Bab 19. Pak Camat (Najwa's POV)
Layla begitu antusias saat melihat kado dari aku dan Mas Fakhri, dia bahkan berkali-kali mengucapkan terimakasih saat mulai membuka packing stroller dengan senyum sumringah dan mengabaikan paper bag berisi baju yang aku pilih tadi. Dasar ya Mbak satu ini, tau aja mana hadiah yang harganya mahal.
"Na, bantuin dong... btw ini stroller yang juga bisa buat bouncer kan Ri?". Tanya Layla yang tadi sudah izin untuk memanggil Mas Fakhri dengan namanya, tanpa embel-embel Mas atau apapun. Latihan jadi adik ipar katanya.
"Kata Mbak kasirnya tadi sih gitu Mbak, mau aku bantu pasangkan?". Jawab dan tawar Mas Fakhri hendak mendekati aku dan Layla yang sedang sibuk mengurusi stroller baru ini.
"Oh tidak perlu, aku sudah mempelajari cara rakit stroller ini. Tadi malam aku sama Mas Ajri udah cari-cari di online shop. Rencana mau beli yang ini juga, tapi nunggu awal bulan depan. Eh malah dikasih kalian. Makasih lho ya". Ucap Layla yang tersenyum cerah ke arahku dan Mas Fakhri.
"Bukan dari kita, semua ini hanya dari Mas Fakhri". Timpalku sambil membantu Layla.
"Oh, berarti besok tante Nana belikan Aisyah hipseat ya". Celetuk Layla mengerling ke arahku, yang membuat Mas Fakhri langsung tertawa karena melihatku yang mencibir kepada Layla.
"Jadi mau dinamakan Aisyah Mbak?". Tanya Mas Fakhri yang masih duduk ditepi tempat tidur.
"Belum tau, aku dan Mas Ajri belum nemu yang pas. Mau rekomendasi?". Jawab dan tanya Mbak Layla sambil sesekali menoleh kearahku dan Mas Fakhri.
"Selama mengandung kalian mikirin apa sampai nama saja belum dapat?". Cibirku berdecak heran yang membuat Layla mendengus kesal.
"Gimana kalau diberi nama...". Ucap Mas Fakhri yang langsung aku potong dengan cepat. Apa-apaan mau kasih nama anak orang lain. Harus mengutamakan nama anak sendiri tau Mas.
"Ssst Mas". Potongku memberinya tatapan peringatan, yang ia balas dengan kernyitan bingung.
"Kita kan belum membicarakan tentang nama-nama anak. Siapa tau nama yang mau Mas sebutkan barusan, aku malah suka dan berniat nama itu mau buat anak kita. Jadi jangan kasih nama ke siapapun sebelum kita punya tabungan nama untuk anak-anak kita". Jelasku panjang lebar yang membuat Layla maupun Mas Fakhri menunjukkan ekspresi speechless dengan kata-kataku. Lho apa yang salah? Kan aku melindungi nama calon anakku.
"Yaampun Naaaa". Respon Layla setelah beberapa detik, dengan tawa geli yang terlihat begitu menjengkelkan. Sedangkan Mas Fakhri hanya tersenyum sambil menatapku geli.
"Oke sayang, jadi besok kita mau punya anak berapa? Dan namanya mau siapa aja?". Tanya Mas Fakhri dengan ekspresi geli yang masih terlihat diwajahnya, dan pertanyaannya barusan malah membuat Layla menutup telinganya dramatis.
"Plis plis jangan sweet gitu didepan mamah muda yang auranya sudah kalah dengan anak dimata suami". Ucap Layla yang membuat aku maupun Mas Fakhri tertawa.
"Lho kata siapa aura kamu kalah dengan anak kita?". Ucap Kak Ajri yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar dan langsung menciumi wajah Layla. Eh apaan sih mereka, bikin malu aja deh.
"Aduh Kak, nunggu kita keluar dulu dong kalau mau begitu". Protesku sambil mendorong Kak Ajri menjauh dari Layla.
"Yaampun cuma begitu, mohon bersabar ya kalian. Harus nunggu sah dulu biar jadi pahala". Balas Kak Ajri kemudian menghampiri box bayi dan menciumi putrinya.
"Yah, kita dibelikan hadiah banyak sama Fakhri". Ucap Layla memanggil Kak Ajri. Jadi sekarang mereka sudah memulai panggilan Ayah Bunda? Gemas sekali ya kalau jadi orang tua baru begini.
"Lhoo, ini kan stroller yang kita pilih semalam Bun? Ayah kira kamu sudah pesan duluan, ngutang ke Nana". Balas Kak Ajri kemudian membantu Layla yang masih memasang beberapa part dari rakitan stroller.
"Iyaa, baik sekali Fakhri kan Yah. Padahal harganya mahal sekali ini, sampai kita juga baru bisa beli nunggu bulan depan kan". Ucap Layla yang membuat Kak Ajri langsung berterimakasih kepada Mas Fakhri.
"Wah, makasih ya Ri. Besok kita pinjamkan ini kalau kalian punya anak". Balas Kak Ajri yang langsung membuat kami semua tertawa.
Di sela-sela obrolan santai kami, tiba-tiba terdengar suara Budhe dari ambang pintu."Na, itu Pak Camat Arman katanya mau ketemu". Ucap Budhe Asri dengan senyum yang terlihat sangat antusias. Wah Budhe ini betulan fans Arman garis keras.
"Lho kan tadi Nana bilang Budhe saja yang menemui, kan Budhe yang mengundang". Balasku dengan nada sinis seperti tadi. Ini aku tuh benar-benar sangat tidak menyukai Budhe Asri yang selalu seperti ini. Kan kesannya jadi tidak menghargai keberadaan Mas Fakhri.
"Fakhri, temani Nana menemui Arman ya. Na, kenalkan Fakhri sebagai calon suamimu. Nanti dia juga pasti langsung pamit pulang". Titah Kak Ajri yang membuatku langsung semangat 45. Dengan senyum cerah yang aku tujukan untuk Mas Fakhri, akhirnya akupun menariknya untuk menemui Arman di depan. Diikuti Budhe Asri yang menggerutu di belakang.
"Eh Pak Camat, akhir pekan tidak ada jadwal di kantor ya? Kebetulan sekali Pak Camat ke sini pas Nana juga disini". Sapa Nana sebelum mengajakku ikut bergabung di ruang tamu, bersama Arman, Bapak, Budhe Asri, dan Pakdhe Kinan.
"Hai Nana, lama tidak bertemu ya. Kamu tidak pernah membalas pesanku. Dan aku sudah bilang berkali-kali, jangan panggil aku Pak Camat. Panggil Aa' seperti dulu saja, jangan sungkan Na". Ucap Arman tersenyum mengerikan ke arahku. Dan saat aku menoleh ke arah Mas Fakhri, ternyata ia juga menatap Arman dengan sorot yang tidak aku pahami. Sedangkan Bapak terlihat menahan tawa memperhatikan interaksi kami bertiga.
"Pak camat, perkenalkan ini...". Ucapku langsung dipotong oleh Mas Fakhri yang mengulurkan tangannya dengan cepat.
"Saya Fakhri, calon suaminya Nana. Sebuah kesempatan yang luar biasa karena saya dapat bertemu pak camat disini". Ucap Mas Fakhri dengan senyum lembut yang terlihat agak dipaksakan. Cemburu kamu Mas? Yaampun Arman bukan apa-apa dibanding kamu. Hehe
Melihat Arman yang terkejut dan menuntut penjelasan kearahku, akupun mengangguk dan memegang lengan Mas Fakhri pelan.
"Iya Pak Camat, ini calon suami Nana. Jadi Nana harap, mulai sekarang hapus nomor Nana aja ya". Jelasku dengan senyum sopan yang membuat Bapak semakin menahan tawa, sedangkan Mas Fakhri terlihat lebih rileks dibanding tadi.
"Calon suami belum tentu jadi suami. Sebelum janur kuning melengkung, Arman masih berhak mendekati kamu Na". Celetuk Budhe Asri yang membuatku mendengus kesal. Habis sudah kesabaranku hari ini.
"Aduh Budhe jangan umpankan Nana supaya Andi jadi pegawai kecamatan deh. Suruh Andi ikut tes CPNS, atau melamar pekerjaan lain yang tidak harus memojokkan Nana seperti ini. Maaf sebelumnya, Nana sampai berbicara seperti ini karena kesannya Budhe tidak menghargai Mas Fakhri sebagai pilihan Nana". Ucapku yang membuat Mas Fakhri menggenggam tanganku lembut dengan senyum menenangkan yang selalu aku suka.
Kemudian setelah mendapat dehaman keras dari Bapak, Mas Fakhri pun melepaskan genggaman tangannya dan menunduk menahan tawa. Sebelum kemudian Bapak menjelaskan hubungan aku dan Mas Fakhri, juga menyuruh Arman untuk mencari gadis lain.
TBC
thanks sudah mampir
Jangan lupa vote nya ya
Ditunggu bab selanjutnyaaa
Cinta dari Deean
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuasa-Mu
General Fiction#1 Dhuha (4 Juni 2020) #3 Fakhri (4 Juni 2020) #6 Sunnah (13 Juni 2020) Klise. Hanya kisah seorang dokter sholeh yang sedang dalam proses mencari pendamping. Lalu Allah mempertemukannya dengan seorang wanita sholeha seperti sosok yang selalu terucap...