11. Am I Wrong?

3.9K 934 66
                                    

Seharusnya pagi ini aku tengah tersenyum sumringah sembari membaca surat yang diberikan oleh Mas Arif. Namun, sejak beberapa hari yang lalu, Mas Arif tak lagi mengirimkan aku surat. Huft, sebenarnya ada apa sih dengan Mas Arif? Kenapa dia berubah secepat itu?

"Nak Lana, jangan bengong. Ayo ikut Ibu ke pasar," ucap Bu Surnani yang sudah siap untuk pergi berbelanja.

"Iya, Bu." Aku bangkit dari tempatku duduk, kemudian mengikuti langkah Bu Surnani menuju pasar.

Pagi ini Bu Surnani mengajakku pergi ke pasar. Ini adalah pertama kalinya aku pergi ke pasar setelah beberapa bulan tinggal di sini. Aku jadi penasaran, apakah pasar di tahun 1928 sama seperti pasar di tahun 2020? Kami berjalan melewati jalanan yang biasa kami lalui untuk pergi ke sungai, tetapi di pertigaan kedua, kami berbelok ke arah kanan. Sudah dua puluh menit kami berjalan dan sekarang aku mulai merasa haus. Ketika aku menoleh ke arah Bu Surnani, beliau masih bersemangat, bahkan aku tidak melihat raut wajah kelelahan atau kehausan dari beliau.

"Nak Lana haus, ya?" Beliau berkata kepadaku yang aku balas dengan senyum samar-samar.

"Kalau kamu haus, bilang saja ya, Nak," sambung beliau, aku kembali membalasnya dengan senyuman.

Setelah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit untuk berjalan, kami pun sampai di sebuah pasar yang cukup ramai. Menurutku, pasar ini tidak jauh berbeda dengan pasar tradisional di masa depan. Aku menjumpai banyak penjual kue dan sayur-sayuran. Tak lupa, ikan dan aneka ragam seafood pun ikut meramaikan. Aku melangkah di belakang Bu Surnani, mengikuti langkah beliau menyusuri pasar ini. Ada beberapa petugas yang berjaga di sekitar pasar, mungkin semacam Satpol PP.

Di tanganku kini ada banyak sayur, aku menawarkan diri untuk membantu membawakan barang belanjaannya. Saat kami hendak pulang dari pasar, sebuah toko menarik perhatianku. Toko itu menjual pakaian dengan berbagai model, tapi yang menarik perhatianku adalah meskipun model pakaiannya bermacam-macam, motif yang ada pada pakaian-pakaian tersebut sama, yaitu garis dan kotak-kotak. Aku tak tahu kenapa semua motif pakaiannya sama, mungkin sang pemilik toko terobsesi dengan motif garis dan kotak-kotak.

"Bu? Lana? Habis dari pasar?" kata Mas Arif, kami tak sengaja bertemu di jalan saat hendak pulang.

Bu Surnani tersenyum melihat putra sulungnya. "Iya, Rif. Kamu mau ke mana toh?"

"Pulang, Bu. Urusan Arif sudah selesai," jawab sang anak. Mas Arif melirik ke arah barang belanjaan yang ada di tanganku, ia lalu berkata, "Butuh bantuan, Lan?"

Aku reflek menggelengkan kepalaku. "Gak, Mas. Aku bisa bawa sendiri. Terima kasih untuk tawarannya."

"Oh, ya sudah."

Kami bertiga akhirnya berjalan bersama menuju rumah. Aku berada di tengah-tengah Bu Surnani dan Mas Arif. Rasanya canggung berada di samping Mas Arif, padahal sebelumnya aku kan sering berada di sampingnya. Mungkin karena belakangan ini kami tidak saling bertegur sapa satu sama lain. Tangan kananku yang semula membawa sayur-sayuran yang diikat kini terasa ringan, Mas Arif tanpa aba-aba langsung meraihnya. Ia mengambil barang belanjaan yang ada di tangan kananku dan membawanya.

"Mas?" ucapku yang kaget dengan tindakannya. Bukannya merespon ucapanku, Mas Arif justru mengalihkan wajahnya. Ia membuang napasnya kasar.

Sial! Aku benci ada di situasi ini! Mas Arif masih mendiamiku, meskipun tadi ia sempat mengambil alih barang belanjaan yang aku bawa. Bu Surnani sepertinya sadar dengan atmosfer yang penuh kecanggungan ini, beliau mengajakku berbincang selama kami berjalan menuju rumah. Ya setidaknya perbincangan kami cukup menyelamatkan aku dari kecanggungan ini ....

"Bu, Lana mau mandi dulu, ya," ucapku sesampainya kami di rumah. Aku ingin mandi untuk menyegarkan pikiran dan tubuhku.

"Ya. Mandi duluan saja, Nak," balas beliau. Tanpa basa-basi aku langsung pergi menuju bilik mandi.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang