Senin, 26 November 2018
Tiada revolusi yang benar-benar bergelora kalau rakyatnya itu tidak menjalankan revolusi dengan anggapan romantik. Tiada revolusi dapat mempertahankan jiwanya jikalau rakyat tidak bisa menerima serangan musuh dan menangkis serangan musuh serta menghancurleburkan serangan musuh sebagai romantiknya revolusi. Tiada revolusi dapat membangun secara hebat kalau dentamnya pembangunan itu tidak dirasakan oleh rakyatnya sebagai romantik. Ya, inilah iramanya revolusi. Anggapan inilah yang bawa aku pada romantiknya revolusi. Bahkan romantiknya perjuanganku sekarang.
Aku sempet dialog sama Bung Karno diluar alam jasmaniku. Bung Karno bilang, "Rasa romantiknya perjuangan adalah sumber kekuatan abadi daripada perjuangan". Memang, segala pasang surutnya perjuangan, segala pukulan yang kita berikan dan kita terima adalah iramanya perjuangan.
Pengalaman masa lampau, pahit getirnya ngasih inspirasi buatku untuk netepin direction di masa depan. Kata Bung Karno, revolusi meminta tiga syarat: romantik, dialektik, dan dinamik. Tanpa romantik, revolusi tidak akan tahan. Tanpa dialektik, rakyat tidak akan bersatu dengan rising demandsnya revolusi, revolusi akan ambles bagaikan pasir yang ambles- di tengah-tengah sungai. Tanpa dinamik, revolusi akan mandeg di tengah jalan.
Bagiku perjuanganku dalam meraih impian juga perlu tiga syarat: romantik, dialektik, dan dinamik. Tanpa romantik, perjuanganku tidak akan bertahan. Tanpa dialektik, aku nggak bakal nyatu sama tuntutan perjuangan. Perjuanganku ambles di tengah jalan. Tanpa dinamik, perjuanganku bakal mandeg. Tiga syarat ini yang selalu menjiwaiku di setiap perjuangan hidupku.
Aku inget waktu SD, gagal di lomba LCC tingkat kecamatan. Kebetulan sekolah ngasih tau H-2 sebelum pelaksanaan LCC. Konyol banget lah. Akhirnya kalah. Abis pengumuman itu, perasaanku kayak takut. Takut dimarahi ibu. Apalagi dia kan pengennya kalo bisa juara. Abis itu, pernah gagal audisi story telling. Aku akui aku kurang PD pas nyeritain di depan juri. Itu audisi pas aku kursus bahasa Inggris di LIA.
Sekarang, entah kenapa, aku pernah pas ditinggal pergi sama orang tuaku, aku kayak termotivasi banget sama Bung Karno dan Hitler biar bisa pidato. Itu aja habis denger mereka pidato di youtube. Rasanya aku pengen meluapkannya gara-gara terngiang-ngiang pidato mereka. Abis itu, aku coba deh pidato di atas tempat tidur. Walaupun cuma sebentar aja.
Awalnya sempet grogi. Trus nyoba lagi akhirnya bisa walaupun beberapa kata doang. Aku kebayang seolah-olah aku dihadapan rakyat yang beribu-ribu (weiiss kayak presiden aja nih.. hahaha). Cuma masalahnya aku tuh, kalo mau ngomong bingung aja mau ngomong apa. Beda sama nulis. Tapi aku berusaha biar bisa ngomong.
Next, sekolah SMA, aku cuma dapet juara Harapan I Lomba Debat Bahasa Inggris. Aku sadar, kalo aku kurang penguasaan kosa kata serta kurang meyakinkan juri. Karena penyampaianku kurang greget. Makannya itu, aku nyoba latihan pidato di rumah.
Then, lulus SMA. Disinilah jalan berliku harus kulalui. Sejarah adalah arus yang tidak bisa kita hentikan dan akan terus berjalan. We shall not leave our own history (Kita tidak boleh meninggalkan sejarah kita sendiri). Ujian demi ujian menghampiri. Dari depan ia seperti palu godam yang menggebukku. Dari belakang, ia seperti cambuk. Aku terus bertahan dan menerimanya.
Tahun 2016, aku gagal di tes rikmin akhir Akpol. Padahal aku udah sampe 10 tahap mulai dari tes administrasi, ukur tinggi dan berat badan, kesehatan, psikotes, jasmani, akademik, kesehatan II. Setelah gagal, aku putuskan untuk nganggur dulu. Sebenarnya sih, aku juga sempet ndaftar di Polines jurusan Teknik Telekomunikasi dan Teknik Informatika lewat Ujian Mandiri.
Nah pas pengumuman itu sebenarnya aku nggak keterima pas pengumuman. Cuma beberapa hari berikutnya, aku ditelpon sama kampus kalo ada yang mengundurkan diri. Nah dari peserta yang nggak keterima itu, aku peringkat 1. Ya udah aku ditawarin. Pihak Polines bilang kalo keterima harus mbayar UKT 3,5 juta. Tapi aku nggak ngambil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Kupu-Kupu
Non-FictionBerawal dari kegagalan penulis yang diperankan oleh "Aku" dalam seleksi penerimaan polisi, IPDN dan TNI AD membuatnya harus kuliah demi mengisi kekosongan waktunya. Lahir dari ayah yang berprofesi sebagai polisi membuat penulis termotivasi untuk men...