***
- Caca
Penyesalan memang selalu datang di akhir, kalau di awal namanya pendaftaran.
Gue memandang Anya dan Wira bergantian dengan tatapan penuh memelas, sesekali meringis saat kepala gue berdenyut nyeri karena efek setelah mabuk masih bisa gue rasakan.
Anya daritadi duduk di kasur, bersedekap, memandangaku dengan tajam, "siapa yang nyuruh lo mabuk sih?" tanya Anya.
Wira daritadi diem aja, sibuk membuka bungkusan bubur yang dia bawa pagi ini. Kondisi Wira dan gue benar-benar berbeda 180 derajat, dia udah wangi, rapih, dan ganteng. Sedangkan gue masih beler, mata bengkak entah kenapa, dan baju bau alkohol.
"Ya engga ada," jawab gue seadanya.
Anya mendengus sebal, "Ca buat apa ada gue sama Wira sih, kalau ada masalah tuh ya diomongin sama kita, biasanya juga gitu 'kan."
Aku meringis, Anya kalau jiwa ibu-ibunya keluar pasti bawel. Maklum, dia anak pertama, walaupun kadang dia paling manja di antara kita berdua, Anya seringnya jadi penengah kita berdua dan bertindak lebih dewasa. "Ya penasaran aja gimana rasanya mabuk."
Aku bangkit dari dudukku di atas kasur, ikut bergabung dengan Wira yang sudah mulai memakan buburnya lesehan di bawah.
"Lo tau engga sih apa yang lo lakuin pas mabuk kemarin? Inget gak kemarin lo mabuk ngapain aja?" tanya Anya, masih belum menyerah buat ngomelin gue.
Gue mengangkat kedua bahu, paling meracau engga jelas dan itu bodo amat orang gue mabok berdua sama Wira, "lo ikut mabuk juga Wir?" tanya gue.
"Tipsy dikit, lo anjir engga ada akhlak nyuruh gue minum, untung gue masih bisa ngontrol diri."
"Engga ya Wir, lo juga sama-sama mabuk." Akhirnya Anya ikut bergabung dengan kita berdua, "untung ada PAK SATRIA yang nganter kalian berdua." Ntah apa maksudnya Anya menekan kata PAK SATRIA sambil melirik gue dengan sinis.
Tunggu.
Wait a moment.
Apa katanya? Pak Satria? Jadi pas gue mabuk ada Pak Satria? Itu artinya Pak Satria lihat gue mabuk?
"APA? PAK SATRIA YANG NGANTERIN GUE SAMA WIRA?" tanya gue, membanting sendok bubur karena tiba-tiba perut gue mual. Ntah efek mabuk, atau karena mendengar pernyataan Anya. "Kok bisa?" tanya gue lirih.
Gue menatap Wira menuntut sebuah penjelasan, dia cuman geleng-geleng kepala. Tatapannya seolah mengatakan, 'tamat sudah riwayat lo.'
Perlahan gue melirik Anya dengan tatapan khawatir, yang ditatap masih menatap gue sinis. "Gue engga macem-macem 'kan selama mabuk?" tanya gue dengan suara lirih.
Wira menghela nafas, Anya memilih tidak menjawab dan kembali memakan buburnya.
Gue merana, gue langsung lemas seketika. Apa yang gue lakukan pas mabuk? Apakah melibatkan Pak Satria? Lagian Pak Satria ngapain ada pas gue lagi mabuk sih.
Tamat sudah riwayat gue.
***
Kalau lagi ada masalah engga usah lari ke alkohol, engga menyelesaikan masalah. Masalahnya cuman hilang sementara, begitu kembali sadar masalah tetap ada dan mungkin bisa jadi lebih ruwet dari sebelumnya.
Itu yang gue rasakan kali ini. Gue benar-benar menyesal kenapa ngajak Wira mabuk sampai hangover dan melakukan hal-hal bodoh. Rasanya kalau gue engga takut mati, gue mau terjun aja dari jembatan pasopati.
Tadi pagi akhirnya Anya dan Wira menceritakan apa yang terjadi selama gue mabuk. Setiap cerita yang keluar dari mulut mereka berdua, rasa-rasanya nyawa gue berkurang setiap persennya. Malu, kesal, dan ingin menangis semuanya bercampur menjadi satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grow Up: Mercusuar
ChickLit[END] Engga pernah terbayangkan di dalam hidupnya harus berurusan dengan dosen hits yang digandrungi oleh mahasiswi seangaktannya, karena kecerobohannya. Ketenangan dan kedamaiannya lenyap dalam hitungan detik. "Welcome to the hell, Ca." -Caca- "Her...