Dalam genggamanmu-2

19 6 2
                                    

Akhir tahun, setelah ku menuntut ilmu di tempat yang sudah ku anggap rumah sendiri, tempat yang penduduknya sudah ku anggap keluarga sendiri, di tempat yang para Syaikhi dan Syaikhuna nya sudah ku anggap sebagai orang tua sendiri. Rupanya, sudah cukup waktuku untuk ku habiskan bersama mereka.

Keputusan Bapak, slalu ku prioritaskan. Dan ia memutuskan agar Aku pulang setelah aku genap 6 tahun disini. 'Menyesuaikan usiaku agar tak terlalu fokus di dunia pesantren yang akan membuatku semakin mengenal ilmu agama, semakin tertarik dan semakin ingin lama mukim di pondok. Tujuan pulang untuk melanjutkannya ke jenjang dimana aku harus mulai memanfaatkan ilmu yang ku dapatkan selama mondok'. Katanya. Dengan apa? Aku tak tau. Yang terpenting, aku sudah manfaatkan ilmu pada diriku sendiri, terlebih dahulu. Untuk selanjutnya? Aku tak tau.

Entah itu aku harus ikut mengajar ngaji di mesjid? Atau? "Nikah" ?!

"Apa maksud bapak?"

"Tidak baik seorang perempuan menikah di usia lebih dari 23"

"And see dad, umurku sekarang baru saja menginjak 20 tahun. Bapak mengingatnya kan? Aku bulan kemarin ulang tahun dan tak ada satupun keluarga yang mengucapkannya"

"Apa salahnya menyegerakan? Malah baguskan, Isyah?" Sanggah bapak di telpon. Ish, ini melenceng?! Aku ingin membahas ulang tahun ku dulu yang seakan tak ada satupun dari kalian yang mengingatnya, bulan kemarin!

"Isyah ga mau, pak. Bagaimanapun Isyah mau kuliah dulu"

"Kerja sambil kuliah. Bantu Bapak mencari uang untuk tambah tambah uang Bapak membiayai kuliahmu"

"Ya lebih tepatnya seperti itu. So?"

"Ya kamu harus pulang bulan depan."

"Next month?! Isyah belum siap meninggalkan semuanya di Bogor begitu saja. Isyah mau berkerja dan kuliah di Bogor saja, Pak. Biar sesekali masih bisa ikut pengajian di Pesantren."

"Jangan slalu terpaku dengan masa lalu. Pulang lah. Berkerja dan kuliahlah di Bandung. Toh, bapak sudah meminta izin ke Abah Kyai mu untuk membawamu pulang. Beliau mengizinkan. Dan mendoakan yang terbaik untukmu. Semua dosa, gosob dan lainnya sebagai perwakilan seluruh santri, Abah Kyai sudah memaafkan dan menghalalkan. Jadi, tak ada lagi sesuatu yang bisa kau buat sebagai alasan nona" Bapak menekankan kata nona.

Satu kalimat yang membuatku sedikit mengganjal. Jangan terpaku pada? Masa lalu?! Ah ayolah berfikir positif. Siapa tau masa lalu yang di maksud Bapak, kehidupanku jaman dulu yang slalu tampil banyak gaya, sangat memalukan dan menjadi salah satu alasan yang ku tulis untuk tidak pulang di hari hari sebelumya.

"Dan-" Suara yang terdengar cukup serius dari telpon umum pesantren.

"Apa?" Jawabku santai.

"Kalau bisa dan usahakan pulanglah minggu depan. Keluarga besar akan berkumpul dan disibukkan disini. Termasuk kamu. Kau harus mendampingi Kembaranmu dengan segala persiapan yang dibutuhkan."

Kembaran? Aku memang punya teman lahir ke bumi dalam satu perut dan waktu yang sama. Mikaisyah dan Mikasyah. Dua orang 'Kembar' tapi tak sejenis wajah tidak pula dengan pemikiran. Kami terbiasa berbeda segalanya, hampir. Aku yang memilih untuk merantau ke pesantren tidak denganya. Ia memilih pendidikan nasional seperti kebanyakan orang. Ia sekolah di SMAN Bunga Bangsa Bandung 1. Tidak begitu tertarik dengan ilmu agama. Tapi aku? Sebaliknya. Sangat tertarik. Masalah kuliah, katanya ia pun sama akan bekerja sambil kulia-- "Nikah"

Hey?! What wrong with my ears?!

"Apa lagi maksud Bapak? Don't make me again have to think hard."

"Kembaranmu, Asyah kan menikah."

"Seriously? When?"

"Nanti juga kamu tau. Jangan banyak bertanya di telpon, menguras waktu bapak saja. Bapak masih banyak urusan untuk di bicarakan dengan orang lain secara langsung."

Huftt

Perbincangan yang sangat menguras waktu tenaga juga pemikiran. Apa apaan ini? Asyah yang akan menikah dan Isyah yang harus berhenti merantau. Apa hubungannya?! Hah?!
Masih banyak pertanyaan yang memenuhi kepalaku. Tapi keadaan tidak memungkinkan.

Di pesantren kita terdidik untuk tidak egois. Jangan sampai menghabiskan waktu terlalu lama untuk menelpon, sedangkan di belakang, antrian panjang. Tertawa saat berbincang dengan keluarga di telpon. Sedangkan orang lain lama menunggu? Tidak boleh. Tak baiik. Belajarlah menghargai orang lain.

Ya sudahlah aku pulang saja. Masa keluarga besar berkumpul sedang Aku kembarannya tidak ikut? Egois sekali. Soal harus pulang dari pondok dan kuliah di Bandung?
Bolehlah. Selagi aku masih disibukan dengan urusan pendidikan, dan tidak menganggur. Kenapa tidak? Syukur alhamdulillah bapak tidak menikahkanku secepat Asyah.

Tiga hari lagi hari Jum'at. Jum'at adalah ahad bagi para santri disini. Mereka kosong jadwal mengaji dan di bebaskan untuk melakukan apapun. Belanja ke pasar? Jalan jalan ke kota? Tak masalah. Asal minta surat izin, jangan berbuat sesuatu yang mencoreng nama baik sendiri, keluarga, dan tentunya pondok, jangan lupa tutup aurat dan? "Jangan lanjutkan jalan jalan anda kerumah masing masing." Begitulah tutur ketua keamanan pusat yang slalu ia tekankan.

Aku memutuskan untuk pulang dihari berjuta keberkahan itu. Sedikit untuk menghindari suasana kabung, karna sebagian dari mereka slalu ada saja yang main ke kota. Aku tak suka melihat orang menangis karnaku. Akan sangat membuatku terpukul. Bisa bisa aku tak bisa melepaskan pelukan mereka seperti halnya tahun lalu saat aku pertama kali menginjak pondok.
Aku yang awalnya bersikap cuek supaya tidak menangis akhirnya menangis juga saat keluarga yang mengantarkanku ke pondok pamit untuk kembali. Lama sekali aku memeluk Umi karna Umi menangis, dan akupun ikut serta. Bisa sampai satu jam untuk membuat tangisku reda dan ikhlas merelakan mereka kembali.

Akan lebih banyak orang yang memelukku dan akan lebih banyak tangis disana jika aku pulang tidak hari Jum'at. Pasti begitu.

"Teh isyaaah" Suara anak-anak kobongku membuat lamunanku yang sudah ku susun sebaik mungkin, hancur. Tapi aku senang.

Mereka menghampiriku dengan tangan yang sudah siap untuk memeluk. Aku menutup pintu lemariku. Mereka sudah tau kebiasaan ketua Kobongnya. "Kalau lagi inget orang kampung, kalau lagi nangis, kalau lagi bingung dan melamun, Teh Isyah pasti ngumpetin kepala di balik pintu lemari. Menutupi kepala di antara baju baju yang tersusun" Kata salah satunya.

"Ih, kenapa harus ada acara peluk-peluk si?"

"Teh Isyah, jangan pulaaang"

"Kalau teteh pulang, nanti gaada lagi yang bawel ingetin Sela makan pagi"

Aku? Bawel? Ish😒

"Trus yang bangunin kita subuh banget, buat ngambil waktu untuk mandi, Siapa?"

"Kalau teteh pulang, yang ngobatin Mita kalau kambuh siapa? Teteh teteh yang lain mah kan teteh tau sendiri. Mereka terlalu sibuk. Anak kobongnya juga gaada yang sedekat kita"

"Kalau teteh pulang, Siapa yang bakal nasihatin Ana lagi kalau Ana melanggar aturan kobong?"

"Ya jangan melanggar, lah" ucap yang lainnya serempak.

Ah, ambyarr. Belum juga aku bicara, Air mataku sudah lolos begitu saja di depan mereka. Membuat suasana haru menjadi plus plus. Ayolah, aku tak mau kembali ke zona perpisahan seperti saat pertama kali ku kesini, saat nenek meninggal, dan saat teman temanku boyong duluan.
Mulutku membisu, tak ada pertanyaan dari mereka yang bisaku jawab. Mataku, melihat mereka satu persatu dengan lirih.

Lagi-lagi mereka memelukku. Hey, aku tak bisa bicara kalau di pelukk!

Terima kasih💛
Ig @ern_indriaa

Dalam genggamanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang