Yuk, di-vote dulu, jangan lupa komen ya 🥰💚
Delapan jam perjalanan ditempuh menggunakan kereta dari Jakarta ke Yogyakarta. Sebagian besar waktu itu Naya gunakan untuk tidur. Dia benar-benar kelelahan mengurus semua tetek bengek pernikahannya. Belum lagi persiapan mental karena sadar sebentar lagi ia punya tanggung jawab baru sebagai seorang istri. Naya beruntung, selama sebulan terakhir, teman-temannya menemani Naya di Jakarta dan bantu ini-itu. Selama masa pingit dua minggu pun, mereka menemani Naya.
Rendra cuma ambil tiga hari cuti, Kamis, Jumat, dan Senin. Dia merasa bersalah karena tidak banyak turun tangan mengurus banyak hal. Alhasil, setelah resepsi selesai pada Sabtu malam, Naya jadi kelelahan. Belum lagi dia harus mengenakan gaun dan heels yang pastinya tidak senyaman piyama dan sandal jepit.
Rendra membiarkan Naya terlelap di bahunya. Jemari tangan mereka bertautan. Dengan tangannya yang lain, terkadang Rendra mengelus kepala Naya, menutup tirai kereta ketika ada cahaya matahari yang masuk dan membuat sang istri terganggu, atau menepuk-nepuk pipi Naya agar bangun untuk makan siang.
Pilihan Rendra untuk tidak meminta jatahnya sebagai seorang suami ternyata tepat. Dia tidak ingin membuat Naya makin kelelahan. Untung saja istrinya tidak membahas sedikit pun perihal malam pertama. Naya hanya membangunkannya untuk minta dipeluk selama sisa malam.
"Permisi," ucap Naya sambil melepaskan alas kakinya di depan pintu.
"Welcome home," ucap Rendra sambil tersenyum. "Maaf ya, masih di apartemen. Nanti kita beli rumah yang luas."
Naya mengangguk. Dia tidak masalah. Selama bisa menghabiskan waktu bersama Rendra, Naya sih mau-mau saja. Suaminya itu tidak punya cukup banyak waktu. Jadi, setiap momen kebersamaan mereka terasa langka dan berharga.
"Kopernya taruh situ aja, aku yang bawa," ucap Rendra ketika Naya mau menarik barang bawaannya ke dalam ruangan.
Naya menurut. "Aku mau ke toilet. Dimana, Kak?"
Rendra menunjuk sebuah pintu yang paling dekat dengan mereka. "Santai aja. Anggap rumah sendiri ya, Naya."
"Sini, Naya," panggil Rendra saat melihat sang istri sudah keluar dari kamar mandi. Rendra telah selesai menaruh dua koper besar dan satu koper kecil di ruang tengah. Pria itu sedang berdiri di depan jendela.
Naya berjalan menghampiri. "Ada apa, Kak?"
Rendra menarik tangan Naya pelan agar berdiri di sampingnya. Ia menunjuk pemandangan di bawah sana. Apartemen Rendra terletak di lantai tujuh, tidak terlalu tinggi, tidak terlalu rendah. Tepat di tengah gedung yang memiliki lima belas lantai.
"Aku suka ngeliatin orang-orang di bawah sana," ucap Rendra sambil menunjuk dengan tangan kanan. Tangan kirinya berada di pinggang Naya.
Dibandingkan melihat ke luar, Naya justru suka melihat raut wajah meneduhkan pria di sampingnya. Naya sempat mengira Rendra akan sangat kaku dalam skinship. Nyatanya tidak. Pelukannya, genggaman tangannya, kecupannya. Semua terasa sangat natural.
"Kalau di Jakarta, aku kan juga tinggal di apartemen bareng Mama dan Papa. Kayaknya aku jadi punya hobi baru lihatin orang-orang mini dari atas. Ya, bedanya sih, kalau apartemen Jakarta itu mewah dan luas. Kalau yang ini malah kayak kamar kos," Rendra terkekeh. Ia menoleh ke arah Naya sambil tersenyum. "Jadi lebih tenang lho. Kalau dari atas, semua gerakan mobil, motor, atau orang kayak melambat. Berasa main Lego."
Naya tertawa kecil. "Aku kira Kak Rendra cuma bisa mikir serius, ternyata bisa berkhayal juga."
Rendra ikut tertawa. Ia menggandeng tangan Naya dengan tangan kirinya. Pria itu membawa sang istri ke dalam satu ruangan lain di apartemen.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Good to be Home
Romance[COMPLETE] Katanya jodoh saling menemukan. Katanya jodoh itu sudah diguratkan sebagai jalan hidup. Lantas, bagaimana jika pernikahan Naya dan Rendra dihadapkan pada ancaman sebuah perceraian? Apakah mereka bukan pasangan yang tepat? Bukan takdir ya...