Dalam genggamanmu-13

8 3 0
                                    

Aku mengadukan semuanya pada A Iban. "Malam-malam gini kenapa diluar rumah? Wajahmu semakin pucat saja. Jangan menangis, nanti ada yang menemani." Ucapannya membuatku mengeratkan tangan pada benda yang ku pegang.

"Aku di taman, A. Bapak yang memintaku pergi. Jangan buat aku merinding!"

"What wrong?"

"Kau masih ingat, tuan muda yang slalu kuceritakan lengkap dengan perbuatan buruknya?"

Ia mengangguk.

"Barusan ia melamarku. Aku menolaknya. Bagaimana bisa aku menerimanya jika di depannya saja sudah membuatku merasa takut? Bapak kecewa dengan keputusan ini, Asyah menuduhku dengan membuat fitnah yang tidak-tidak dan mempengaruhi Umi kalau aku benar-benar salah dan kau bisa lihat sekarang aku dimana? Bapak menyuruhku pergi dan disini aku menangis sendiri tanpa ditemani siapapun"

"Kau berdua, Isyah"

"Aa jangan terus menakut-nakutiku!"

"Lihat kebelakang. Apa itu tuan muda yang kau maksud?"

Aku berbalik dan melihatnya. Mampus?! Ia membuatku tak bisa berkutik. Aku sedang membicarakannya saat ini. "Berikan!"
Aku mengernyit heran. Ia berhasil mengambil alih handphone ku, sambungan dengan Aa masih berlangsung. Ia merubah sambungannya menjadi menelpon sehingga tak menampilkan wajahnya di hadapan Aa.

"Kau kakaknya?"
"Ku harap Aa bisa memaafkan kesalahanku pada adik kesayanganmu ini. Aku menyesal A, untuk itu aku melamarnya untuk menebus segala kesalahku pada Isyah. Dengan itu in syaa Allah aku akan membuatnya bahagia jika ia menjadi istriku."

Percakapan mereka terus berlanjut hingga Tuan muda menutupnya dengan memberikan pesan pada Aa.

"Aa tolong banyak berdo'a disana. Bapak sakit. Barusan sudah ku bawa ke hospital. Dan izinkan aku menenangkan adikmu."

".... "

"Terima kasih, A. Assalamualaikum."

"Bapak ku sakit?" Ia mengangguk.

Aku menghapus air mataku.
"Bawa aku menemuinya, tuan. Ayo!" Aku berjalan mendahuluinya masuk mobil.

"Kenapa disini?"
"Aku mau Bapak, bawa aku ke rumah sakit" Air mataku tak bisa ku tahan. Ia hanya diam. Tangannya membawaku masuk rumah, duduk, membawa minum dari dapur dan mengelus-elus kepalaku.

"Ia sakit karna perbuatanku kan tuan? Aku harus menemuinya. Bawa aku kesana. Ayo!"

"Bapak tidak mau kau temui. Buat ia tenang saat kau menurutinya dengan ini. "

"Aku melakukan kesalahan tuan. Tadi ia marah padaku. Pasti penyakit jantung Bapak kambuh." Mulutku tak henti berkicau dan air mata ini membuatku semakin terpukul.

"Kau juga sedang sakit kan? Tidurlah. Tenangkan dirimu. Aku akan menjagamu di depan rumah"

"Aku tidak mau" Aku mememeluk kaki di atas kursi. Dan menenggelamkan kepalaku.

"Mau aku cium lagi? Heum?"

Aku dibuatnya terkejut dan mendongkak kan kepala. "Najis"

"Jadi, diamlah. Dan tidur. Aku ada di luar rumah."

Bagaimana aku bisa tidur? Semuanya menjaga Bapak dirumah sakit dan aku ditinggal dengan seribu kegelisahan. Jam sudah menunjukkan pukul dua malam. Ku pastikan aku tidak akan tidur hari ini.

Aku melangkah ke kamar. Ku panjatkan do'a semampu yang bisa ku katakan dalam sujud tahajud. Pikiranku kacau. Slalu saja mengarah pada kehilangan. Aku tidak mau kehilangan Bapak. Aku tidak mau.

Aku menghampiri tuan muda yang tertidur di kursi rotan di depan rumah. Memintanya menyambungkan vidio call pada salah satu dari mereka yang ada dirumah sakit. Aku sangat khawatir. Bagaimanapun, Aku harus melihat keadaan Bapak.

"Umi, mu menolaknya"

"Mereka pasti sama denganmu. Khawatir dengan kondisi Bapak. Tak ada waktu untuk vidio call"

Aku hanya menunduk. Tangisku belum bisa terhentikan.  "Jangan menangis"
Ia membawaku duduk di sampingnya dengan menjaga jarak.

Aku lama melamun dengan tatapan kosong. Aku masih malu dengannya. Aku yang menolaknya tapi ia yang menenangkanku. Kurasa ia lebih baik.

Tak lama handphonenya berdering. Ia menunjukkan kepadaku siapa nama yang tertera. Aku menghapus air mataku dan tersenyum.
"Angkat tuan!"

Ia mengangkatnya. "Kau boleh melihatnya kesana. Tapi jangan menangis ya" Aku mengangguk semangat. Aku masuk kedalam. Mengganti baju tidur dengan gamis longgar dan mengganti jilbab instant rumahan dengan jilbab yang biasa ku pakai. Tak lupa aku melampirkan slingbag di bahu.

"Terima kasih" Ia mengangguk tersenyum.

🌿🌿🌿

"Kenapa diam saja? Ada yang salah? Kau sakit? Pusing? "

"Tidak"

Aku membuka pintu mobil.
"Jangan terlalu semangat. Naza." Ia mengikutiku dari belakang.
"Hey, Ruangannya kesini" Aku mengikuti arahannya. "So tau"
"Biarin"

Aku mendapati keluargaku disana. Mereka menangis. Bapak memang jarang masuk rumah sakit. Jadi kupastikan mereka sangat khawatir.

Aku menghampiri mereka "Umi" "Maafkan Isyah" Diamnya membuat tangisku semakin menjadi. "Maafkan Isyah"
"Umi.."

"Kau membuat anakku kehilangan kakeknya, sudah murahan pembunuh pula!" Asyah menamparku.

"Jangan bicara sembarangan, Asyah!"

"Pembunuh! Murahan!" Nafasku terengah-engah, pikiranku kalut. Ia sangat membuatku kesal. Ingin sekali aku kembali menamparnya. Tapi Kak Zidan menahannya. Oh, Aku lupa. Di sampingnya slalu ada suami yang siap membela putri cantik.

Tuan muda berusaha menghentikan tangisku dengan mengelus-elus punggungku. Itu tidak mempan.

"Bapakku meninggalkan kami?" Aku bicara pada Tuan muda. Hanya ia yang bisa ku andalkan saat ini.

Dengan lemah ia mengangguk. Ucapanku dibenarkannya dengan yakin.

Mana pecinta Senjaaa😁🙌

Dalam genggamanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang