamar dan hilang.

Ku pastikan mereka saling mencintai. Jika memang begitu, setidaknya menjadi langkah awal untukku bisa mengusirnya dari hati yang nakal ini.

"Hey, pengantin! Hahahah" Tidak sopan sekali. Ia tak mengetuk pintu. Tapi menggedor pintu begitu saja seakan membangunkan warga yang kesiangan untuk saur. Aku menoleh, Ini sosok yang lama kurindukan. Berani sekali ia meledekku dengan menyebutku pengantin.

Dia berdiri di hadapanku dengan membawa anggur dan memakannya satu persatu. "Kenapa murung? Calon suami mu membatalkannya? Ah aku tau, mungkin dia tak sudi memiliki istri yang tak punya banyak kosa kata seperti mu."

"Garing!"
Seketika tanganku melayang keras di pahanya. "Isyah rindu A Iban" Aku memeluknya, rindu sekali! Ia membalas pelukkanku, mengusap lembut kepalaku yang sudah tertutup jilbab panjang sampai lutut. Ia mengecupku, Aku sangat sayang pada kakak ku ini melebihi sayangku pada Bapak, Umi dan Asyah. Ia yang slalu mengerti pada Isyah dan selama ini hanya dia yang bisaku andalkan. Lama tak bertemu, mungkin mulai saat ini, aku akan menghabiskan waktu ku dengannya setiap hari. Kakiku berjinjit, dan berhasil. Aku berhasil mengecup pipinya dengan susah payah.

"Duduk dulu"

"Di kamarku saja, disana jauh dari keramaian. Kita akan bicara banyak tentang siapapun"

"Itu kamar atau gua tempat tapa?"

"Berisik!" Aku menarik tangannya, membawanya pergi ke kamarku.

Kami duduk saling berhadapan di kasur berseprei doraemon biru mudaku. Aku memeluk guling kesayangan dan kami mulai berbincang. Ini akan menjadi hari yang menyenangkan diatas redupnya hatiku.

"A Iban kemana saja?" Aku mengambil alih anggurnya dan memakannya dengan lahap. Masam! aku suka.

"Beberapa bulan kebelakang, Aa kerja di malaysia. Awalnya hanya ikut teman. Tapi sekarang, sudah mendapat pekerjaan tetap disana."

"Kapan pulang lagi kesana? Jangan bilang secepatnya."

"Aa memang akan pulang cepat. Setelah acara pernikahan Asyah selesai, Aa harus kembali"

"Ah.. Tidak mauu!" Aku merengek, menengelamkan kepalaku di dada bidangnya dan melingkarkan tanganku di perutnya.

"Kenapa sampai menangis seperti ini? Heum?" Ia tertawa kecil.
"Jangan menangis" Tangan kanannya mengusap lembut pipiku dan kirinya mengelus-elus kepalaku. Hangat.

Kita larut dalam pembicaraan yang sangat lama. Ku rasa Umi, Bapak mencari-cari kami. Aku tak peduli. Sampai akhirnya A Iban mengajakku ke acara. Tak sopan katanya. Setidaknya sekedar menghadiri foto keluarga. "Aku tidak mauu" "Isyah ga enak badan, A"

Punggung tangannya menempel di keningku.

"Ini bukan tak enak badan. tak enak hati. Sure?"

"Ayo!" Aku menggeleng.

"Ayolah" Ia menarik tanganku. Langkah kami terhenti. Dan

"Pakai ini untuk menutupi hidungmu yang sudah merah jambu" Ia mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya. Mengeluarkan lipatan kain hitam yang masih terbungkus plastik putih.

"Aku suka ini. Terima kasiiih" Lagi-lagi aku memeluknya.

"Pakaikan!" Pintaku manja.

Ia memakaikan sehelai kain yang sengaja ia bawa pada wajahku. Membuat wajahku tertutup dan hanya menyisakan mata. Kau tau itu apa? Aku yakin kalian pasti tau.

"Cantik!"

Kami meneruskan langkah.
Seakan mengerti situasi. A Iban menugaskanku duduk di meja untuk memberikan para tamu cinderamata yang tersimpan depan pintu masuk. Jauh dari pemandangan pelaminan.
Sedangkan ia, dengan cekatan membantu pekerja catering menambah menu yang sudah habis, mengambil piring-piring dan mencucinya sampai menyusunnya kembali. Ia sudah terbiasa dengan semua ini. Dari kecil memang ia slalu mengajarkan untuk menjadi seseorang yang kerja keras dan mandiri. "Sebesar atau sekecil apapun tenaga kita, harus bermanfaat dan bisa menyenangkan orang lain" Katanya.
Itu menjadi salah satu faktor pendorong aku mau pesantren.

Setelah acara selesai, aku menghampiri kamar A Iban. Aku duduk bersila di kasurnya sambil memeluk gulingnya. Ia sedang mengerjakan sesuatu di meja. Tepat di depanku handphonenya tersimpan. Aku mengambilnya dan tertarik untuk membuka galeri. Banyak sekali foto yang ber latar belakang pemandangan indah. Ia suka mendaki gunung. Banyak juga fotonya yang sedang memakai gamis berlatar belakang masjid bersama teman-teman yang juga berpakaian sama modelnya. Itu di tempatnya mengabdi pada kyai.

Aku banyak terinspirasi olehnya. Sudah ku katakan aku menyayanginya melebihi Umi, Bapak dan Asyah karna kita banyak sekali persamaan. Terbiasa hidup mandiri, mondok, dan kuliah sambil kerja. Beda dengan Asyah. Mungkin karna ia yang paling sering dirumah, kurasa Umi dan Bapak terbiasa memanjakannya. Tapi aku tak peduli, masih ada A Iban yang sangat menyayangiku.

Saat aku mondok, tak jarang ia menengokku dan meminta izin pada Abah kyai untuk membawaku main ke kota, sebentar. Setelahnya ia pulang kembali ke tempat rantaunya, Banten. Tapi 3 bulan terakhir ia menghilang begitu saja, nyatanya ia kerja di Malaysia. Mengajar ngaji homeschooling di beberapa tempat. Aku sangat bangga padanya. Di usianya, 25 tahun ia bisa menjadi orang bermanfaat dalam mensyiarkan agama. In syaa Allah.

Setelah lama aku membuka galerinya, tak dapat satupun aku menemukan foto seorang wanita.

"A!" Aku memanggilnya. Ia menoleh.

"Heum"

"Jangan dulu kembali. Isyah mau Aa disini."

"Tidak bisa. Besok Aa harus kembali"

"Ya sudah, Isyah ikut Aa saja. Isyah gamau disini."

"Kenapa?"

"Jomblo sendiri" Ucapku santai. Ia tertawa kecil dan menghampiriku.

"Kau kan kuliah. Kapan pertama masuk?"

"Besok in syaa Allah"

"Belajar dan kerja yang ikhlas. Nanti, kalau Allah kasih kesempatan, Isyah boleh ikut Aa"

"Tapi Isyah gamau disini. U know? My hubb meried. With my twins"

Hanya ia yang tau siapa itu yang ku sebut My Hubb.

"Aa  tau tidak mau disini karna itu"

"Asyah tega sekali sama Isyah, A"

"Harusnya Isyah bilang dari awal"

"Terus bagaimana?" Aku menangis. Ia memelukku.

"Jalani saja" Itu tak mudah untukku. Apalagi Asyah dan Zidan tinggal di rumah ini bersama kami. A Iban akan kembali besok dan pada siapa aku mengadu duka sekaligus merasakan hangatnya pelukan?
Umi, bapak dan Asyah tak seakrab aku dengannya. Kadang jika berbincang, aku masih bisa merasakan canggung. Tidak dengan Aa. "Bantu aku menjalani semuanya. Aa kembalilah tinggal disini. Masih banyak lapangan pekerjaan yang bisa Aa kerjakan disini."

"In syaa Allah"

"Jangan katakan itu. Katakan saja iya!"

"Allah yang menghendaki semuanya. Tak ada yang tau nasib kita selanjutnya bagaimana. So, in syaa Allah I'm back life in here."

Jazakumullah khairan katsiran💙

Dalam genggamanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang