Pagi ini sebuah surat kembali aku terima, siapa lagi pengirimnya kalau bukan Mas Arif? Ia sudah menungguku di depan pintu kamar tadi pagi dan menyodorkan sebuah surat. Senyum mengembang di wajahku.
Akhirnya!
Aku duduk di halaman rumah sembari membuka surat itu. Tulisan Mas Arif sangat khas sekali, mungkin kalau ia hidup di masa depan, tulisannya akan diberi nilai sempurna oleh guru bahasa Indonesia-ku!
Tanja pada boelan, adakah jang lebih indah dari kamoe?
Tidak, hanja kamoe.Maaf Lana, akoe baroe bisa mengirimkan soerat oentoekmoe.
-Arif Soerata
Ah, padahal kata-kata yang ia tulis di surat ini cukup singkat, tetapi mampu membuatku salah tingkah! Aku menyimpan surat itu dan membawanya ke dalam pelukanku. Dari dalam rumah, aku bisa mendengar suara Bu Surnani yang memanggilku. Dengan segera aku berjalan menghampirinya.
"Ada apa, Bu?" ucapku sesampainya aku di hadapan beliau.
Rupanya Bu Surnani meminta bantuanku untuk membantunya memasak menu makanan hari ini. Aku tak keberatan dengan hal itu. Aku pun membantu beliau memasak makanan, dengan lihai aku menumis bumbu masakan dan mencincang beberapa bahan masakan. Hanya dalam waktu satu jam pun masakan kami sudah jadi!
Mas Arif keluar dari bilik mandi, indra penciumannya mengendus-endus harum masakan. "Wah, kayaknya enak banget nih makan siang kali ini."
"Iya dong, Rif. Masakan Lana loh ini," balas Bu Surnani seraya menunjukku.
"Eh? Kan Lana cuma bantu Ibu aja, yang masak kan Ibu," ucapku sambil menggaruk leher belakangku.
Putra sulung Bu Surnani itu langsung mendudukkan dirinya di bangku dekat meja makan. Ia sudah bersiap untuk menyantap masakan kami. Bu Surnani menyuruhku untuk segera mandi dan aku pun menurutinya. Tak sampai lima belas menit, aku pun kembali dengan keadaan yang lebih segar.
"Selamat makan!" kata Mas Arif. Ia langsung mengambil dua sendok nasi beserta lauk-pauk dan menaruhnya di piring. Porsi makan Mas Arif memang jauh lebih banyak dariku. Dengan lahap ia menikmati makan siangnya. Tanpa ku sadari, aku tersenyum melihat Mas Arif yang makan dengan begitu lahap.
"Lana, setelah ini apa kamu ada kegiatan?" Mas Arif bertanya setelah kami selesai makan. Kini, hanya ada aku dan Mas Arif di meja makan karena Bu Surnani tengah mandi.
"Gak tau, Mas. Mungkin aku mau tidur siang aja," jawabku dengan jujur. Toh, aku juga hari ini tak memiliki rencana apapun.
Mas Arif tersenyum. "Nanti mau ke bioskop?"
Aku menyipitkan mataku tak percaya, Mas Arif baru saja mengajakku pergi ke bioskop! "Bioskop tempat Kongres kemarin, Mas?"
Bukannya menjawab, Mas Arif malah tertawa. Ia bahkan sampai memukul-mukul meja karena tertawa terbahak-bahak. "Aduh, Lana. Tentu bukan. Aku mau mengajakmu nonton di bioskop."
"Di mana bioskopnya, Mas?"
"Kamu tau pertigaan dekat toko Koh Sicheng? Dari pertigaan itu, nanti kita belok kiri. Nah, di situ ada bioskop," paparnya.
Aku pun mengangguk paham. "Oh. Boleh deh, Mas. Sudah lama aku gak ke bioskop."
Sesuai dengan ajakannya, setelah Bu Surnani selesai mandi, kami pun langsung berpamitan pada beliau untuk pergi ke bioskop. Kami menaiki sado menuju bioskop. Selama di atas sado, Mas Arif memberitahuku tentang beberapa bangunan yang berjejer sepanjang jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]
Historical Fiction[Dream World] 15+ Jika semesta membawamu kembali untuk melihat sejarah perjuangan bangsamu, lantas perubahan apa yang akan kamu lakukan untuk negeri ini? "Masa depan bangsa ini ada di tanganmu, Lana." 25 Mei 2020 - 28 Oktober 2020