Elena sengaja membuat game tanya jawab untuk mengenal Ernest lebih dalam. Karena dirinya masih gengsi jika bertanya langsung kepada Ernest.
"Hal apa yang belum bisa lu miliki sampe sekarang?"
"Hmmm.." Ernest berpikir sejenak. "Keknya online nya sih. Soalnya online mu bukan untuk ku." Lanjut Ernest terkekeh.
"Ya gimana bisa online nya buat lu? Perasaan nya aja bukan untuk lu ko." Balas Elena santai.
Ernest tersenyum tipis mendengar ucapan Elena barusan. Entah perasaan nya sedikit terlukai meski yang di ucapkan Elena benar.
Lagi pula Ernest belum yakin dengan perasaan nya sendiri, di satu sisi memang dirinya sedikit nyaman pada Elena.
"Iya gimana perasaan nya milik gue? Kalau di perjuangin aja engga di anggap, malah ngehindar."
"Kaya siapa?"
"Kaya lu lah nyet!"
"Weh ko ngegas, mas!"
"Ga ngegas, ga ambyar cuk!"
"Slogan dari mana itu?"
"Dari orang yang tersakiti lah."
Elena tertawa kecil. "Hukum alam sih! Kalau engga disakitin orang, ya tanpa sadar kita yang menyakiti orang itu." Ucapnya santai.
"Udah tau sakit, masih aja dipertahanin. Mau sampe kapan lemparin kode terus? Mau sampe kapan berjuang sendirian? Mau sampe kapan takut kehilangan dia yang ga peduli sama hadir lo? Sampe kapan mau mengorbankan perasaan sendiri pada seseorang yang hadirmu saja dianggap menganggu hidupnya!? Gobloknya anda memang tulus." Ucap seseorang yang baru saja muncul dihadapan Ernest dan Elena.
Elena dan Ernest saling bertatapan selama beberapa detik, lalu pandangan nya beralih ke orang yang berdiri tepat di depan mereka berdua.
Kadang Ernest heran, kenapa abangnya selalu muncul disaat seperti ini mirip hantu saja.
"Ngapain, bang?"
Darwin tak langsung menjawab, ia memilih duduk di sofa.
"Baca qoutes." Jawab Darwin jujur.
"Kirain nyindir." Celetuk Elena.
Darwin memandang Elena sekilas, lalu kembali fokus pada ponsel nya.
"Dikit sih, tapi kalau ngerasa ya syukur." Balas Darwin dengan santai.
"Eh, Darwin. Lu udah denger gosip?" Tanya Elena.
"Gosip apaan?"
"Katanya lu sering banget baperin cewek di sekolah."
"Beberapa dari cewek jaman sekarang tak menyenangi pria baik. Konon katanya, fakboy lebih menantang kan. Nah jadi gue lagi mencoba."
"Jadi fakboy ko bangga!" Ketus Elena.
"Karena cewek engga adil! Giliran cowok banyak temen cewek dibilang fakboy, coba giliran cewek? Punya temen cowok dibilang cuma temen aja ga lebih!" Ucap Darwin tak terima.
"Heh! Cowok juga ga akan paham!" Balas Elena tak mau kalah.
"Ga akan paham? Jelasin!"
"Cowok mana paham kalau cewek pas malem! Nangis sendiri jam 3 pagi, ngerasa ga ada yang peduli, pengen teriak tapi ga mampu," Elena terdiam sejenak. "Pengen cerita tapi tau tetep ga bakal ada yang ngertiin dan ujungnya nangis berusaha biar ga ada suara nya." Lanjut Elena meluap-luap.
Darwin tak bisa berkutik dengan ucapan Elena barusan. Sementara Ernest hanya menghela nafas melihat mereka berdua.
"Ngapa jadi debat dah?!" Ucap Ernest heran.
"Noh abang lu duluan."
"Enak aja, tuh cewek lu aja baperan."
"Lu juga sama bisa nya baperin doang."
"Sembarangan."
"Dasar cowok egois!"
"Lu lebih egois nyet!"
"STOP!! Kalian tuh berdua sama-sama egois, udah deh gausah nyalahin gender. Udah sifatnya manusia punya egois, saling memahami aja." Ucap Ernest tegas.
"Tumben otak lo bener, dek." Balas Darwin terkekeh.
Ernest memutar bola mata malas. "Dari lahir otak gue udah bener! Cuma males aja dipake nya."
Seketika Darwin dan Elena tertawa bersamaan.
"Nah gitu akur, sesama ga punya otak harus saling memahami." Celetuk Errnest.
"Kurang aja, gue punya otak." Balas Elena ketus.
Darwin mengangguk setuju. "Elena punya otak, cuma kebanyakan disimpen di dengkul aja."
"Minta dihujat emang nih cowok." Sinis Elena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Couple [On-going]
HumorErnest tidak tau apa yang sedang di rencanakan oleh nenek nya sehingga memisahkan dia dengan kedua saudara kembarnya. Ernest pindah ke salah satu SMA di kota Bandung. Namun dia tidak menyangka akan bertemu dengan salah satu teman masa SMP nya. Dia b...