Bab 10. Aku Percaya (Najwa POV)
Gerimis barusaja menghentikan rintiknya dan meninggalkan jejak basah di luar sana. Udara sejuk menerpa wajahku yang semakin membuat jantung ini berdegup. Menerawang dibalik jendela kamar, dengan gamis polos berwarna merah marun dan jilbab hitam bermotif bunga, akupun menghela nafas berkali-kali. Kurang dari 5 menit lagi mungkin Mas Fakhri akan sampai disini untuk menjemputku. Ya, kami akan mengunjungi kediaman orang tua Mas Fakhri untuk memperkenalkanku sebagai wanita pilihannya. Ya Allah, rasanya kemarin aku yang sangat tidak sabar waktu ini tiba, tetapi sekarang aku malah ingin menghilang karena belum siap mendengar penolakan. Masih tenggelam dalam lamunan yang melahirkan banyak prasangka, suara deru mobil yang kemudian disusul ketukan pintu dari arah luar kembali menyadarkanku. Bahwa hari ini harus aku lalui.
"Na, Fakhri sudah datang". Panggil Ibu berdiri di ambang pintu saat aku sedang memasukkan dompet dan ponsel kedalam tas hitam sederhana. Akupun membalas dengan senyum yang sepertinya terlihat agak kecut, karena kemudian Ibu menghampiriku setelah menutup pintu.
"Nana takut bu. Bagaimana kalau orang tua Mas Fakhri tidak menyukai Nana?". Ucapku saat Ibu menggenggam lembut tanganku sambil tersenyum menenangkan.
"Bagaimanapun nanti, kamu tetap Najwa putri Bapak dan Ibu. Berlakulah selayaknya kamu biasanya. Ibu percaya sama kamu, dan jangan lupa serahkan semuanya kepada Allah". Ucap Ibu yang langsung membuatku mengangguk dan tersenyum hangat sebelum kemudian memeluknya erat. Ya, Allah lah pengatur segala sesuatunya. Dan hamba mohon, lancarkanlah hari ini ya Allah.
###
Selama perjalanan, Mas Fakhri tidak henti menyuruhku tenang karena aku yang kedapatan menghela nafas berkali-kali. Dengan wajah tegang tanpa senyum, sepertinya kegelisahanku terlihat sangat jelas dan membuatnya agak sedikit khawatir.
"Kalau belum siap, kita bisa lain waktu ke rumah Ibu, aku ngga akan maksa kamu Na... mumpung belum sampai juga ini". Ucapnya menatap lembut ke arahku saat mobil sedang berhenti karena lampu merah. Kenapa ekspresimu harus se menenangkan itu sih Mas, kan aku jadi ngga enak. Jadi lemah maksudnya. Eh..duh
"Ngga apa-apa Mas?". Tanyaku hati-hati, dan dapat ku lihat dia agak terkejut atau kecewa mungkin? Tapi sedetik kemudian ekspresinya kembali hangat.
"Ngga apa-apa. Jadi kita mau jalan aja? Pengen kemana?". Tanyanya kemudian menepikan mobil untuk mengajakku berdiskusi. Dan kemudian aku memikirkan banyak hal. Mungkin kedua orang tua Mas Fakhri sudah menungguku, sudah menyiapkan beberapa hal, dan apa boleh aku seenaknya membatalkan janji begini? Sampai rumah juga pasti dimarahi Ibu. Egois sekali aku kalau begitu.
"Mas, aku cantik?". Tanyaku yang langsung membuat Mas Fakhri tertawa. Tuh kan jadi tambah insecure.
"Kalau itu yang kamu khawatirkan untuk bertemu Ayah dan Ibuku. Maka kekhawatiranmu sia-sia Najwa". Jawab Mas Fakhri terlihat gemas di sela-sela tawa gelinya.
"Percaya sama aku ya". Ucap Mas Fakhri lembut sambil mengusap puncak kepalaku. Dan bagaikan mantra yang Ia ucapkan, responku hanya menghela nafas untuk membulatkan tekad dan kemudian mengangguk sambil tersenyum ke arahnya.
30 menit kami menempuh perjalanan dan selama itu juga aku mulai tenang. Namun saat mobil Mas Fakhri memasuki rumah besar dan mewah dengan gerbang tinggi yang dijaga satpam, otot kakiku seperti kehilangan kekuatan, jantungku berdegup cepat, dan saat ini aku menyesal telah menyetujui untuk datang.
"Yuk Na". Ajak Mas Fakhri setelah memarkirkan mobil di depan pintu utama. Setelah menggumamkan bismilah berkali-kali, akupun ikut turun dan pandanganku langsung dimanjakan oleh taman bunga luas dengan dua kolam untuk ikan dan angsa di tengahnya.
"Nanti aku belikan kalau pandanganmu bisa se terpana itu cuma lihat angsa". Ucap Mas Fakhri sambil terkekeh geli, dan membuatku mencibir pelan. Norak banget ya aku? Gara-gara Ibu suruh aku jadi apa adanya nih jadinya begini.
"Jadi cemburu sama angsa. Sama aku aja kamu ngga pernah se takjub itu deh". Ucap Mas Fakhri saat kami mulai menaiki tangga untuk masuk rumah.
"Memangnya kamu mau aku berdosa gara-gara natap kamu gitu Mas?". Balasku yang kemudian dibalas dengan usapan gemas dikepalaku. Kebiasaan ya.
"Lhoo Abang, ngga boleh acak-acak jilbab gitu". Ucap seseorang yang tiba-tiba membuka pintu sebelum kami mengetuk.
"Gerak cepak sekali Bu, ngga sabar mau ketemu calon menantu ya". Balas Mas Fakhri yang langsung membuatku semakin salah tingkah. Awas ya nanti.
"Tentu. Hallo Najwa, Ibu sudah banyak mendengar tentang kamu. Fakhri sangat suka kamu lho Na". Sapa Ibu dengan begitu antusias saat aku mengucap salam dan menyalaminya. Beliau bahkan memelukku dan menuntunku memasuki rumah yang benar-benar membuatku kesulitan hanya sekedar untuk membalas ucapannya.
"Ayah Fakhri masih lari di GOR. Biasa ya faktor usia sudah mengharuskan kami rajin olahraga". Ucap Ibu sambil terkekeh kecil.
"Ayo duduk dulu sini, Ibu ambilkan minumnya". Titah Ibu yang langsung ku jawab dengan sopan.
"Nana boleh bantu Tante? Ke dapur?". Tanyaku ragu, yang langsung di sambut Ibu dengan antusias. Sebenarnya, aku juga akan menyerahkan bingkisan yang dari tadi aku bawa.
"Oh tentu, tapi dengan satu syarat". Ucap Ibu sambil tersenyum penuh arti sebelum melanjutkan ucapannya karena aku hanya menatap bingung.
"Jangan panggil Tante, harus belajar panggil Ibu dari sekarang. Ayoo". Lanjut Ibu kemudian menggamit lenganku menuju dapur. Sedangkan Mas Fakhri hanya tersenyum memperhatikan interaksi kami berdua.
"Nitip Nana ya Bu, jangan jahat sama calon istri Abang". Ucap Mas Fakhri sembari menaiki anak tangga yang kemudian dibalas Ibu dengan acungan jempol kearahnya. Sedangkan aku? Tentu saja salah tingkah mendengar ucapannya.
"Lhoo..ini calonnya Mas Fakhri? Cantik sekali Mbak masyaAllah". Sapa seorang wanita berusia diatas 50 tahun yang tergopoh-gopoh menghampiriku setelah mematikan kompor dan mengelap tangannya dengan celemek yang dipakai.
"Assalamualaikum Bu, saya Najwa..temannya Mas Fakhri". Sapaku salim dengan beliau yang langsung dibalas dengan anggukan antusias dan mata berbinar.
"Panggil saja Mbok Karmila, saya yang bantu Ibu sekeluarga dirumah ini". Ucap beliau yang ku balas dengan senyum, kemudian mengangsurkan paper bag yang kubawa sejak tadi.
"Titipan dari Ibu, Mbok". Ucapku yang dibalas beliau dengan anggukan seraya menerima paper bag tersebut.
"Sini Na, duduk dulu sini. Fakhri pasti lama di kamar. Lagi berdo'a minta dijodohkan dengan kamu pasti dia". Ajak Ibu menyuruhku duduk di stool yang ada didapur. Istilah lainnya meja bar yang ternyata sangat nyaman untuk nyantai seperti ini. Btw, sekarang pukul 10.00, dan sepertinya Mas Fakhri sedang sholat dhuha apabila ucapan Ibu benar adanya. Duh tambah suka lah sama Mas nya. Eh..wkwk
"Jadi Fakhri sudah bilang apa saja ke kamu?". Tanya Ibu setelah aku meminum jus alpukat yang disuguhkan beliau. Mas Fakhri bilang ke Ibu kalau aku suka jus alpukat ya? Bisa pas begini.
"Emm, kalau Nana mungkin akan terkejut hari ini setelah bicara dengan Ibu?". Ucapku agak ragu, yang dibalas beliau dengan kekehan ringan.
"Jadi kamu siap mau Ibu ceritakan sesuatu?". Tanya Ibu menatapku hangat. Kok jadi khawatir begini ya. Mau cerita apa Ibu?
"Kata Mas Fakhri, apapun yang akan Ibu ceritakan. Se terkejut apapun aku nantinya, aku harus tetap menikah dengan Mas Fakhri". Ucapku meyakinkan Ibu yang sepertinya ragu ingin memulai ceritanya. Sebelum kemudian Ibu mengangguk dengan senyum lega sebelum mulai menceritakan semuanya. Apapun yang akan aku dengar, aku pasti tetap percaya kamu Mas...
TBC
Bab 10 selesaiii
Lama tak jumpaa yaa
Semoga masih ada yang bacaa hewhew
Thanks sudah mampir kalau gitu,
Ditunggu bab selanjutnya yaa
Cinta yang amat besar, dari Deean
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuasa-Mu
Fiksi Umum#1 Dhuha (4 Juni 2020) #3 Fakhri (4 Juni 2020) #6 Sunnah (13 Juni 2020) Klise. Hanya kisah seorang dokter sholeh yang sedang dalam proses mencari pendamping. Lalu Allah mempertemukannya dengan seorang wanita sholeha seperti sosok yang selalu terucap...