#NP Lauv - Enemies
Ooh, why do we, we have to be
Enemies, enemies?
Forget all the scars, all that they are
Memories, memories
Bukannya memakan ayam dan kentang goreng di hadapannya, Bintang malah sibuk mencuri pandang pada Gia yang lahap menghabiskan makanannya. Rasanya sudah seabad berlalu sejak ia bisa melihat pemandangan ini lagi di depannya.
"Jadi," Gia mengambil sepotong paha ayam dan menggigitnya, "Kak Bintang apa kabar?"
Percik kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba Gia terlihat di wajah Bintang. Pria itu berdehem pelan. "Saya baik."
"Kenapa bisa bareng sama Bang Gino?" tanyanya lagi sembari masih mengunyah.
"Saya kerja di kantor Gino sekarang."
"Oh?" Gia meletakkan ayamnya, semua tindakan ini tidak lepas dari mata Bintang yang kini terang-terangan memperhatikannya. "E-Commerce?"
"Thought I'd try something different."
Gia mengangguk. "Oh iya, sorry buat Sabtu malem kemarin, saya lagi banyak pikiran, jadi agak pffffuuuh!" ia memutar jari telunjuknya di samping kepala.
Bintang tak menjawab.
"Saya udah selesai makan nih, Kak Bintang gimana?"
Menyadari nada halus di ucapan Gia, Bintang langsung bergerak dari posisinya dan membereskan kotak-kotak makanan di meja. "Saya juga udah selesai."
"Eh, eh, gak usah diberesin! Nanti saya panggil OB aja, ga enak sama Kakak!" tangan Gia bergerak menahan.
Bintang yang tidak tahu harus berbuat apa pun akhirnya meletakkan kembali kotak yang sudah dipegangnya. Ia mengelap tangannya dengan buru-buru, tidak ingin membuat Gia semakin kesal dengan keberadaannya. "Kalo gitu, saya balik dulu. See you soon," katanya saat menutup pintu ruangan Gia.
Gia duduk melengos di sofa, sama sekali tidak menikmati makan siang ini. Kini ia tak punya energi yang cukup untuk lanjut kerja keras sampai malam, di luar itu, ia juga tak ingin. Pikirannya kini bersarang pada pria yang wangi parfumnya masih sama dengan saat pertama kali Gia melihatnya, delapan tahun lalu.
Bintang adalah orang yang cukup praktis dan lurus hidupnya, tidak banyak hal-hal aneh yang dilakukan pria itu di masa muda. Mungkin satu-satunya hal yang tidak masuk akal yang pernah ia lakukan adalah menerima ajakan Gia untuk berpacaran.
Mungkin satu-satunya juga yang dia sesali sampai sekarang, desah Gia.
***
"Kak Bintang!" Gia melambaikan tangannya saat sosok yang daritadi ditunggu akhirnya muncul juga. Gadis itu kemudian tergesa-gesa keluar dari mobil Gino, bahkan tanpa menutup jendela yang tadi di bukanya.
Bintang yang baru mau memasuki gedung dengan membawa tumpukan print out skripsinya pun berhenti dan menunggu Gia yang sedang berlari kearahnya itu. "Pelan!"
Gia sedikit ngos-ngosan dan mengipas-ngipas wajahnya. "Mau submit skripsi ya, Kak?" tanya Gia yang dijawab dengan anggukan oleh Bintang. "Kalau gitu aku temenin ya! Yuk!"
Bintang tidak menolak dan hanya berjalan di belakang Gia. Setelah panas terik bulan Agustus saat Gia pertama kali menghadangnya di depan kantin Fasilkom, mereka sudah beberapa kali menghabiskan waktu bersama. Gia seperti selalu tahu jadwal konsul Bintang dan sudah menunggu di depan ruangan dosen saat ia selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Not
ChickLitGia mendorong Bintang jadi bersandar di sofa dan naik di atas tubuh pria itu, "Kamu, lebih suka bahasa Indonesia atau..." Tangannya bermain-main di balik kaus Bintang, "bahasa tubuh?" Bintang kembali menelan ludahnya sendiri, dadanya bergemuruh kenc...