Hallo
/
/
/
/
/
***
-Caca
Kata Kak Senja—psikolog yang beberapa kali aku temui—kita manusia adalah makhluk istimewa dari makhluk lainnya, karena kita diberi akal untuk berfikir dan perasaan. Katanya, karena kita diberikan akal, kita harus bisa mengolah segala rasa yang kita rasakan.
Ketakutan dan kecemasan yang aku rasakan bisa direkontruksi menjadi ego positif yang bisa dijadikan pelindung dan penenang dalam hidupku. Aku tidak perlu menghindar dari rasa takut dan cemas, karena itu hal wajar, aku harus berjalan beriringan sebagai bentuk pendewasaan.
Selain menerima, kita tidak boleh terus-terusan fokus dengan rasa takut, itu sama saja kita ngasih makan rasa takut sendiri. Kata Kak Senja, hal itu bisa dialihkan dengan perasaan bersyukur dengan apa yang ada di sekeliling kita.
Hal yang sangat gue syukuri akhir-akhir ini adalah gue dikelilingi oleh orang-orang baik di masa sulit yang sedang gue alami. Anya, Wira, Fatthan, dan tentu saja Pak Satria. Mereka seperti kasatria baja hitam di hidup gue, selalu ada kalau gue membutuhkan mereka.
"Ca, jadwal sidangnya dibuka kapan lagi emang?" tanya Wira.
Karena Wira dan Anya sudah resmi menjadi alumni, biasanya kita mengadakan pertemuan di coffee shop tempat biasa kita nugas. Wira udah kerja sebagai anak magang di konsultan arsitektur, begitupun Anya. Selagi menunggu wisuda, mereka memutuskan jadi anak magang untuk menambah pengalaman.
"Sebulan lagi, Wir, gue panik banget, belum dapat tanda tangan Pak Satria."
"Loh bukannya lo harusnya minta tanda tangannya Bu Yani dulu baru Pak Satria ya, Non?" tanya Anya.
"Bu Yani mau tanda tangan kalau Pak Satria udah Acc gue. Masalahnya lo tau sendiri dia mau semuanya perfect." Gue menghempaskan seluruh gambar kerja hasil bimbingan dengan Pak Satria, masih banyak revisi yang harus gue kerjakan, sedangkan kalau mau ngejar sidang bulan depan, gambar ini harus udah fix biar bisa dibikin maketnya.
Wira ketawa, "Pak Satria kayaknya semasa kuliah jadi anak kesayangan Bu Yani deh, gila keputusan lo buat sidang atau engga aja yang nentuin dosen pembimbing dua."
Gue manyun, "kan gue bimbingan ke Bu Yani bagian konsep, utilitas, lebih ke teori. Nah kalau ke Pak Satria lebih ke teknis kayak gambar kerja. Bu Yani dia engga mau pusing cek kelengkapan gambar kerja gue, jadinya dia bebankan ke Pak Satria. Jadi ya gitu, dia nunggu Pak Satria acc gambar kerja gue dulu."
"Padahal 'kan acc dulu aja engga sih? Biar bisa masukin berkas, kelengkapan gambar kan bisa nyusul sampe nunggu waktu sidang," ucap Anya.
Gue mengangkat ke dua bahu, "gatau. Kayak lo orang gak tau aja wataknya Pak Satria."
Wira terkekeh, "ajak nonton lagi aja, Non, terus kelar nonton langsung lo sodorin lembar persetujuan."
"Engga ya anjir, gue kapok nonton sama, Pak Satria. Giliran dia yang pilih film, gue yang bosen. Giliran gue yang pilih film, dia yang banyak tanya selama nonton. Emang engga cocok gue sama dia tuh."
Anya berdecak, "engga cocok, tapi kemarin begitu disamperin ke rumah langsung baper. Ngaku, lo udah searching konsep nikah lo sama dia 'kan?"
Gue memukul jidat jenong Anya, "mana sempat, sebelum mikirin konsep udah langsung diingetin sama Pak Satria buat injak bumi. Alias gak usah halu lo, anying."
KAMU SEDANG MEMBACA
Grow Up: Mercusuar
ChickLit[END] Engga pernah terbayangkan di dalam hidupnya harus berurusan dengan dosen hits yang digandrungi oleh mahasiswi seangaktannya, karena kecerobohannya. Ketenangan dan kedamaiannya lenyap dalam hitungan detik. "Welcome to the hell, Ca." -Caca- "Her...