Hello!
/
/
/
/
/
***
-Satria
Di saat satu temanku yang lain memanfaatkan momen malam minggu ini untuk bertemu dengan sang kekasih, beda cerita dengan Jeral dan aku. Berhubung kita berdua masih senang menikmati kesendirian ini, maka kita memutuskan untuk menghabiskan malam minggu berdua.
Jijik engga?
"Je, tumben lu engga mabok malam minggu gini sama circle lu?"
"Lah, lu 'kan mau dateng ke rumah gue. Kalau gue pergi, lu mau curhat sama Mami gue?"
"Emang gue ke sini mau curhat? Engga kali, gue bosen aja diem di kosan."
Jeral berdecak sebal, dia sibuk dengan ps-nya. "Gimana lu sama si Caca?"
"Ya engga gimana-gimana, kata lu gue harus berusaha nerima apa yang gue rasakan."
"Dengan cara?"
"Berhenti denial."
"Terus apa yang lo dapet?"
Aku menghela nafas, "banyak tanya lu kayak pembantu baru."
Akhir-akhir ini aku memang berusaha menerima apa yang aku rasakan ke Caca, berhenti denial kalau aku ternyata nyambung dan nyaman ngobrol sama Caca.
Caca dia bisa mengimbangi apa yang kurang dari aku. Aku tipe orang yang lebih suka mendengar dan mengamati, sedangkan Caca dia lebih suka bercerita dan mengekspresikan perasaannya. Terbukti siapa yang confess duluan. Karena Caca orangnya blak-blakan main hajar aja, gimana ke depannya ya gimana nanti.
Sedangkan aku seseorang dengan plan yang harus tersusun rapih, engga bisa action dulu baru mikir gimana nantinya. Tapi harus dipikirkan dulu ke depannya bakal kayak gimana, baru action.
Perbedaan yang harusnya bikin kita berdua engga nyaman, tapi ntah kenapa perbedaan kali ini malah terkesan saling melengkapi. Kalau nongkrong sama Caca, suasananya lebih hidup aja.
"Dia beneran jadi anak bimbingan tugas akhir lo, Sat?" tanya Jeral.
Aku mengangguk, mengamati Jeral yang sedang fokus bermain game pes. Mau join tapi pikiranku sedang tidak fokus. "Iya sama gebetannya."
"Oh, ada cowok yang dia suka selain lo?" tanya Jeral.
Aku mengangkat kedua bahuku, "engga tau deh. Asumsi gue aja, tapi kayaknya lakinya emang tertarik gitu sama Caca."
Selama Caca menjalani tugas akhir, dia jadi anak baik yang rajin bimbingan, walaupun tiap bimbingan selalu bareng Fatthan udah kayak kembar yang engga bisa dipisahkan. Emangnya engga bisa gitu bimbingan masing-masing? Buang-buang energi aja, jadi harus membimbing dua anak sekaligus dalam sekali bimbingan.
"Yaudah deh bagus, dia mending sama yang seumuran aja. Jangan nyari yang tua, ribet ngimbangin, apalagi kalau udah tua terus gengsinya setinggi langit, tinggalin aja."
Aku menatap Jeral tajam, "kok gitu?"
"Ya gue lebih mendukung Caca berakhir sama siapapun yang bisa menghargai perasaannya dia, bukan cuman berlindung di balik kata nyaman. Cupu."
"Lo lagi ngomongi gue?"
Jeral mengangkat bahu cuek, "ya bagus kalau lo merasa, bodoh."
Aku mendengus sebal, memutuskan bergabung bermain pes dengan Jeral. "Gue cuman beda 5 tahun sama dia anjir, Je. Engga setua itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Grow Up: Mercusuar
ChickLit[END] Engga pernah terbayangkan di dalam hidupnya harus berurusan dengan dosen hits yang digandrungi oleh mahasiswi seangaktannya, karena kecerobohannya. Ketenangan dan kedamaiannya lenyap dalam hitungan detik. "Welcome to the hell, Ca." -Caca- "Her...