"Nak Lana, bangun. Matahari sudah bersinar terang."
Aku membuka setengah mataku, dengan wajah khas orang baru bangun tidur, aku menoleh ke arah Bu Surnani. "Jam berapa ini, Bu?"
"Sudah jam sebelas siang, Nak. Ayo bangun," jawab Bu Surnani, beliau mengelus kepalaku lembut. Mataku langsung terbuka lebar mendengarnya. Jam sebelas siang? Berapa lama aku tertidur? Kenapa tak ada yang membangunkanku?
Di pintu kamar, aku dapat melihat Mas Arif berdiri sembari menyenderkan tubuhnya pada tembok, raut wajahnya menunjukkan bahwa ia juga baru saja terbangun dari tidurnya. "Lana, kamu baru bangun juga?"
"Iya, tidurku nyenyak banget, Mas." Dengan jujur aku menjawab pertanyaannya.
Mas Arif mengangguk, ia lalu berjalan ke arah bilik mandi. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, ia sudah kembali lagi ke pintu kamar dan berkata, "Setelah aku mandi, kamu langsung mandi ya. Aku mau mengajakmu pergi hari ini."
Pergi? Ke mana?
"Mau ke mana toh, Rif?" Sebelum aku bertanya, Bu Surnani sudah lebih dulu mewakiliku. Mas Arif tak menjawabnya, ia hanya mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum, menunjukkan deretan giginya. Bu Surnani menggeleng-geleng melihat respon sang putra.
Setelah Mas Arif selesai mandi, aku pun mandi dan bersiap untuk pergi. Entah ke mana kami akan pergi, aku pun tak tahu. Mas Arif nampak rapih dan gagah dengan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam yang membalut tubuhnya. Ia menyisir rambutnya dengan model yang tak biasa. Melihat betapa stylish-nya Mas Arif sekarang, aku jadi ingin sedikit berias. Tetapi, aku tidak mempunyai satu pun perias wajah di sini. Seandainya aku ada di masa depan, aku pasti sudah membongkar pouch makeup-ku untuk berdandan.
"Lana, sudah selesai? Yuk kita jalan!" ucap Mas Arif. Aku mengangguk pelan, tanpa basa-basi ia langsung meraih tanganku dan menggenggamnya. Kami menaiki sado dan turun di sebuah tempat yang kami sempat kunjungi kemarin.
Ya, Toko Emas Koh Sicheng.
"Syukurlah tokonya buka," kata Mas Arif dengan senyum sumringah, "Lan, ayo masuk."
Aku mengekor di belakangnya, tetapi dengan sigap ia menarikku dan memintaku untuk berjalan di sampingnya. Seorang laki-laki bertubuh tinggi menyambut kedatangan kami, wajahnya terlihat sangat tampan! Kulit cerahnya benar-benar menarik perhatianku.
"Arif, selamat datang. Mau beli apa?" ucap laki-laki tersebut.
"Hoi, Koh Sicheng. Hmm, mau lihat-lihat dulu, boleh?" Mas Arif dan laki-laki tadi saling berjabat tangan, kemudian laki-laki tersebut mengangguk dan mempersilakan Mas Arif untuk melihat-lihat dulu barang yang dijual di toko emas ini.
Ah, ternyata laki-laki itu adalah Koh Sicheng. Aku baru mengetahuinya. Selama ini aku hanya tau namanya tanpa mengetahui rupanya. Ada banyak sekali perhiasan di toko ini, mulai dari cincin, gelang, kalung, dan lainnya. Mas Arif tengah sibuk meminta rekomendasi kepada Koh Sicheng, sedangkan aku tengah melihat satu-persatu perhiasan yang ada di sini. Sebuah kalung emas menarik perhatianku, bentuk liontinnya adalah matahari. Kalung itu terlihat sangat indah, aku menyukainya. Ingin rasanya aku membelinya, tetapi aku tidak memiliki uang. Seandainya kalung ini dijual di masa depan, tentu aku akan membelinya!
Karena aku takut tak bisa menahan nafsuku untuk membelinya, aku pun berpindah tempat untuk melihat-lihat deretan gelang yang dijual di sini. Tak lama kemudian, Mas Arif memanggilku, "Lana! Ayo!"
Aku menghampirinya, di tangan Mas Arif terdapat sebuah bingkisan kecil. Sepertinya ia sudah membeli barang yang diinginkannya.
"Habis ini mau ke mana, Mas? Pulang?" tanyaku setelah kami keluar dari toko milik Koh Sicheng itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]
Historical Fiction[Dream World] 15+ Jika semesta membawamu kembali untuk melihat sejarah perjuangan bangsamu, lantas perubahan apa yang akan kamu lakukan untuk negeri ini? "Masa depan bangsa ini ada di tanganmu, Lana." 25 Mei 2020 - 28 Oktober 2020