Kami berempat berangkat meninggalkan Daga menuju Kyra, ibukota negara Welland sehari berikutnya setelah aku merasa lebih baik dari cedera yang menimpaku. Pemulihanku ini termasuk cepat. Tulang pipiku yang remuk saja sekarang terasa utuh dan tidak sakit lagi. Apakah ini berkat pengobatan yang dilakukan guru?
Jalanan yang kami lalui sudah cukup nyaman. Infrastuktur jalan batu bata telah terbangun di sepanjang lintasan yang kami lewati. Kami tidak lagi melewati medan sulit sebagaimana sebelumnya walaupun perjalanan kami tetap menembus hutan dengan banyak pepohonan hijau di kanan kiri jalan.
Jarak antara perkampungan Daga dengan ibukota lumayan jauh. Kami menghabiskan kurang lebih delapan jam di atas pelana kuda. Kami berangkat saat matahari mulai terbit dan sampai di tujuan kala ia telah menunggu di arah barat. Syukurlah perjalanan kami kali ini lancar, tidak ada serangan bandit ataupun hewan liar.
Waktu kami mulai memasuki kota yang dikelilingi tembok besar tersebut, aku terperanjat dengan pemandangan dengan suasana zaman pertengahan eropa di kota itu. Bangunan-bangunannya, tata letak kotanya, bahkan model pakaian penduduknya persis zaman kerajaan pra-rennaissance. Bahkan beberapa penjaga berzirah dengan warna desain hijau pun terlihat berdiri tegak di beberapa titik dengan tombak di pegangannya.
Benar-benar sebuah pemandangan yang belum pernah aku rasakan di hidupku. Selama ini aku hanya tahu kota zaman pertengahan hanya di game. Tapi sekarang semua begitu nyata.
Memasuki kota, kuda kami tidak lagi berpacu, melainkan berjalan santai. Saat kafilah kecil berkuda kami menembus kerumunan orang-orang, mereka dengan penuh kesadaran minggir untuk memberi kami jalan. Mereka juga memberi salut penghormatan, menyadari raja mereka.
Kota Kyra begitu luas terbangun di atas sebuah bukit dan lembah di sekitarnya. Dari gerbang masuk selatan menuju istana yang berdiri gagah di puncak memerlukan waktu kurang lebih 20 menit berjalan.
Memasuki area istana, atmosfer sekitar kembali berganti. Walaupun sama-sama gaya zaman pertengahan, arsitektur bangunan dalam area istana tampak lebih mewah dan bergaya.
Gedung-gedung besar yang rendah memenuhi kanan kiri jalan. Di area ini pun jalanan lebih sepi.
Kami berempat berjalan lurus sampai akhirnya berhenti di depan bangunan terbesar berwarna hijau tua. Di sini Sir Alex dan Sir Ferdinand berpisah dengan kami.
"Alright, Sir. Apakah engkau akan menuju ke kediaman lamamu? Kalau begitu, tolong jangan lupa, hadirlah di aula istana utama untuk upacara pengukuhan dan makan bersama malam ini," tutur Sir Alex.
"Baiklah. Sampai jumpa malam ini," jawab guru.
Sir Alex dan adiknya masuk ke dalam istana besar itu sedangkan guru melanjutkan perjalanan kurang lebih 200 meter lagi. Aku mengikuti di belakangnya.
"Bagaimana menurutmu?" tanya guru membuka pembicaraan.
"Maaf?"
"Bagaimana pendapatmu tentang kota ini?"
"Well, sangat menarik, menurutku. Kota tempatku berasal jauh berbeda dengan tempat ini."
Guru tersenyum dan memejamkankan kedua matanya. "Hmm, engkau tentu akan segera beradaptasi."
Aku menghela nafas. Melihat-lihat gedung-gedung yang terbuat dari batu di area ini. Semua didominasi warna hijau. Sampai-sampai aku menyangka, hijau adalah warna nasional Welland.
Kami sampai di sebuah rumah paling sederhana di komplek istana. Rumah itu kecil dibandingkan bangunan-bangunan lain di sekitarnya dan tampak tidak terurus selama beberapa waktu.
Di depan rumah itu terdapat taman kecil dengan kolam ikan dan sebatang pohon yang tetap sehat. Tetapi dedaunan segar dan kering yang berjatuhan berserakan di tanah yang ditumbuhi rerumputan panjang tak terkendali. Air kolam juga keruh. Aku pun tidak berpikir ada ikan di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isekai : War & Tactics
FantasyHerman Alamsyah, seorang pemuda SMA yang bercita-cita ingin menjadi pemain e-sport profesional tiba-tiba terlempar ke dunia pedang dan sihir yang jauh dari bidangnya. Di dunia barunya, ia tidak akan terlahir sebagai orang yang overpower dan mengalah...