Bab 11. Pelukan Untuknya (Najwa POV)
"Fakhri bukan putra kandung kami Na". Kalimat pertama yang diucapkan Ibu langsung membuatku menegakkan duduk. Apa? Jadi ini yang Mas Fakhri bilang akan membuatku terkejut? Bukan terkejut lagi, aku rasanya hampir tidak bisa berfikir dengan baik setelah mendengarnya.
"Waktu itu, kami menemukan Fakhri kecil didepan tempat hiburan malam yang barusaja terkena razia karena banyak pengguna narkoba disana". Lanjut Ibu menatapku sendu, seperti membuka kembali kenangan lama yang ingin dikubur dalam. Sedangkan aku? Jantungku tiba-tiba berdegup lebih cepat, mataku memanas, dan aku benar-benar tidak bisa membuka suara.
"Ia menangis sendiri, duduk di trotoar padahal saat itu sudah menjelang tengah malam". Ucap Ibu sambil mengambil tanganku, menggenggamnya lembut.
"Setelah kami membawa Fakhri ke rumah, Fakhri pun menceritakan semua yang terjadi padanya saat itu". Pandangan Ibu kembali sendu setelah mengucapkannya.
"Bapak kandung Fakhri meninggal, entah memang meninggal atau di bunuh saat itu. Sampai sekarang Fakhri tidak pernah mengetahui kebenarannya". Ucap Ibu yang langsung membuat satu tetes air jatuh di mataku. Kenapa bisa seperti itu?
"Bapak Fakhri bukan orang baik, beliau banyak berhutang untuk judi, itu yang Fakhri jelaskan kepada kami". Lanjut Ibu mengeratkan genggamannya pada tanganku.
"Malam itu, banyak rentenir datang ke kediaman Fakhri dan Ibu kandungnya. Mereka mengatakan akan membawa Fakhri karena Bapak telah berhutang dengan menjaminkan Fakhri. Iya Na, saat itu Fakhri dijual oleh bapak kandungnya sendiri". Jelas Ibu yang langsung membuat hatiku sakit bukan main. Mas Fakhriku yang malang. YaAllah...
"Sampai sekarang Ibu masih sangat bangga dengan apa yang dilakukan Ibu kandung Fakhri saat itu". Ucap Ibu sambil mengelus punggungku karena saat ini aku sudah menangis tersedu.
"Ibu Fakhri merelakan dirinya untuk dibawa rentenir itu. Menggantikan Fakhri yang beliau bilang masih memiliki masa depan yang panjang". Jelas Ibu yang langsung membuatku mendongak menatapnya terkejut. Lalu apa yang terjadi dengan Ibu Mas Fakhri? Ya Allah, jangan bilang kalau....
"Sampai sekarang Fakhri tidak tahu dimana Ibunya, masih hidup atau tidak, dan ini adalah salah satu penyesalan terbesar kami karena tidak bisa membantu Fakhri lebih banyak". Ya Allah Mas...berat sekali Allah menguji kekuatanmu..Kenapa Ibu dan Bapak keduanya tidak jelas seperti ini...
"Nana...Ibu harap setelah kamu mendengar ini semua, kamu tetap percaya Fakhri ya. Walaupun dia pernah hidup di lingkungan seperti itu, seringkali melihat Bapak memukul Ibunya saat merampas uang hasil kerja Ibu, dia anak yang sangat baik Na". Satu fakta kembali terdengar sangat menyakitkan. Bagaimana bisa seorang anak kecil sudah disuguhkan dengan kekerasan yang dilakukan Ayahnya sendiri? YaAllah Mas...
"Satu tekad terbesar yang sudah dapat dibuktikannya dengan baik. Dia tidak pernah sekalipun membentak apalagi bertindak kasar terhadap keluarganya. Dia benar-benar tidak ingin menuruni sifat buruk Bapaknya. Dan Fakhri memang sangat jauh berbeda dari beliau. Ibu harap kamu tidak pernah ragu dengan Fakhri putra kami Na..". Pinta Ibu lembut, yang aku balas dengan anggukan mantap. Aku sangat mengenal Mas Fakhri, dan aku percaya dia tidak akan pernah seperti itu.
"Apa setelah kejadian itu, tidak ada satupun kerabat keluarga yang datang mencari Mas Fakhri Bu?". Pertanyaan pertama yang lolos setelah aku berusaha keras menghentikan air mataku.
"Saat Ibunya dibawa pergi rentenir. Satu-satunya keluarga yang dimiliki Fakhri adalah Kang Pram. Dia adik dari Ibunya, bekerja di tempat hiburan malam saat kami menemukan Fakhri. Dan saat itu Kang Pram ikut terkena razia sebagai pengguna narkoba, atau entah pengedar juga karena kami bahkan tidak lagi mengetahui dimana keberadaannya. Sangat sulit mengurus hal seperti itu karena kami bahkan tidak saling mengenal". Jelas Ibu yang kembali membuatku menangis. Jadi saat itu Mas Fakhri benar-benar sendiri. Tidak ada satupun seseorang yang dapat dijadikan tempat bersandar. Ya Allah Mas...
"Jangan pernah meragukan Fakhri bagaimanapun sejarah masa lalunya ya Na.. Ibu benar-benar berharap banyak sama kamu". Pinta Ibu setelah berdiri dari duduknya dan kemudian memelukku.
"Terimakasih Ibu sudah menolong Mas Fakhri saat itu". Ucapku di sela-sela air mata yang tak kunjung mau berhenti. Dan dapat kurasakan Ibu sedikit menegang karena responku, sebelum beliau mengangguk dan kembali mengelus punggungku, disetai senyum lega yang tidak dapat kulihat karena masih memeluknya.
"Terimakasih Ibu sudah membesarkan Mas Fakhri dengan sangat baik, Ibu juga merawat Mas Fakhri dengan kasih sayang yang Nana tahu itu pasti sangat tulus". Lirihku yang membuat Ibu terkekeh pelan.
"Bu...". Panggilku mendongak untuk menatap wajah cantik Ibu yang sangat menenangkan.
"Nana titip pelukan untuk Mas Fakhri. Terimakasih sudah bertahan, terimakasih sudah tumbuh menjadi sosok yang sangat baik. Dan....". Ucapku terputus karena agak malu saat ingin mengatakannya.
"Dan...?". Tanya Ibu menunggu kelanjutan ucapanku.
"Terimakasih sudah menemukan Nana dan memilih Nana untuk menemani sisa hidup Mas Fakhri". Ucapku dengan cepat sambil menyembunyikan wajah di perut Ibu karena sejak tadi aku memeluknya dengan masih duduk di atas kursi bar.
"Ibu pasti sampaikan pelukannya. Dan terimakasih sudah mau menerima Fakhri apa adanya, terimakasih karena tidak meragukan Fakhri setelah mendengar ini semua". Balas Ibu melepas pelukanku kemudian menatapku dengan senyum hangat penuh kelegaan.
"Ini titipan dari Fakhri, karena Ibu yakin dia pasti akan melakukan ini kalau sampai mendengar ucapanmu tadi". Ucap Ibu sebelum mencium keningku lama. Dan aku tersenyum dengan hati menghangat yang ku rasa sudah semakin menyukai Mas Fakhri. Atau malah sudah mencintainya...
Setelah menyuruhku untuk mengusap air mata dengan tissue yang sigap dibawakan oleh Mbok Karmila, akhirnya aku pun mengobrol santai dengan beliau sambil menikmati cemilan yang tadi diantarkan dengan mata sembab karena beliau pasti mendengarkan pembicaraan aku dan Ibu. Sedangkan Ibu izin untuk memanggil Mas Fakhri di kamarnya.### (Fakhri POV)
Aku barusaja menyelesaikan sholat dhuha saat pintu kamar diketuk pelan dari luar. Itu pasti Ibu yang akan menyampaikan bagaimana respon Nana setelah mengetahui semuanya. Dengan menarik nafas untuk menguatkan hati, akupun membuka pintu. Dan hal pertama yang aku lihat adalah senyum menenangkan Ibu dan mata sembab beliau yang tidak disembunyikan. Ya Allah, pertanda burukkah? Nana sudah pulang karena tidak mau menerima aku kah?. Dan semua prasangka burukku terjawab saat Ibu memelukku erat.
"Nana nitip pelukan buat Abang, katanya terimakasih Abang sudah bertahan, menemukan Nana, dan menjadikan Nana pilihan untuk menemani masa depan Abang. Manis sekali kan calon istrimu?". Ucap Ibu tersenyum manis setelah melepas pelukannya. Sedangkan aku tidak bisa membalas apa-apa saking terkejutnya. Nana bilang begitu? Serius? Ya Allah, jadi pengen cium kann..
"Sudah Ibu wakilkan. Pengen cium kening Nana kan?". Balas Ibu sambil menatapku geli yang langsung membuatku terkekeh pelan. Ibu sangat memahamiku ternyata. Haha
"Ibu pasti cuma cium Nana satu kali kan? Yah..padahal Abang pengennya tiga kali". Gurauku yang langsung dibalas Ibu dengan cubitan pelan diperutku. Bilangnya gurau, padahal mah bukan. Wkwk
"Sah kan dulu Bang. Kasih mahar dengan semua tabungan Abang, itu pun belum sebanding dengan harga Nana sih". Gurau Ibu sambil tertawa geli melihatku. Tuh kan, aku memang tidak ada apa-apanya dibanding Nana.
Dengan senyum lega dan hati menghangat, akupun menuruni anak tangga bersama Ibu yang kini menggangdeng tanganku seolah ikut menyalurkan kebahagiaan. Dan aku melihatnya disana, tengah tertawa riang bersama Mbok Karmila. Ya, dia adalah Najwa, yang kini berhasil memenuhi hatiku dengan cinta.
TBC
Semangat sekali aku nulisnyaa wekeke
Ditunggu bab selanjutnya yaa
Thanks sudah mampirCinta sekalii, dari Deean
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuasa-Mu
General Fiction#1 Dhuha (4 Juni 2020) #3 Fakhri (4 Juni 2020) #6 Sunnah (13 Juni 2020) Klise. Hanya kisah seorang dokter sholeh yang sedang dalam proses mencari pendamping. Lalu Allah mempertemukannya dengan seorang wanita sholeha seperti sosok yang selalu terucap...