19. Apa Wetonmu?

3.6K 854 93
                                    

author's note:
double update karena aku lagi mau aja hehehe, enjooy! ><

📃📃📃

"Do you ever feel like a misfit?"

"Everything inside you is dark and twisted."

"Oh, but it's okay to be different."

"Cause baby, so am I."

Aku bersenandung sembari berjalan pagi di sekitar sawah yang ada di belakang rumah Bu Surnani. Lagu berjudul "So Am I" itu mengingatkan aku pada teman sebangkuku, Gerald. Ia sering sekali menyanyikan lagu itu di kelas, bahkan saat ia makan pun ia masih sempat-sempatnya menggumamkan lagu tersebut sembari mengunyah makanannya.

Tanah menjadi alasku untuk duduk, ditemani oleh matahari yang mulai berada di puncaknya, aku duduk di tepi sawah sembari mengingat-ingat apa yang sudah aku lalui beberapa waktu ini. Aku menyukai hidupku di tahun 1928, aku menyayangi orang-orang yang aku jumpai di sini. Tapi, aku harus jujur kalau aku juga merindukan kehidupanku di tahun 2020. Aku merindukan teman-temanku, aki rindu berjalan-jalan ke mall, aku rindu memainkan ponselku, aku rindu dengan aktivitas keseharianku di sekolah, dan yang paling utama adalah aku sangat merindukan kedua orangtuaku.

Ah, sampai kapan aku harus terjebak di tahun 1928?

Hidup adalah pilihan, begitu sekiranya ucap guru Kimia-ku yang sering kali berceramah di tengah jam pelajarannya. Dulu, aku tak paham dengan arti dari kalimatnya. Namun, kini aku sudah mengerti apa maksudnya. Memang benar kalau hidup adalah pilihan, dan sekarang aku sedang dihadapkan pada pilihan terbesar di hidupku.

Memilih kembali ke masa depan atau bertahan di tahun 1928.

Sejujurnya aku lebih ingin kembali ke masa depan daripada melanjutkan hidupku di sini. Aku ingin berpikir rasional, aku berasal dari abad 21, bukan dari abad 20. Tapi, di sisi lain aku tak rela jika harus meninggalkan orang-orang yang telah menemaniku selama beberapa bulan di sini, terutama Mas Arif.

"Di sini kamu rupanya, Lana. Ku kira kamu tengah main bersama Dodot," ucap Mas Arif yang tiba-tiba saja berada di sampingku. Ia ikut mendudukkan tubuhnya di atas tanah.

"Kan tadi aku sudah bilang kalau aku mau main di belakang rumah, Mas."

"Kapan bilangnya? Kok aku tidak ingat, Lan?" balas Mas Arif kebingungan.

"Tadi sebelum aku pergi ke sini kan aku sudah izin," terangku yang ikut kebingungan karena balasan Mas Arif.

Raut wajah Mas Arif terlihat kebingungan, ia menopang dagu dengan tangan kanannya. "Lana, kamu izin ke siapa? Ke aku atau ke ibu?"

Oh iya, aku lupa! Aku kan izin ke Bu Surnani, bukan ke Mas Arif! Pantas saja Mas Arif tidak tahu kalau aku bermain di belakang rumah. "Ah, aku izin ke Bu Surnani sih, Mas. Hehehe."

Mas Arif terkekeh pelan seraya menggelengkan kepalanya, kemudian ia berkata, "Aku mau pergi berkumpul dengan Jong Java, kamu mau ikut? Di tempat yang waktu itu."

Jong Java? Ah, ku kira setelah Kongres Kerapatan Pemuda selesai, Mas Arif sudah tidak ikut kumpul-kumpul lagi?

"Bagaimana? Mau ikut?" Ia mengulang ajakannya. Aku mengangguk, Mas Arif lalu bangkit dan menarikku untuk berdiri. Kami pun kembali ke rumah Bu Surnani dan bersiap untuk pergi. Tiap kali kami akan pergi berkumpul dengan Jong Java, aku harus memakai kebaya putih dan jarik. Sebenarnya aku tidak begitu nyaman menggunakannya karena ruang gerakku jadi terbatas. Tapi, tak apa lah.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang