24. Aku Mencintaimu!

4K 896 163
                                    

"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!"

- Wiji Thukul

📃📃📃

Hal yang paling menjengkelkan saat tengah tertidur adalah saat di mana tiba-tiba saja keinginan untuk buang air kecil muncul. Ini masih jam tiga pagi dan aku mendapat panggilan alam yang harus dituntaskan. Aku mendudukkan tubuhku di atas kasur, mengucek mata sembari menguap. Keadaan masih sangat gelap karena matahari belum muncul. Oleh karena itu, aku berjalan dengan hati-hati sembari meraba-raba agar tidak menabrak.

Saat aku hendak membuka pintu dan keluar dari kamar, aku mendengar suara dua orang yang tengah mengobrol. Suara siapa lagi kalau bukan suara Mas Arif dan Bu Surnani? Aku pun reflek menatap ke arah tempat tidur, ternyata Bu Surnani tidak ada di sana. Ku urungkan niatku sesaat untuk menuntaskan panggilan alam karena obrolan antara Mas Arif dan Bu Surnani cukup menarik perhatianku.

"Rif, siapa yang bisa menjamin keadaanmu nanti?"

"Bu, Arif gak berjuang sendirian. Arif yakin perjuangan Arif dan teman-teman nanti akan membuahkan hasil. Ini untuk masa depan bangsa kita, Bu. Tolong izinkan Arif."

Setelahnya aku dapat mendengar suara Bu Surnani yang terisak. Sejujurnya aku tidak tahu apa yang tengah mereka bicarakan karena aku hanya mendengar sepenggal obrolan mereka. Namun, sepertinya Mas Arif baru saja meminta izin untuk melakukan sesuatu kepada Bu Surnani.

Keinginanku untuk buang air entah mengapa seketika menghilang, digantikan oleh rasa penasaran yang menyelimuti pikiranku. Sebenarnya Mas Arif mau melakukan apa sih?

Aku tak mungkin keluar dari kamar sekarang, aku takut mereka akan sadar bahwa aku sempat menguping pembicaraan mereka. Maka dari itu, aku putuskan untuk kembali merebahkan diriku dan berusaha untuk tidur. Namun, aku tetap saja tidak dapat melanjutkan tidurku. Pikiranku kini dipenuhi oleh berbagai tanda tanya.

Overthinking o'clock.

Pintu kamar dibuka, membuat secercah cahaya masuk ke dalam kamar yang gelap ini. Aku langsung memejamkan mata dan berpura-pura tertidur. Dapat aku rasakan kalau Bu Surnani baru saja membaringkan tubuhnya di sampingku. Isakan beliau terdengar walau samar di telingaku. Aku tak tega mendengar Bu Surnani terisak seperti itu. Sebenarnya ada apa sih dengan obrolan mereka tadi?

Waktu terus berjalan, sang mentari pun terbit dari ufuk timur. Aku berpura-pura menguletkan tubuhku sembari menguap, padahal sejak pukul tiga tadi aku tidak dapat tertidur. Bu Surnani terlelap di sebelahku, dari wajahnya aku dapat melihat bahwa beliau tengah memiliki beban pikiran yang cukup mengganggunya. Aku bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Mas Arif sudah bangun rupanya, ia bahkan terlihat rapi dan segar, mungkin Mas Arif sudah mandi lebih dulu.

"Kenapa Mas Arif bangun pagi banget?" tanyaku dengan tawa kecil seraya menghampirinya.

Mas Arif yang tengah duduk di meja pribadinya menoleh ke arahku. "Lana? Kamu sudah bangun?"

"Mas Arif ini ditanya kok malah balik bertanya, sih?" Aku membalas pertanyaannya.

Bukannya menjawab, Mas Arif malah memberikan senyum manisnya. Di atas mejanya terdapat banyak sekali berkas. Mas Arif mengambil salah satu berkas itu dan menunjukkannya kepadaku. "Aku mau menyiapkan ini, makanya aku bangun lebih awal."

Ah, berkas-berkas itu lagi. Aku memutar bola mataku malas, Mas Arif terkekeh melihatnya. Ia mengacak-acak rambutku dan menyuruhku untuk mandi, katanya ia mau mengajakku pergi nanti siang. Tentu saja setelah mendengar perintahnya, aku langsung berjalan menuju bilik mandi.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang