8. Keinginan Mas Arif

4.6K 979 66
                                    

"Nih, untuk kamu," ucap Mas Arif seraya memberikanku sebuah surat seperti kemarin.

Aku baru saja keluar dari kamar dan tiba-tiba Mas Arif sudah berdiri di ambang pintu kamar. Ia menatapku dengan sebuah senyuman di wajahnya yang reflek membuatku menunduk malu.

"Terima kasih, Mas," jawabku sambil menerima surat itu malu-malu. Mas Arif terkekeh melihatnya.

"Nanti ... jadi menemani aku ke makam bapak?" Mas Arif bertanya dengan ragu. Aku mengangguk, ku tengok jam yang ada di rumah ini, jam enam pagi rupanya.

"Jam delapan, mau?" ucapku yang dibalas dengan anggukan olehnya. Mas Arif memundurkan tubuhnya, memberikanku jalan untuk keluar kamar.

Bu Surnani sudah pergi ke pasar sepertinya karena saat ini hanya ada aku dan Mas Arif saja di rumah. Baru saja aku hendak membuka pintu rumah untuk duduk bersantai menikmati udara pagi di halaman rumah, tetapi tangan Mas Arif sudah lebih dahulu membukanya dan membuat tangan kami saling bersentuhan. Mas Arif terlihat kaget saat tanganku tak sengaja menyentuh tangannya.

"Astaga, maaf, Lana! Aku tidak sengaja!" seru Mas Arif yang tidak enak padaku.

Aku tertawa mendengar seruannya. Padahal tanganku yang menyentuh tangannya, tetapi malah ia yang meminta maaf. "Gak apa-apa, Mas Arif. Aku yang gak sengaja menyentuh kok."

Mas Arif menghela nafasnya, ia lalu berjalan keluar dan duduk di halaman rumah, aku pun mengikuti langkahnya. Keadaan Kota Batavia di pagi hari kini menjadi pemandangan favoritku. Udara yang segar dan belum tercemar banyak polusi udara membuatku bisa bebas menghirup udara pagi. Dari tempatku duduk saat ini, aku dapat melihat Ahmad yang tengah berjalan bersama dengan Ibunya. Di tangan Ahmad terdapat sebuah ember besar, sepertinya mereka hendak pergi ke sungai untuk mencuci pakaian mereka.

"Eh ada Mas Arif sama Lana. Apa kabar?" kata Ahmad saat ia berjalan melewati aku dan Mas Arif.

"Kabar kami baik, Dot. Kamu mau ke sungai, ya?" balas Mas Arif ramah.

Ahmad memberikan anggukan dan sebuah cengiran kepada kami, Nyak Siti yang berada di belakang Ahmad juga ikut menyapa kami. Setelah acara sapa-menyapa dadakan tadi, Ahmad dan Nyak Siti pergi melanjutkan perjalanan mereka menuju sungai. Ah, rasanya sudah lama aku tidak bertegur sapa dengan Ahmad.

"Lana, kamu mau sarapan apa?" Mas Arif bertanya padaku. Tumben sekali Mas Arif bertanya seperti itu, Mas Arif tidak pernah menanyakan hal itu sebelumnya karena Bu Surnani selalu menyiapkan sarapan untuk kami. "Ibu gak pulang seperti biasa, beliau baru akan pulang nanti sore. Ada keperluan dengan ibu-ibu yang lain katanya semalam."

Oh, pantas saja. Jadi, sampai sore nanti aku hanya berduaan saja dengan Mas Arif di rumah? Eh, tapi kalau nanti Mas Arif pergi keluar untuk berkumpul dengan para pejuang lainnya, itu berarti aku akan sendirian di rumah dong?

"Terserah Mas Arif, deh. Apapun itu akan aku makan," jawabku yang tidak tau mau makan apa. Sejujurnya aku belum lapar sama sekali. Perutku sepertinya masih menyimpan stock makan malam semalam.

Mas Arif memandangiku, wajahnya terlihat seperti tengah berpikir keras. Dahinya yang berkerut, bibirnya yang ia manyunkan, serta tangannya yang menempel di dagunya itu membuat ia terlihat lucu. "Mau makan ketupat sayur?"

Sekarang gantian dahiku yang berkerut. Sepertinya aku pernah mendengar nama makanan itu sebelumnya, tapi di mana?

"Mau gak? Kita makan ketupat sayur sebelum ke makam. Di jalan nanti kita akan melewati penjual ketupat sayur," sambung Mas Arif.

Karena aku penasaran dengan hidangan tersebut, aku pun mengiyakan ucapan Mas Arif. Kami tak mau berleha-leha terlalu lama, jadi aku masuk ke dalam rumah lebih dahulu untuk mandi, baru kemudian setelah aku selesai mandi, Mas Arif yang pergi mandi. Jam kini sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi, aku dan Mas Arif sudah rapih dan siap untuk pergi ke makam.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang