Dalam genggamanmu-14

6 2 0
                                    

Aku menangis ketika Bapak di adzankan. Irama adzan itu yang sangat membuatku terenyuh. Adik iparku yang mengumandangkannya.

Ada rasa sesak yang menyambutku. Aku berdiri tepat disisi makam Bapak. Di depanku, ada Kak Zidan yang tak lepas tangannya merangkul Asyah dan tak henti mengecup kepala Asyah sebagai penenangnya.

Aku berusaha menenangkan Umi yang semalaman tak bicara. Tak lama acara pemakaman selesai. Makam sudah tak terlalu ramai dan hanya menyisakanku dan keluarga. Tuan muda dengan setia mendampingiku dan Umi. Meskipun bukan siapa-siapa nya Bapak. Aku tau ia pun sedih.

Kak Zidan membawa Asyah dan Umi pulang. Aku tidak dihiraukannya. Kalau ia mengajakku pun aku tidak akan ikut. Aku masih ingin disini. Jadi, jika ia mengajakku,  sama-sama tidak akan membuatku ikut pulang. Jangan sakit ya hati.

"Tuan" Aku menatap mata tuan muda yang tertutup kacamata hitam. Sampai saat ini, ia masih ada di sampingku, sedang menaburkan bunga dan air pada makam Bapak.

Ia menatapku. Tangannya ia masukkan kedalam saku jas dan mengambil sesuatu. Ia memberiku sapu tangan. Aku hanya menatap sapu tangan biru itu. Tak lama benda itu sudah ada di pipiku. Dibantu tangannya untuk menghapus air mata ini. "Kau tidak lelah menangis?"

Aku menggeleng lemah.

"Bagaimana dengan lamaran mu?"

"Aku tidak akan melamar untuk kedua kalinya pada perempuan lain."

"Bagaimana bisa?"

"Aku yakin kau jawaban do'a Umi untukku. Jadi, lamaran itu akan slalu berlaku sampai kau mengatakan bersedia."

Hening.

"Kenapa?"
"Kau berubah pikiran ya?" Ia tersenyum jail.

"Apa kau perencana semua ini? Kau berkeja sama dengan Asyah untukku merasa bahwa aku yang bersalah? Kau buat aku kehilangan Bapak dan aku merasa terpukul? Setelahnya aku luluh?"

"Ini semua rencana sang Maha perencana."

Aku dibuat diam dengan jawabannya. Jika sudah menyebut nama Allah. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain merasa malu pada diri sendiri.

"Kau berubah pikiran kan? Katakan." Ia mengambil satu tangkai bunga dari kuburan Bapak yang barusan ia simpan. "Tidak dengan cara ini" Aku mengambil bunga itu dari tangannya dan kembaliku simpan itu di nisan Bapak.

"Kali ini aku menerimanya, Pak. Semoga bapak bahagia disana dengan jawaban ku ini. Ini kan yang bapak inginkan?" Aku bicara sambil mengusap air mata dan menatap lekat pada kuburan.

"Aku akan menjaganya semampuku. Smoga Bapak tenang disisi Allah."

Lagi-lagi aku menghapus air mataku tapi ia tidak mau pergi juga.
Aku menundukkan kepalaku dan ku sembunyikan dengan kedua tangan.
Tuan muda membantuku berdiri.

Kami pulang ke rumahku yang masih terpasang bendera kuning.
Kami mengucap salam dan mencium tangan Umi.

"Beritahu kabar ini pada Umi." Aku berbisik padanya.

Ku pastikan Umi belum bisa aku ajak bicara. Akan membuat rasa kecewanya kembali teringat. Biarkan tuan muda bicara dengan Umi. Berharap Smoga ini bisa membuat rasa sedihnya sedikit berkurang. Aku pergi ke kolam ikan dan meninggalkannya bersama Umi.

"Aa jadi pulang hari ini?"

"Aa sudah di bandara, Syah"

Terlihat ia sedang menuruni anak tangga pesawat.

"Alhamdulillah"
"Aa, maafin Isyah kan? Bagaimanapun awal dari ini semua karna ulah Isyah. Pasti aku membuatmu kecewa kan?"

"Semuanya takdir Allah."

"Orang-orang disini mendiamkan ku sebagai rasa kecewanya. Ku harap Aa tidak."

"Aa tidak akan mendiamkanmu. Jangan menangis lagi."

"Aa tunggu disana. Aku akan menjemputmu."

"Dengan tuan muda?"

"In syaa Allah"

"Tuan mudamu sudah memiliki anak, Syah?"

"Tidak, lah"

"Trus itu siapanya?"

Tuan muda di belakangku. Aku melihatnya sedang menggendong Bilah dan bermain-main ke arah kamera. Menyebalkan. Slalu saja mengganggu pembicaraan ku dengan Aa.

"Kau tidak mengenali sodaramu A?" Tuan muda yang mengatakannya pada Aa.

"Siapa anak itu tuan muda?" Ia menyamaiku dalam memanggilnya. Membuatnya memandangku dan mengulang kata 'tuan muda' dan tertawa.

"Ini Bilaaah. Say hay to she"

"Oh iya. Bilah. Anak yang terus saja menangis saat Aa menggendongnya di pernikahan Asyah" Kami hanya tertawa mendengar ucapan Aa.

"Kita akan menjemputmu. Tunggulah." Aa mengangguk dan mengakhiri sambungannya.

Tuan muda menyuruhku bersiap-siap untuk menjemput Aa ke Bandara.
Saat akan pergi, Bilah menangis ingin ikut. Aku dan tuan muda dibuatnya bingung. Bagaimanapun, Bandara tidak dekat dari sini. Tapi akhirnya Bibi mempercayai kami untuk membawanya.

Kita sudah berada dimobil. Tuan muda menelpon Uminya, ia me loudspeaker dan hampir sepanjang perjalanan selain di temani ocehan Bilah kamipun ditemani suara Umi dan adiknya tuan muda. Kata adiknya, ia suka suaraku, "Suara teteh lucu. Kaya Marsha. Kakang beruangnya"
Aku tertawa dibuatnya. "Awas kau ya Mimi" Tuan muda merengut kesal.

"Berapa usia Aa, mu?"

"Dua puluh tujuh"

Ia mengangguk-angguk.

"Dan kau?"

"Masih bisa disebut adik Aa mu, dua puluh lima."

"Lumayan masih muda"

"Jelas memang aku masih muda"

"Kapan kau menikahiku?"

"Kau sudah tak sabar membuat adik kecil seperti ini ya?" Tangannya mencubit gemas pipi Bilah.
Aku memutar bola mata malas padanya.

"Aku tidak mau lama menjalankan semua ini. Bagaimanapun berdua seperti ini pun dosa kan? Bagaimana dengan tanganmu yang slalu memaksa untuk memegang tanganku?"

"Hahah bawaanya pengen khilaf terus kalau kau di dekatku. Aku minta maaf atas kesalahan yang terus saja ku lakukan"
"Aku janji, secepatnya"

Aku menatap Bilah yang mulai tertidur dan membenarkan posisi tidurnya.

"Bulan depan ya" Masih tuan muda yang mengatakannya.

Terima kasih 😍

Dalam genggamanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang