Chapter 6

330 40 0
                                    

Ark: Rumah Berhantu
Bagian 6

Apa yang dikatakan Wafy sebenarnya tidak salah, namun KURANG begitu tepat. Renjun, Jisung, Jaemin, Aqwal, Eka, Egi dan Warno keluar lewat lorong bawah tanah sejarak lima ratus meter dari rumah. Dari tempat mereka saat ini, mereka dapat melihat rumah kayu yang sudah menjelma menjadi tumpukan puing puing kayu terlalap api.

Sangat beruntung, di saat terakhir seperti itu, Eka menemukan pintu dek yang ternyata sebuah tangga menunggu ruang bawah tanah. Dengan sangat terburu-buru semua orang langsung mencemplungkan diri masuk ke dalamnya hingga jatuh bertumpukan. Tapi intinya mereka semua berhasil, saat ledakan terjadi semuanya sudah berada di dalam lorong.

Di dalam ruang bawah tanah itu, terdapat beberapa ruangan lagi. Namun kondisi di atas yang sudah porak-poranda, tidak ada yang berhasrat untuk menelusuri atau memeriksa salah satu pintu. Mereka hanya berjalan lurus menyusuri lorong yang akhirnya membawa mereka keluar dari rumah hingga sampai ke tempat ini.

"siapa mereka?" desis Egi, dari tempatnya saat ini dia bisa melihat orang-orang yang telah menembaki mereka dan membunuh keempat teman pendakiannya. "Kenapa mereka memberondong kita semua?"

"Apakah kalian punya masalah dengan orang orang itu?" tanya Warno sinis kepada Jisung, Jaemin dan Renjun. "Karena kami tidak punya urusan dengan mereka, pasti kalianlah yang mereka cari."

"Masalah apaan, ketemu aja belom pernah?" sahut Jaemin yang juga melihat ke orang-orang di kejauhan sana. Kini keadaan terbalik, kalau sebelumnya orang-orang di sana itu bisa melihat mereka yang berada dalam area penerangan perapian, kini sebaliknya merekalah yang bisa melihat orang-orang di dekat kobaran api sana.

Jisung dan Renjun menatap lurus ke depan sana. Mereka seolah tidak memperdulikan ocehan Jaemin dan Warno.

"Tidak mungkin ADA asap kalau TIDAK ADA apinya!" sentak Egi. "Mereka tidak mungkin menyerang kita semua kalau tidak ada alasan yang jelas. Apalagi mereka menggunakan senjata-senjata berat seperti itu, tentunya modal yang mereka keluarkan sangat mahal. Bukan seharga senapan angin saja..."

"Mereka semua tidak mungkin mengincar kamil" tegas Aqwal. "Kami hanyalah pendaki, tidak memiliki musuh-musuh atau apa pun. Apalagi berurusan dengan orang-orang seperti mereka."

"Ya tapi gue emang nggak kenal ama mereka, sumpah dah." sahut Jaemin apa adanya. "Jangankan punya urusan, tau mereka siapa-siapa aja, nggak."

"Sebaiknya kita cari tempat yang aman untuk bermalam," usul Renjun. "Kita tidak mungkin di sini, cepat atau lambat mereka pasti mencari kita. Keributan ini hanya akan merugikan kita semua."

Warno menggeleng dan berkata berat, "kami sudah memutuskan. Kami tidak akan kemana-mana.
Kami harus membawa jenazah orang-orang yang kami sayangi di sana. Kalian tahu, kami melakukan pendakian secara berpasang-pasangan dan mereka yang tewas di sana itu adalah pasangan-pasangan kami."

"Entah apa yang akan aku katakan kepada orang tua kekasihku? Apalagi aku yang berani menjamin keselamatan anak mereka dalam pendakian ini," desah Egi. "Mereka pasti membunuhku saat tahu puteri tersayang mereka tewas di sini."

Eka dan Aqwal yang juga kehilangan pasangannya hanya bisa diam. Mereka pun pasti dihadapkan akan pertanggung jawaban atas tewasnya pasangan mereka yang disebabkan alasan yang tidak mereka ketahui. Pendek kata, apa yang mereka rasakan saat ini sama seperti yang Warno dan Egi rasakan. Sakit, pedih, takut, marah dan berbagai rasa seolah saling tindih menindih.

"Kalau menurutku, tetap saja kita harus mencari tempat untuk bermalam. Urusan jenazah teman-teman kalian bisa kalian urus besok. Karena para pembunuh itu tidak ada alasan untuk membawa atau menguburkannya. Percaya kepadaku, mereka pun pasti membiarkannya sampai keesokan pagi," kata Renjun dingin.

Home (Neo Culture Tecnology Detektif)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang