21 a. Mahasiswi Ambis

2.2K 186 17
                                    

Hallo!

/

/

/

/

/

***

-Caca

Hidup kadang emang suka ngajak bercanda.

Gue engga pernah ngerti gimana takdir bekerja. Engga pernah paham, tapi kali ini gue rasanya pengen marah dengan apa yang terjadi.

"Caca, coba kamu ngajuin dosen pembimbingnya Pak Satria ya. Bimbingan saya 'kan kamu sama Nadia, dia udah ngajuin dospem duanya ke Bu Della, jadi kamu Pak Satria aja ya. Saya mau anak bimbingan saya dospem duanya beda. Atau boleh ke bu Sri," kata Bu Yani saat aku tadi pergi ke ruangannya untuk meminta persetujuan beliau sebagai dosen pembimbing gue.

Dan lagi, ketika gue memutuskan untuk menyudahi apa yang gue rasakan ke Pak Satria, semesta seolah melarang. Takdir malah menghadirkan Pak Satria di kehidupan gue, lagi.

"Bu Sri ya, Bu? Saya coba ajukan ke Pak Satria aja ya, Bu."

"Iya, Pak Satria aja. Saya nyambung sama dia, jadi in shaa allah engga akan terjadi gap di tengah jalan."

Andaikan Bu Yani merekomendasikan dospem dua siapa saja selain Bu Sri, gue akan pilih dospem itu daripada Pak Satria. Bu Sri bukan tipe dospem yang mudah ditemui di kampus dan enak diajak diskusi, mau bimbingan aja janjiannya harus lewat e-mail­ dan tiga hari sebelum bimbingan.

Kalau dosen pembimbingnya kayak gitu, makin molor aja tugas akhir gue ntar. Udah mah gue orangnya malas, butuh di push.

Jadi ya mau engga mau Pak Satria yang jadi dospem dua gue.

Bismillah aja, semoga hati gue dikuatkan.

***

"Gimana, non, aman?" tanya Anya begitu gue gabung sama mereka—Wira Anya—di kantin fakultas.

Gue mengangguk lesu, duduk di sebelah Wira, dan bersandar di bahunya, "doain gue semuanya."

"Lebay lu," sahut Wira.

"Lo engga ngerti ada di posisi gue, Wira, rasanya anjim banget."

"Pak Satria udah setuju jadi dosen pembimbing lo?" tanya Anya, "pasti cek cok dulu sebelum dapat tanda tangannya.

"Engga, kok. Aman."

"Tumben."

Gue mengangkat kedua bahu, "mungkin dia capek cekcok sama gue."

"Udah kayak rumah tangga aja bahasanya cekcok," sahut Wira.

Gue memukul kepala belakang Wira, "ngomong pake adab."

"Udah, Ca, no worries kita bakal bantu lo buat engga baper lagi sama Pak Satria. Ingat dia itu dosen lo, dia baik karena emang seharusnya dosen seperti itu," ucap Anya.

Gue berdecih, "harusnya lo ngomong kayak gini tuh dari kemarin-kemarin. Gue udah terlanjur nyemplung baru ditolongin."

"Ya daripada kita biarin lo tenggelam," timpal Anya.

"Tapi emang lo bisa biasa aja sama dia, Non? Gue lihat-lihat lo malah semakin deket sama Pak Satria, sering datang seminar bareng, engga ngajak-ngajak lagi," ucap Wira menerawang.

"Ya karena bahasannya nyambung sama tugas akhir gue, ngapain ngajak lu."

"Ya kan ilmu mah engga ada yang sia-sia, Non."

Grow Up: MercusuarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang