2. Suasana Pagi

7.7K 1.3K 126
                                    

Pagi ini aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Jika di masa depan aku biasa bangun pukul lima pagi, kini aku sudah bangun pukul empat pagi, bahkan sebelum ayam berkokok.

"Nak Lana mau ikut Arif?" tanya Bu Surnani kepada ku.

"Ke mana, Bu?"

"Keliling Batavia, biar kamu tau daerah ini."

Aku membulatkan mataku, keliling Batavia bukankah sama saja seperti berkeliling Jakarta? Hmm, aku sih sudah pernah berkeliling Jakarta, tapi kalau berkeliling kota ini dengan nuansa kolonial, ya tentu saja belum pernah.

"Boleh deh, Bu. Lana mau ikut Mas Arif," jawabku atas pertanyaan beliau.

Entah dari mana ia datang, tau-tau Mas Arif sudah ada di ambang pintu kamar. "Arif gak pergi hari ini, Bu. Besok baru perginya. Hari ini Arif mau ketemu dulu sama para krijger lainnya."

"Oh, ya sudah. Besok kamu ajak Lana pergi keliling Batavia ya, Rif," kata sang ibu.

Mas Arif mengangguk, kemudian ia menatapku. "Kamu kenapa, Lan? Kok diam saja?"

"Itu ... krijger artinya apa?" tanyaku yang tak paham dengan kata yang diucapkan Mas Arif tadi.

"Krijger itu sebutan untuk teman seperjuanganku, Lan."

"Maksudnya?" balasku tak mengerti dengan penjelasan dari Mas Arif.

"Ya itu sebutan untuk para pejuang, teman-teman seperjuanganku melawan penjajahan ini."

Ah, aku paham. Rupanya arti dari krijger adalah pejuang. Aku baru ingat kalau sekarang aku tengah hidup di tahun 1928.

"Bu, Lan, aku pamit dulu ya. Arif pulang nanti sore," ucap Mas Arif berpamitan kepada kami.

"Iya, Rif. Hati-hati."

Aku mengamati langkah Mas Arif yang berjalan keluar dari rumah. Ini bahkan belum jam enam pagi, tapi kenapa Mas Arif sudah pergi sepagi ini?

Bu Surnani tersenyum ke arahku, beliau mengajakku pergi ke dapur untuk membantunya membuat sarapan. Kami merebus telur asin untuk sarapan pagi ini. Sudah lama sekali aku tidak makan telur asin, mungkin terakhir kali sewaktu aku masih SMP.

"Nak, suka telur asin?" Bu Surnani bertanya kepada ku.

Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan beliau. "Suka, Bu."

Kami menikmati sarapan pagi ini sembari duduk di halaman rumah. Ya walaupun rumah ini berukuran sangat kecil, setidaknya pemandangan di sekitarnya cukup menyejukkan mataku. Aku sudah lama sekali tidak melihat sawah sejak aku pindah ke Jakarta. Di Malang pun jarang ada sawah yang aku jumpai karena aku tinggal di Kota Malang, dekat dengan Alun-alun Tugu. Jika aku ingin melihat sawah, aku biasanya akan meminta kakak sepupuku untuk menemaniku pergi berkeliling Malang.

Omong-omong tentang kakak sepupuku, aku jadi teringat dengan janjinya. Kakak sepupuku yang bernama Ayu itu pernah berjanji akan membelikanku es krim di salah satu toko yang terkenal di Malang, yaitu Toko Oen saat aku kembali ke Malang nanti. Tuh kan, aku jadi rindu dengan kota kelahiranku itu.

Tak lama kemudian, Bu Surnani masuk ke dalam rumah, sementara aku masih setia menikmati pemandangan pagi ini di halaman rumah.

"Dodot! Jangan lari! Cepetan pulang!" teriak seorang ibu yang sepertinya adalah tetangga di sini. Ibu itu berteriak kepada seorang anak laki-laki yang aku perkirakan usianya seumuran denganku.

"Gak mau, Nyak! Dodot mau main, masa dari tadi Dodot bantuin Nyak bebenah rumah mulu? Kan udah, Nyak!" jawab anak laki-laki itu.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang