Dalam genggamanmu-16

5 2 0
                                    

"Bagaimana dengan ini?" Aku membawa satu tunik serta celana yang cocok dengan tunik tersebut ke hadapan tuan. Ia memang pecinta dunia nyata ya rupanya. Ia malah asik mengobrol dengan kasir pria ditoko ini dan aku yang sibuk memilih bajunya yang pantas ia kenakan ke pondok.

"Pilihan yang bagus. Ini ya kang" Tuan muda mengambilnya dan menyerahkan baju itu ke kasir yang dari tadi berbincang dengannya.

"Istrinya tidak tuan?" Sanggah kasir itu.

"Ini bukan istriku" Aku melotot padanya dan pergi duduk di kursi yang ada.

"Kau memang bukan istriku kan? Kau calon istri. Ada yang salah? Kenapa marah begini?"

Kenapa marah?

"Aku lupa"

"Kau ini, ya" Ia memintaku memilih baju yang kusuka. "Kalau bisa yang couple ya" Katanya. Emang kondangan?! Lagi-lagi hari ini membahas baju. Baju lagi baju lagi.

"Tidak mau. Antar aku beli makanan oleh-oleh untuk keluarga Abah kyai dan anak-anak saja"

"Oke"

Setelah akhirnya kami hampir sampai ke pondok pesantren. "Tuan tau dimana pondoknya?"

Ia mengangguk. "Aku pernah dua kali kesana. Saudara ku mondok di Nurul Qalbi juga."

"Oh ya? Apa ia kenal Mikaisyah?"

"Ia tau siapa Teh Mikaisyah. Akupun pernah tau siapa itu saat menengok ia kesana. Waktu itu yang di sebutnya Teh Mikaisyah membukakan pintu saat aku ke rumah Kyai"

"Ah iya, aku memang sering membantu di rumah Abah kyai. Aku tak ingat, tuan. Setiap harinya ada banyak tamu yang datang."
"Saudara tuan benar-benar mengenalku?"

"Bagaimana tidak? Kau yang slalu menghukumnya. Saat aku ingin membawa Ana main ke kota. Katanya ia sedang dihukum di kobong karna melanggar aturan. Ia harus membersihkan kobong sampai ke sudut-sudut nya"

"Ana?" Ia mengangguk. Dunia terasa sangat dekat.

"Ana saudara tuan? Ia memang sering melanggar. Menurutku, ia sedikit tertekan karna tak mau di pesantrenkan, kan?"

"Iya"

"Tapi tuan, sekarang ia lebih baik. Percayalah."

"Aku percaya. Karna yang slalu menghukumnya sudah ku ambil untuk dinikahi"

"Aku melakukan itu, agar Ana lebih baik"

"Untuk itu Aku penasaran siapa yang slalu menghukumnya. Aku akan berterimakasih padanya"

"Sama-sama"

"Ana pasti terkejut dan senang dengan siapa Aku akan menikah."

"In syaa Allah, tuan." Kamipun sampai.

Setelah lama berbincang dengan Abah kyai dan Umi. Akhirnya tuan muda mendapat restu dari hadrotusyeh. Tuan muda menungguku di saung dekat kolam ikan, tempat sambangan jika keluarga santri menengok. Aku sangat bahagia bisa kembali duduk bersama sambil berbincang dengan anak-anak kobongku dan teman seangkatanku yang jumlahnya tidak banyak lagi.
Kita banyak mengukir tawa di kamar sederhana ini. Sangat bahagia. Mereka menebakku, untuk apa aku ke kobong "Pasti mau undang kita buat makan sate kan?" Ucap salah satunya.

Undangan adalah moment yang sangat mereka tunggu. Dari siapapun itu. Dengan adanya undangan, mereka bisa keluar pesantren dan memakan hidangan yang jarang mereka dapati. " Iya" Mereka bersorak bahagia. Aku seperti melihat diriku dulu atas kebahagiaannya. Dulu aku yang memimpin mereka bersorak untuk ini. Seru sekali.

"Ana mana?" Ia belum terlihat. Bisanya ia yang paling lantang bersorak kalau datang seseorang yang lama tak ia temui. "Ana lagi nyuci" Salah satu dari mereka akan memanggil Ana. Aku bilang "Biar teteh saja. Dimana Ana menyuci?"

"Di wc jadid 11 teh" Aku segera kesana. Ku dapati wc itu tertutup pintunya. Aku mengetuk pintu itu tanpa bicara. Ia berteriak "Bentar lagi selesainyaaaa. Jangan ditunggu! Nanti kalau udah beres Ana panggilin deh, Nadia!" Aku tidak menanggapinya. Sepertinya ia kira aku yang menyarter kamar mandi setelah Ia mencuci.

Ku ketuk kembali pintunya.
"Cepat. Kau lama sekali. Aku tak sabar mau nyuci!"

"Kok suaramu berubah, Nad?"
"Iya ini udah selesaai"

Saat ia membuka pintunya. "Assalamu'alaikum" Ia menatapku tak percaya.

"Ah Wa'alaikumussalam, Ana rinduuu teteh." Ia memelukku dengan tangannya yang masih basah. Tak apa.

Aku mengajaknya ke saung untuk makan. "Kenapa tak di kobong saja?"

"Kami sudah lama berkumpul dan tertawa bersama. Teteh hampir melupakanmu. Jadi teteh akan menggantinya dengan makan di saung. Biar seger kan? Sambil liat pemandangan sama ikan-ikannya Abah?"

Ia mengangguk antusias. "Ih teteh liat! Ada Kang Senja. Dia Om nya Ana."
"Kakang!" Ana berhambur ke pelukan tuan muda.
"Mamah Ana nitipin bekal ke Kakang lagi ya?. Udah dua bulan Mamah ga nengokin Ana. Bilangin ke Bayinya cepet lahir, Kang."

"Mamah mu tidak menitipkan apapun, Ana. Jatah uangmu masih kau pegangkan untuk satu bulan kedepan?"

"Eh iya ya"

"Ajak Ana main ke kota atuh kang?"

"Nanti saja Ana"

"Atuh ih Kang, Ana bosen"

"Lain kali saja"

"Ih kakang mah. Nanti di kenalin deh ni sama ketua kobong Ana dulu"

"Ga perlu"

"Ah, Kakang mah so jual Mahal"

"Kakang sudah tau"

"Kakang mah sok tau ah. Ga asik"

"Asikin aja"

"Iiiih nyebelin" Ana mencubit kedua pipi Tuan muda gemas.

"Seminggu lagi Kakang akan menikah. Kau pulang satu hari setelahnya saja ya? Jangan mengambil banyak libur. Kakang sudah bicara pada Abah"

"Alhamdulillah Ana pulang juga"

"Kakang ga ajak calon istrinya liat Ana? Kok gitu si? Kan Ana pengen tau duluan"

"Kakang mengajaknya. Sejak tadi kau memegang tangannya. Membuatku ingin ikut memegangnya saja. Lepaskan!" Tuan muda melepaskan tangan Ana dari genggamanku. Ana keheranan. Ia benar-benar terkejut.

"Teh Isyah?"

Aku dan tuan muda mengangguk. Kami melihatkan cincin sederhana  yang sama modelnya. Tuan muda memberikan itu satu hari setelah aku menerimanya sebagai calon suami.

Dag dig dug seeer
Terima kasih🤗

Dalam genggamanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang