Acara selesai. Tuan muda menepuk-nepuk bahuku "Sya-syah bangun Syayah" Ia meniru suara Bilah karna ia masih menggendongnya. Aku mulai membuka mataku celingukan. Keduanya tertawa seakan meledekku. Berani-beraninya! Aku menghiraukannya tidak peduli.
Aku membagikan bingkisan yang memang disimpan di dapur dibantu tuan muda. Setelahnya tamu pulang satu-persatu. Aku membantu Umi membereskan semuanya. Tuan muda pun tak diam. Mungkin ia tak merasa tamu spesial. Karna memang tak ada yang spesial darinya. Ia cekatan membantu kami.
Syukurlah, ia sedikit berguna dan semuanya selesai. Tak lama azan magrib berkumandang. Bapak mengajaknya ke masjid begitupun dengan Kak Zidan.Aku sedikit memijit kening saat selesai sholat di kamar. Panasnya belum juga berkurang. Nafasku juga ikut panas saat berhembus. Aku bingung, hal baru terjadi begitu saja dengan mudahnya. Nyatanya aku mulai berani membawa laki-laki kerumah. Aku malu dengan keluargaku. Apalagi dengan seseorang yang kini menyandang sebagai adik iparku. Tapi kan tidak baik jika aku menolak tuan muda untuk ikut didepan para tamu tadi.
Satu hal yang dapatku syukuri. Ia bisa menjaga sikapnya. Dan tidak membuatku malu atas itu. Urusan tuan muda menyebutku sebagai calonnya didepan mereka. Lupakan.
Ia seperti bermuka dua, didepan ku dia berontak, slalu saja memaksaku melakukan apa yang diinginkannya dan sebaliknya saat ia memperlakukan orang lain.
Kalau ia memang ingin melamarku dan membuatku suka terhadapnya kenapa tidak dengan cara baik-baik seperti ia yang terlihat saat tadi saja? Itu akan membuatku nyaman sendiri dan mengaguminya tanpa paksaan.
"Isyah, calonnya mau pulang!" Aku memutar mota mata jengah. Teriakan Asyah membuatku semakin malas mengenalinya. Sejak kapan ia semenyebalkan ini?. Sejak aku menetap dirumah, Peri cantik itu slalu saja bersikap semaunya terhadapku. Salah satunya ini. Berteriak saat berbicara yang sangat membuatku risih, apalagi dengan kata "Calon".
"Katakan padanya pulang saja." Aku yang masih mengenakan mukena menghampiri Asyah dan kembali ke kamar. Kalau aku menjawab ucapannya dengan teriak juga, berarti aku sama gilanya dengan Asyah. Aku malas kedepan. Aku belum tadarus hari ini. Sekali lupa, pasti kedepannya malas. Aku harus bisa melawan godaan seperti itu.
"Isyah, antar ia kedepan!" Umi membuatku menghentikan langkah.
Dan harus menemuinya. "Pulang saja, Tuan." Aku mendapati tuan muda sedang duduk di kursi rotan di depan rumah. Ia menoleh padaku dan Aku menatap langit dengan senyuman. "Sekarang, ku akui aku kalah. Kau benar, ini memang bukan waktu yang tepat. Tapi masih ada hari esok."
"Heum"Aku masih fokus menatap indahnya langit.Tuan muda masuk lagi kedalam rumah untuk mendapati Umi dan Bapak "Senja pamit ya Ibu, Bapak" Ia menyalami tangan bapak dan menelungkup tangan didepan dada saat melihat Umi.
"Assalamu'alaikum""Wa'alaikumussalam. Jangan bosen-bosen berkunjung ya, Nak."
"Tentu, bu. In syaa Allah"
😒
Aku mengantarnya sampai mobil. "Jangan sampai kecelakaan lagi"
"Terima kasih calon istriku" Lagi-lagi ia membuatku mengibarkan bendera perang. Ingin sekali aku melemparnya dengan batu agar ia sadar siapa dia. Tak tau malu!
Ia memasuki mobil dan memasang seatbelt."Terima kasih untuk hari ini."
Aku menunduk. Suasana berubah begitu saja dan membuatku teringat akan keburukannya. Air mataku berhasil lolos dengan mulus.
Ia tersenyum. Ada semburat rasa bersalah disana. "Maaf, Naza" Aku menggeleng. Memaafkannya tak semudah ucapan maafnya. Akan mudah untukku mengatakan ya tapi akan sulit untukku melupakan segalanya. Jadi kusimpulkan. Ia belum bisa termaafkan. "Jangan temui aku lagi, kumohon.""Aku tidak bisa. Assalamu'alaikum"
Ia mulai pergi. Dan mobilnya sudah tak nampak lagi.Aku kembali kekamar dengan langkah yang mulai melesu, selesai adzan isya berkumandang aku akan langsung tidur. Aku harus minum obat dan menyegerakan istirahatku saat ini.
Owh.. lihatlah apa yang tergeletak begitu saja di kasur doraemonku. Ini jas tuan muda! Aku melupakannya begitupun pemiliknya. Kenapa bisa? Jas itu harus menginap dikamarku hari ini. Besok masih kerja shift pagi. Aku akan membawanya.
Aku menggantung jas tuan muda di belakang pintu. Ada sinar disalah satu sakunya. Rupanya handphone tuan muda yang sudah banyak notifikasi Whatsapp dan email. Kurasa semua pesan ini hal penting. Tapi ini sudah malam. Aku tak bisa memberi ini ke kediamannya, Aku tak tau dimana ia tinggal.
Aku menelpon Umi tuan muda. Kukatakan handphone anaknya tertinggal. "Oh maaf, Isyah. Umi dan adiknya Senja sedang di Kalimantan. Sekarang kami tinggal disini bersama keluarga kakaknya Senja"
Aku berterimakasih. Aku bingung tapi biarlah. Aku melihat kembali handphonenya. Syukurlah, tuan muda tidak menguncinya dengan code sandi, pola atau bahkan touchscreen. Terdapat foto Umi dengannya sebagai wallpaper. Sungguh foto yang indah. Ia mengenakan gamis putih, tangannya merangkul Umi dan mereka tersenyum bahagia disana. Aku ikut tersenyum melihatnya. Kurasa ia sangat mencintai sosok Umi.
Aku membalas satu-persatu pesan yang ada. Kukatakan, "Maaf, handphone Senja tertinggal dirumahku. Aku temannya. Ku pastikan besok kembali ke tangannya. Terimakasih."
Pesan yang begitu banyak membuatku semakin pusing dan menghabiskan waktu hanya untuk men-share jawaban yang sama.Jadilah seperti awan senja.
Slalu tetap bersianar meski ada awan yang memudarkan
@ern_indriaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam genggamanmu
SpiritualLepaskan sebelum memberi kepastian Genggam erat setelah menghalalkan🖤 🌼 Sebelumnya, gue minta maaf banget kalau ada persamaan alur, nama tokoh, latar, suasana, kejadian, sikap pemeran, persamaan kalimat, kata, huruf dan apa aja dah yang sekiranya...