2. Sabar yang Tiada Batasnya

3.1K 233 13
                                    

Hi Hello!

Happy reading and enjoy yerobun!

***

Oke, gue nurutin semua maunya Wira, mulai berdamai dengan pak Satria. Gue akan dengan ikhlas menerima semua perlakuan dia yang seenaknya, karena yeah ini salah gue juga sih. Stock kesabaran sudah gue timbun selama weekend kemarin, pokoknya harus ikhlas dan sabar biar engga capek.

"Ca, kamu lulus mata kuliah gambar arsitektur kan?" Tanya pak Satria

Gue mengangguk

"Gambar teknik?" Tanya dia sekali lagi

Gue mengangguk, ya kalau gue engga lulus mana bisa gue ngontrak mata kuliah lansekap.

"Dapet nilai apa?" Tanya dia

"A." Jawab gue singkat

"Dosen pengampunya engga kamu sogok 'kan?" Matanya menatap gue tajam, tersenyum miring melihat gambar yang sedang gue asistensikan. Sial, senyum meremehkan itu lagi.

Sabar, stock kesabaran gue baru diisi kemarin full, sabar, tahan, bisa yok bisa Ca.

"Sogok? Wah bapak meragukan kredibilitas dosen disini ya? Parah banget sampe mikir dosen di sini bisa disogok buat sebuah nilai." Dan ucapan gue kali ini langsung mendapat tatapan tajam menusuk dari pak Satria, akhirnya senyum meremehkan itu hilang.

"Terus kenapa gambar kamu masih kayak anak TK? Simbol pohon kayak gini?" Dia menunjuk gambar kerja gue "Gambar kamu ini bikin saya sakit mata. Udah mau tingkat akhir, kok gambar masih kayak anak TK."

Gue menghela nafas panjang, berusaha kembali memasok kesabaran yang stocknya mulai menipis. Gila, padahal rencananya stock kesabaran ini buat seminggu, tapi kalau udah berhadapan sama pak Satria engga bisa kayaknya "Ini kan buat asistensi pak, nanti juga dicoret-coret lagi."

Dia semakin menatap gue tajam "Kamu ngapain hidup? Nanti juga mati."

SABAAAAR CACA SABAAARRR!!! Emosi gue udah sampe ubun-ubun, tapi gue tahan. Coba deh pegang puncak kepala gue, panas banget ini nahan emosi biar engga meledak. Gue kembali menarik nafas dalam dan membuangnya secara perlahan "Baik pak, untuk asistensi selanjutnya akan saya perbaiki lagi gambar kerjanya."

Dia mengagguk "Walaupun buat asistensi, tetep gambarnya harus jelas. Ini aja saya engga tau pohon yang kamu gambar namanya apa. Kamu tau emang?" Dia melirik gue sekilas selagi melihat siteplan yang telah gue buat "Ini juga simbol perkerasan apa? Gak jelas, gimana saya bisa komentar dan ngasih kamu masukan."

Oke, oke. Ini emang salah gue, bahan buat asistensi ini gue siapkan cuman semalem doang. Pikir gue yang penting ada buat bimbingan, biar dapet masukan.

Tapi gue lupa kalau dosennya pak Satria, manusia paling perfeksionis di jurusan ini dengan komentar pedasnya yang bikin perut gue mules sekaligus kepala gue kepanasan menahan emosi.

***

"HAAAAAH GUE MAU MARAAAHHHH." Gue masuk ke kelas selanjutnya, duduk di sebelah Wira yang sekarang berada di tengah gue dan Anya.

"Kenapa lagi? Gimana bimbingannya?" Tanya Anya

Wira sih diem aja, dia kayaknya udah tau apa yang mau gue omongin.

"Buruk." Kepala mulai gue rebahkan diatas meja berbantal tangan yang gue lipat "Gila ya mulutnya pedes banget ngalahin ayam ricis level 5."

"Mana coba lihat siteplan lu." Wira mengambil siteplan yang udah gue gulung di dalam genggaman gue, kemudian membukanya dan tawanya langsung meledak "Pantes aja pedes, gambar lo kayak gini? Lo ngerjain sks ya?"

Grow Up: MercusuarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang