Hanbin | Winter Light Root

162 71 22
                                    

Aku memiliki kehidupan yang sulit. Orangtuaku selalu membandingkanku dengan kedua adikku. Aku sudah berusaha sekuat mungkin menjadi apa yang mereka inginkan. Namun, tetap tidak berarti di mata mereka. Aku selalu salah dan disalahkan. Ibuku lebih menyayangi adik perempuanku, dan ayahku lebih mencintai adik bungsuku. Aku merasa sendirian di dunia ini. Tidak ada satu pun tempat yang mau menerima kehadiranku.

Aku selalu tersenyum tanpa beban dan tertawa dengan keras, ketika bersama keluarga, teman, dan orang-orang yang mengenalku. Tetapi apakah ada satu di antara mereka menyadari bahwa senyuman dan tawa keras yang kuberikan adalah tameng untuk menyembunyikan kesedihanku? Semua orang mengenalku sebagai sosok yang selalu peduli dan mendahulukan kepentingan orang lain. Namun, keluargaku mengenalku sebagai sosok yang egois. Mengapa mereka tidak menanyakan alasanku berbuat begitu?

Orang-orang di luar sana memang tidak mengenal baik lapisan terdalam diriku. Namun, pantaskah keluargaku menghakimiku semudah itu? Menilaiku sesuka hati mereka, dan mengecapku sebagai orang jahat? Aku sudah lelah menjadi orang baik di mata keluargaku. Semua yang kulakukan tidak berharga di mata mereka. Lantas, salahkah aku apabila menyakiti hati mereka? Bolehkah aku membalas segala kesakitan yang kudapatkan dari tindakan diskriminasi mereka?

Aku ingin bebas dari rasa sakit ini. Tuhan terlalu banyak memberiku kesedihan, tetapi aku tidak ingin menyalahkan-Nya. Aku terus menyakini bahwa ini adalah ujian yang Dia berikan, agar aku terus bersabar dalam menjalani kehidupan. Aku ingin terus memiliki kesabaran itu tanpa akhir. Sungguh, aku menginginkannya.

Sampai pada akhirnya, aku merasa kesabaran dan air mataku tidak mau diajak bekerjasama. Kesabaranku hampir habis, begitupula dengan air mata yang selalu membuncah mulai kering. Aku sudah tidak ingin menangis lagi. Dadaku terasa sesak, ketika menahan marah. Mataku selalu perih, apabila menangis.

Aku sangat ingin pergi dari dunia ini. Sebenarnya banyak cara untuk mengakhiri hidup, hanya saja aku tidak ingin menyelesaikannya sepicik itu. Aku tahu Tuhan membenci perbuatan dosa. Jadi, aku harus apa? Menunggu pelangi sehabis hujan? Atau terus membiarkan jiwaku mengkerut dan mati secara perlahan?

- Gyeoul -


Surat itu ditemukan di saku kanan bajunya. Pihak keluarga memilih untuk tidak mengautopsi jenazah. Mereka menyakini bahwa kematian Gyeoul memang murni bunuh diri. Keluarga Min sangat menyayangkan tindakan putri sulung mereka, dan merasa Gyeoul terlalu berpikiran sempit.

Bagaimana bisa Gyeoul berpikir bahwa ada diskrimininasi dalam keluarga ini? Kedua orangtuanya menebak bahwa Gyeoul mengalami gangguan delusi sehingga berpikiran yang tidak-tidak.

"Gyeoul adalah gadis yang selalu menyusahkan kami," kata Min Joeun-sang adik, ketika memenuhi panggilan polisi untuk diinterogasi pagi ini. "Dia selalu berpikir bahwa orangtua kami tidak menyayanginya,"

Detektif Kim mengetik pernyataan itu dengan serius.

"Sejujurnya tidak ditemukan tanda-tanda penyerangan di tubuh korban," ujar Detektif Kim.

"Tentu saja, tidak ada," sahut Joeun malas-malasan, "Dia mati karena keputusannya mengakhiri hidup, bukan dibunuh oleh seseorang,"

Pernyataan itu cukup mengejutkan. Detektif Kim tidak habis pikir dengan tabiat anggota keluarga korban satu ini. Bagaimana bisa mereka terlihat tidak menunjukkan perasaan berduka, ketika salah satu anggota keluarga mereka meninggal tidak wajar?

"Apakah kau menyayangi kakakmu?" tanya Detektif Kim tiba-tiba.

"Apakah ini bagian dari penyelidikan?" Joeun balas bertanya, ia terlihat enggan menjawab sesuatu yang mengandung privasi.

Singgah X [K-Pop Idol] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang