Prolog

924 31 2
                                    

Hati siapa tidak sedih melihat putrinya akan pergi dalam waktu yang lama. Dalam hati seorang Ibu adalah apapun yang terbaik bagi anak-anaknya, walau nyawa taruhannya sekalipun tetap ia lakukan. Perjuangan seorang ibu memang layak untuk dimuliakan, layak untuk dihormati.

Sama halnya dengan Ibu Sutripah, hari ini putrinya akan pergi untuk mengadu nasib diKota. Mengingat Kota adalah tempat orang-orang kebanyakan hidup dalam kebebasan. Layaknya seorang ibu pada umumnya dia tidak akan mengijinkan putrinya untuk pergi ke Kota.

Namun apalah daya ekonominya yang mulai turun dia tidak sanggup lagi untuk membiayai segalanya. Terpaksa dia melepas anak gadisnya mengundi nasib diKota untuk menstabilkan perekonomian keluarga.

Awalnya memang sang ibu tidak merelakan putrinya pergi namun berkat niat sang anaknya yang ingin sekali pergi agar bisa membantu perekonomian apalah dayanya. Dengan berat hati dirinya pun akhirnya melepaskan putrinya.

Tapi bagaimanapun tekad anaknya sungguh sangat optimis membuat dirinya tak kuasa untuk menghentikan niat anaknya yang sudah berbinar bahagia.

"Sido reng Kota nduk?" (Jadi ke Kota Nak?)

"Inggih Bu, Ipah pokok e Janji kaleh Ibuk, Ipeh mboten ajeng aneh-aneh." (Iya Bu, Ipah pokoknya janji sama Ibu, Ipeh tidak akan aneh-aneh)

"Sing nganut karo bibekmu, ojo nyusahke bibekmu, pokok e sing iso jogo awake dewek nduk. Nek ono opo-opo langsung ngomongi bibekmu opo langsung ngomongi ibuk yo nduk." (Yang nurut sama bibimu, jangan menyusahkan bibimu, pokoknya yang bisa jaga diri Nak. Kalau ada apa-apa bilang sama bibimu atau bilang sama Ibu ya.)

Saat Ipah akan beranjak dia melihat ayahnya, dia pun pamit ke ayahnya untuk meminta doanya.

"Pak, Buk Ipah badhe pamit nggeh, dongakke mawon Ipah mangke saged mbeto arta kathah damel Ibuk lan Bapak." (Pa, Bu Ipah pamit, doakan saja Ipah nanti bisa bawa uang banyak buat Ibu dan Ayah.)

"Dongane Ibuk lan Bapak ora mandek nduk go kwe, kwe sing ngati-ati. Eling nek wes sukses ojo klalen nang kene on bapak ibumu sek nunggu kwe." (Doanya Ibu dan Ayah gak berhenti buat kamu, kamu yang hati-hati. Ingat kalau sudah sukses jangan lupakan ayah sama Ibu mu disini yang menunggumu)

"Nek wes tekan ngebel yo nduk!"(Kalau sudah sampai, telfon ya Nak!)

Setelah acara sungkem-sungkeman gadis bernama Suripah itu segera memasuki kereta yang akan membawanya menuju kota. Dia duduk disamping jendela dipandanginya wajah kedua orang tuanya.

Saat acara pamitannya tadi memang sang ibu dan ayahnya sama sekali tidak mengeluarkan air mata kesedihannya tapi ia melihat saat keretanya mulai berjalan air mata sang ibunya tumpah sama seperti dirinya.

Dia memang tidak menangis saat berpamitan dengan keluarganya, begitu sampai didalam kereta dan mulai perlahan meninggalkan mereka, pecah sudah tangisannya.

"Adek kenapa nangis?" seorang wanita paruh baya duduk disamping Sarifah.

"Gak... Apa-apa Bu."

"Mau pergi kemana?"

"Ke Kota Buk."

"Sendiri?"

"Iya Buk."

"Kerumah sodara atau liburan?"

"Bekerja Bu." Ibu itu menatap Sarifah dari bawah sampai atas.

"Adek kaya masih anak sekolahan udah bekerja? Bekerja sebagai apa? Akuntan, kerja kantoran, atau apa?"

"Iya Bu kelas 2 SMA, Alhamdulillah Bu dapat bekerja jadi pembantu." Ibu itu seperti memandang rendah Sarifah. Tapi bagaimana pun Sarifah yang anaknya gak suka mementingkan omongan orang lain apalagi orang itu adalah orang asing dia tak memusingkan tatapan sang wanita paruh baya itu.

"Anak sekolahan masih jaman sekarang udah bekerja sebagai pembantu. Huh kalau anak ibu, ibu gak biarin anaknya pergi bekerja." sinisnya terhadap Sarifah.

Sarifah hanya tersenyum kepada ibu yang tengah menatapnya sinis tersebut. Bagaimanapun Sarifah juga manusia yang mempunyai hati, dia juga merasa tersindir.

Tapi bagaimanapun dirinya pergi ke Kota kan untuk membantu ayah dan ibunya dalam perekonomiannya, dia gak boleh putus asa hanya karena satu omongan merendahkan ibu itu, apalagi ibu itu adalah orang asing baginya.

***

SARIPAH (P/F) _ Slow Update !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang