Setelah Mas Arif selesai mandi, kami pun berpamitan dengan Bu Surnani, tak lupa Mas Arif membawa tas hitam yang tadi dibawa olehnya. Mas Arif bilang, sebelum kami pergi berkeliling kota, ia akan mengajakku pergi ke Stasiun Weltevreden. Aku belum pernah mendengar nama stasiun itu sebelumnya, namanya terdengar begitu asing untukku.
"Hoi, Arif! Hoe gaat her ermee? (Bagaimana kabarmu?)" tanya seorang laki-laki yang kami jumpai di jalan.
"Baik, bagaimana denganmu?" balas Mas Arif.
"Aku juga baik-baik saja. Siapa yang bersamamu itu, Arif?" Laki-laki itu tersenyum ke arahku, dan aku membalas senyumannya dengan canggung.
"Namanya Lana, dia temanku."
"Lana, ya? Namanya terdengar unik," kata laki-laki tersebut. Ia mendekat ke arahku, kemudian kembali menunjukkan senyumannya. "Aku Dadang, teman Arif. Jangan takut untuk berkenalan denganku, Lana."
Aku mengangguk pelan. Ku ulurkan tanganku, bermaksud untuk berkenalan dengannya. "Aku Lana. Senang bertemu denganmu, Dadang."
Dadang tidak melepas uluran tanganku, hal itu membuat Mas Arif berdeham. "Ehem, maaf Dadang, tapi aku dan Lana sedang terburu-buru."
"Mau ke mana, Rif?" tanya Dadang sembari melepaskan tangannya dari tanganku.
"Aku dan Lana mau pergi ke Stasiun Weltevreden." Mas Arif memperlihatkan tas hitam yang dibawanya. Dadang yang melihat keberadaan tas itu pun menganggukkan kepalanya paham.
Aku masih tak mengerti, sebenarnya ada apa dengan tas itu?
"Ayo, Lana. Kita harus tiba di stasiun sebelum pukul dua siang," ucap Mas Arif. Ia menepuk pundak Dadang sebelum kami pergi meninggalkan laki-laki itu. Tanganku digandeng oleh Mas Arif. Hal itu membuatku berdebar-debar.
Apa Mas Arif gak sadar kalau tanganku sedang digandeng olehnya?
Dengan perasaan yang tidak dapat aku jabarkan ini, aku mencoba untuk berhenti mengikuti langkahnya. Mas Arif terdiam dan berhenti melangkah saat ia menyadari bahwa aku tidak lagi mengikutinya. Alisnya bertautan, Mas Arif pun bertanya, "Ada apa, Lana? Kenapa kamu berhenti?"
"Ini ... tanganku mau digandeng sampai kapan?" kata ku gugup.
Mas Arif melirik tangannya yang masih menggandeng tanganku, kemudian ia tersenyum lebar. "Sampai kita pulang dari perjalanan panjang hari ini!"
Ia kembali melanjutkan langkahnya, dan aku juga kembali mengekorinya. Kami berjalan kurang lebih lima menit, hingga kami sampai di sebuah tempat pemberhentian kecil, mungkin aku akan menyebut tempat ini sebagai halte. Ya, halte model zaman dulu tentunya.
"Kita menunggu apa di sini?" tanyaku pada Mas Arif.
"Sado, kita tidak mungkin jalan kaki menuju stasiun karena itu akan sangat melelahkan. Aku sudah meminta temanku untuk menjemput kita," ucap Mas Arif seraya melemparkan pandangannya ke arah timur.
"Nah! Itu dia!" lanjut Mas Arif.
Ah, sado! Aku baru ingat kalau kemarin Ahmad sempat menyinggung kendaraan ini. Aku memperhatikan sado, benar-benar terlihat mirip seperti dokar! Mas Arif memintaku untuk naik ke atas sado terlebih dahulu. Sedikit kesulitan saat menaikinya, tetapi Mas Arif membantuku untuk naik. Kami sekarang tengah berada di atas sado yang dikemudikan oleh teman Mas Arif yang bernama Jumari.
Perjalanan kami dengan menggunakan sado memakan waktu setengah jam. Selama di perjalanan, aku hanya sibuk melihat-lihat pemandangan Kota Batavia. Bangunan di sini terlihat sangat bergaya Eropa. Tata bangunannya cukup berbeda dengan Jakarta di tahun 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]
Historical Fiction[Dream World] 15+ Jika semesta membawamu kembali untuk melihat sejarah perjuangan bangsamu, lantas perubahan apa yang akan kamu lakukan untuk negeri ini? "Masa depan bangsa ini ada di tanganmu, Lana." 25 Mei 2020 - 28 Oktober 2020