Dalam genggamanmu-10

9 3 0
                                    

"Saat ini aku ingin berubah. Bantu aku untuk membuat Umi bahagia dengan menikahi mu. Umi sangat mengharapkannya"

"Tapi sepertinya tidak dengan Bapak ku."

"Ouh, really?"

Aku menatapnya dengan pandangan sombong.
"Ayo kita buktikan. Permainan di mulai Sayang"

"Sayang?!"

"Iya sayang"

"Jijik?!"

Ia terkekeh sendiri. Aku mengabaikannya dan duduk tenang dengan anganku. Saat ini ia benar-benar akan membawaku pulang .

Kami sampai di depan rumah sederhanaku. Rumah ini sudah ramai tamu undangan acara empat bulan kehamilan Asyah dan tentu saja ini bukan waktu yang tepat untuk memberinya kesempatan memberitahu niatnya pada Bapak. "Kau lihat? Ini bukan waktu yang tepat. Jadi, pulanglah. Kami sibuk. Tak ada waktu untuk melayani tamu istimewa sepertimu, Tuan." Aku tersenyum ketus, menjulurkan lidah meledek dan segera turun dari mobilnya. Aku sangat puas dengan kekalahannya. Untuk saat ini, ia kalah.

"Liat saja" Seketika ia sudah tepat disampingku, tangan kanannya menenteng jas hitam yang sudah tak melekat ditubuh tegapnya.

Ia mengambil pergelangan tangan kananku yang tertutupi handsock dan jilbab panjang babypink yang kukenakan saat ini. Pegangannya sangat erat. Aku tau ini perbutan buruk, tapi ia tak mau melepaskannya. Seketika aku melihat tanganku yang telah ia pegang. Air mataku menetes. Aku seakan melihat perbuatan dosa yang kulakukan sendiri.

Aku mengepalkan jari-jariku dengan kesal, ingin sekali aku memukulnya. Aku hanya diam, menyembunyikan pergelangan tangan yang telah ia pegang di balik jilbab bagian belakang. Aku sadar ini akan menjadi fitnah, terutama saat orang-orang melihatnya. Tak ada yang bisa ku lakukan selain ini sebagai cara menyelamatkan pandangan buruk tentangku di depan para tamu.

Aku mencoba menghapus air mataku.
Ada rasa yang sangat mengganjal saat ini. Harus pulang dengan laki-laki yang memaksa ingin menikah denganku dan menjadi saksi tumbuhnya buah cinta Asyah dan Kak Zidan. Kami berjalan menuju pintu masuk. Kulihat ruangan tengah sudah diisi penuh oleh tamu. Tak ada celah yang bisa ku tempati.

Ku ucapkan salam saat aku tepat didepan pintu. Bapak yang pertamaku dapati disana. Aku dan tuan muda mencium tangannya. Baru mengerti situasi, tuan muda pun melepas pegangannya. Kemana saja otaknya tadi? Aku menyalami satu persatu tangan para tamu perempuan dan menumpuk tangan didepan dada pada tamu laki-laki, sebanyak apapun jumlah dari mereka yang datang, ini salah satu tanda hormatku padanya.

Aku senang bisa menyalami tangan mereka yang sama-sama perempuan. Tak sedikit aku mendapat keramahan dan do'a saat aku menghormati seseorang dengan cara ini. Islam memang hebat.
Kebanyakan dari tamu yang datang adalah para tetangga, selebihnya keluarga Kak Zidan.

Tak sedikit dari mereka bertanya "Siapa yang kau bawa?" Ingin sekali aku menjawabnya 'Ini si gila karna jomblo akut auto keras kepala yang slalu ingin mengikutiku. Ia yang akhir-akhir ini mengusik kehidupanku dan yang slalu membuat moodku hancur dalam hitungan detik saja.'

Tapi itu tidak mungkin kan?

Hahah..Frontal sekali. Sekesal apapun aku pada tuan muda. Itu bukan kalimat yang baik untuk diungkapkan apalagi untuk didengar orang tua. Aku berusaha tersenyum dan mencerna otak. Gelar apa yang pantas ku torehkan padanya didepan orang-orang saat ini? Teman?Sahabat? Tukang catering? Grabcar?Gembel!

"Ini..." Ah, sulit sekali! Tak ada yang harus kuakui darinya.

"Saya calonnya Mikasyah, Bu."

Calon tukang kebun di rumahku kelak. Tepatnya.

"Calon suaminya. Mohon do'a nya untuk kebaikan kami kedepan"

Heh. Gila?!

Ia menumpuk tangannya didepan dada pada tamu perempuan. Pada tamu laki-laki? Ia menyalaminya. Para tamu yang melihat pasti akan mendeskripsikan tuan muda sebagai orang baik, shaleh, pemuda sukses dan sopan. Begitupun Umi. Ia tersenyum senang saat para tamu memuji tuan muda sebagai "Calon menantu yang tepat. Tampan, berwibawa dan sopan" Lagi-lagi itu membuat Umi tersenyum. Umi sangat suka di puji.

"Maaf Nak, rumahnya tidak terlalu besar. Disini penuh. Kau bisa temani Isyah di dapur." Umi mempersilahkannya untuk duduk di kursi meja makan tapi ia tidak ikut serta bersama kami. Kau tak takut anakmu diperlakukan perlakuan buruk? Hey! Umi? Lihatlah! Banyak pisau disini! Bagaimana kalau ia membunuhku?

"Tidak papa, bu"

"Temani calonnya ya" Sepertinya Umi sangat terhipnotis dengan damage nya.
"Dia teman Isyah, Mi. Tadi hanya bercanda. Kenapa Umi yang baper?"

"Mantu idaman, Syah"

"Oh iya Syah sekalian titip Bilah ya, acara akan segera dimulai. Itung-itung latihan ya kan, nak?" Umi memberi seorang anak kecil yang ia pangku padaku.

"Ah iya, Bu." Ingin sekali aku mencekiknya.

Umi kembali bergabung bersama para tamu. Aku duduk dikursi dan mendudukkan Bilah di meja makan, membuatnya menutupi tuan muda yang duduk berhadapan denganku. Tak lupa memeganginya agar tak terjatuh.

Anak kecil itu Nabilah, anak Bibiku yang sangat akrab denganku. Ia memanggilku "Sya-syah" Usianya 2 tahun. Pipinya yang gembul tak jauh berbeda dari Wawa, membuatku terus saja menciumnya. Gemas sekali.

Aku merasa di beri titik fokus untuk mengasuhnya dengan riang tanpa menghiraukan tuan muda. Aku tak peduli.

Tapi lihatlah.
Tuan muda pindah posisi menjadi tepat disampingku. Ia sedikit membungkuk untuk mendapati pandangan Bilah. Bilah dibuatnya tak henti tertawa karna si tuan muda menggelitiknya.Tangan Bilah melayang meminta digendong.
Seketika ia menyimpan asal jasnya di tanganku. Aku bergelidik kesal dibuatnya.

"Rupanya kau menyukaiku, adik kecil." Ia menggendong Bilah dan membawanya melihat kolam ikan dihalaman dekat kamarku yang terpencil.

Aku suka jika ada seorang laki-laki yang menyukai anak kecil. Dan itu ada pada dirinya. Sepertinya ia sebenarnya baik, sama dengan Uminya. Aku merasakan kehangatan saat ia berhasil lama mengasuh Bilah. Bagaimanapun ia bukan type anak yang mau di gendong siapa saja yang belum ia kenal lama.

Pendekatannya denganku juga cukup memakan waktu. Karna sebelumnya kan aku di pondok. Sebelumnya, ia slalu merengek seakan memintaku pulang jika aku bermain ke rumahnya. Tapi seiring berjalannya waktu, ia mulai terbiasa.
Jadi kukatakan tuan muda hebat dalam menghadapi anak kecil.

Aku merasa nyaman dengan aroma yang kudapatkan saat ini. Rupanya berasal dari jas tuan muda. Baunya menenangkan, ini aroma khas minyak tanpa alkohol. Dengan nyaman aku memeluk jas itu. Setelahnya sedikit membaringkan kepalaku di atas meja makan dan menjadikan jas itu sebagai bantalnya. Aku akan tidur.

Untuk kali ini aku percaya pada tuan muda, dia tidak akan membunuh Bilah. Ia sayang anak kecil. Bagaimana bisa ia melakukannya?Biarkan ia mengasuh Bilah dan aku tidur sebentar. Aku masih pusing ku pastikan saat ini aku demam dan Kenapa jadi banyak membahas tuan muda? Lupakan.

Eitttts Terima kasih💚
Jangan lupa sholat☺

Dalam genggamanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang