20. Perempuan Lain

3.6K 787 115
                                    

Terhitung sudah dua minggu sejak perihal weton itu terjadi, hubunganku dan Mas Arif pun mulai membaik seperti sebelumnya. Ia jadi semakin romantis, bahkan Mas Arif jadi sering sekali memberikanku surat! Bukan hanya di pagi hari, tetapi juga saat malam ketika aku hendak beristirahat.

Huh, sempat-sempatnya ia membuat surat sebanyak itu!

Kini aku dan Mas Arif tengah berada di Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia atau Kantor Dewan Kehakiman pada Benteng Batavia. Kata Mas Arif, tempat ini adalah tempat atau instansi naik banding pidana yang melibatkan VOC dan pegawainya. Di masa depan, aku pernah berkunjung ke tempat ini! Seingatku di tahun 2020 bangunan ini adalah Museum Seni Rupa dan Keramik. Kami datang ke tempat ini karena Mas Arif ada janji dengan temannya.

"Duh, sabar ya, Lana. Temanku sepertinya sedang di jalan," ucap Mas Arif seraya menatapku tak enak. Ia terus-menerus meminta maaf karena telah membuatku menunggu lama.

"Chat aja, Mas," balasku sembari terkekeh. Setelah aku jujur kepadanya tentang asal-usulku, kami sering bergurau dengan menggunakan jokes yang ada di masa depan.

Tentu saja aku yang mengajarinya!

Tak lama kemudian, seorang pria dengan pakaian serba hitam datang. Ia menenteng sebuah tas yang tidak asing bagiku. Aku menatap tas itu lamat-lamat dan menyadari bahwa tas tersebut adalah tas hitam yang pernah dibawa oleh Mas Arif!

"Nuhun euy (Terima kasih ya), Li!" kata Mas Arif kepada temannya itu. Ia mengambil alih tas yang dibawa oleh pria tersebut.

"Sami-sami, (Sama-sama), Rif," jawab pria itu.

"Eh, Ruli, berkas yang kemarin ada di dalam sini kan?" Mas Arif bertanya kepada temannya sembari memeriksa isi tas secara sekilas.

"Ada, Rif. Sudah diperiksa kok, beberapa dokumen sisa Kongres kemarin sebagian aku simpan di situ," jelas pria bernama Ruli itu. Mas Arif mengangguk, kemudian berpamitan kepada Ruli.

Kami pun pulang dengan menggunakan trem, tak ada percakapan penting yang bisa aku ceritakan selama di perjalanan. Hanya saja Mas Arif terlihat lebih waspada sekarang. Matanya selalu mengamati sekitar dengan tajam, tangannya menggenggam erat tas hitam yang baru saja diambil olehnya.

Rasa penasaran yang pernah aku rasakan dulu pun kembali menyeruak. Aku jadi kembali bertanya-tanya apa isi tas tersebut sebenarnya? Seingatku, Mas Arif pernah bilang kalau isi tas tersebut adalah rencana pemberontakan, tapi pemberontakan apa? Sesampainya kami di rumah, aku langsung menodong Mas Arif dengan sebuah pertanyaan. "Mas, sebenarnya rencana pemberontakan yang ada di tas itu untuk apa sih? Sudah beberapa bulan berlalu sejak terakhir kali aku melihat tas hitam itu, tapi sampai sekarang aku masih gak tahu jawabannya. Apa Mas Arif gak mau memberitahu aku?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, Mas Arif malah tersenyum sambil mengacak-acak rambutku dan berjalan ke arah dapur. Membuat tak hanya rambutku yang berantakan, tetapi juga hatiku!

Ah! Dasar Mas Arif!

📃📃📃

Di pagi hari yang cerah ini, aku bangun lebih awal daripada Mas Arif. Namun, aku tetap kalah pagi dari Bu Surnani. Beliau bahkan sudah bangun sebelum ayam tetangga berkokok!

"Nak Lana, tolong bangunin Arif ya," kata Bu Surnani saat aku tengah menemani beliau di dapur untuk membuat kopi dan teh.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang