بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
Kebanyakan manusia percaya, menilai sesuatu dengan apa yang ia lihat, bukan apa yang ia dengar.
~N a l u r i~
🌼🌼🌼
Deru mesin terdengar menampakkan sebuah mobil terparkir di halaman depan. Dari jendela lantai dua, lebih tepatnya kamarnya ia bisa melihat seseorang yang ia tunggu telah datang. Segera ia menuruni anak tangga, membuka pintu kemudian menyambut kedatangannya.
"Loh kok barengan?"
Satya hanya mengangguk setelah itu melesat pergi ke kamarnya. Badannya hangat tapi ia merasakan kedinginan. Ia ingin segera membersihkan tubuhnya lalu tidur sampai besok pagi bila perlu.
Salwa hanya melihatnya tanpa terusik. Kemudian ia menoleh pada Arga yang sedang meneguk kopi.
"Nanti kamu kasih tau Satya ya, mau warna apa," ucapnya sembari membenarkan lengan kemejanya.
Salwa mengernyit. "Mau ngapain."
"Beli mobil." Ia bercakap singkat kemudian menenteng tas kerjanya dan mulai menaiki anak tangga.
Salwa menganga. Baru kemarin beli mobil sekarang mau beli mobil lagi. "Salwa enggak om?" Iseng ia melontarkan pertanyaan itu.
"Iya boleh. Habis kakak kamu." Setelahnya ia pergi membiarkan Salwa yang mematung binggung dalam duduknya.
Padahal ia hanya iseng tak berniat meminta sama sekali. Namanya ini rejeki nomplok, kalau tidak iseng-iseng berhadiah. Seperti baru mengenal Arga saja, ia tak bisa menolak permintaan mereka berdua. Bahkan hal tak berguna sekalipun.
"Kak bisa bantu budhe gak?" Daripada mengigit kuku sambil menatap kosong keluar jendela lebih baik ia membantu menyiapkan makan malam.
Memang ia tak memanggil budhe dengan sebutan bibi. Dirinya sudah menganggap budhe keluarga sendiri, bahkan dipanggil dengan sebutan non saja tidak ingin, katanya agar bisa lebih menghargai.
Kakinya mulai melangkah ke dapur, tangannya meraih pisau dan talenan. Tapi yang di maksud bukan begitu.
"Bukan bantuin masak kak. Tapi bantu mikir mau masak apa." Salwa mengangguk kemudian berpikir sebentar. Dengan cepat ia mendapatkan masakan apa yang cocok untuk hari ini. Tak heran, sesosok remaja dengan kepintaran diatas rata-rata itu cepat dan tangkas jika memikirkan sesuatu. Tidak seperti Satya. Memang ia cepat menyimpulkan ide, tapi selalu terburu-buru tak akurat, kadang juga melenceng.
"Ayam kecap aja gimana?"
"Siap laksanakan!"
Kemudian ia beralih duduk. Mengetuk-ngetuk jarinya diatas meja bar. Lagi ia mangut tak jelas. Kemudian ia berinisiatif untuk membantu memasak.
"Aku bantuin ya." Kini tangannya sudah merebut spatula dari tangan budhe.
"Loh jangan nanti tangannya kasar. Saya saja, kakak duduk aja nunggu masakan matang."
Kelopak mata Salwa membulat sempurna. "Gak usah alay ya budhe, masak bantuin kayak gini aja bikin tangan kasar."
"Yasudah nanti kalau tangannya kasar jangan salahin budhe ya." Lebih baik menyerah dari pada nanti berlanjut hingga masakan tak matang-matang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Naluri
Storie d'amorePerubahan judul! Judul awal it's not wrong Ketika mimpi berubah menjadi kenyataan dengan skenario yang berbeda. Raga yang sama namun nama, sifat dan penampilan berbeda. Tapi apa rasa itu sama? Maksudnya getaran yang dirasakan Satya malam itu. *** G...