21. First Love

3.5K 793 88
                                    

Perempuan itu mencium Mas Arif tepat di depanku! Tubuhku seketika lemas, pipiku memerah panas. Bisa-bisanya perempuan itu mencium Mas Arif! Meskipun ia tak mencium Mas Arif tepat di bibirnya, tapi tetap saja aku tak suka melihatnya! Aku marah, sangat marah! Ku tatap mereka berdua bergantian dengan penuh emosi, perempuan itu seperti tengah tersenyum licik ke arahku, sedangkan Mas Arif hanya diam bagaikan patung.

Aku tak mau menangis di depan Mas Arif, maka aku putuskan untuk pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam kamar. Mengunci rapat-rapat kamar yang di dalamnya sudah ada Bu Surnani yang tengah terlelap. Aku menangis di balik pintu, menyembunyikan wajahku dengan kedua tangan. Sebisa mungkin aku menahan tangisanku agar tak bersuara, takut menganggu tidur Bu Surnani.

Hatiku sakit! Jadi, ini kejutan yang dimaksud Mas Arif?

Kalau aku tahu akan begini jadinya, lebih baik aku ikut Ahmad saja tadi! Sial, aku benci berada di situasi seperti ini. Kenapa Mas Arif begitu tega? Ia bahkan tak berniat untuk memberikan aku penjelasan, padahal aku sangat membutuhkannya sekarang ....

Di balik pintu, aku menangis sembari menunggu Mas Arif menjelaskan tentang hal ini. Namun, hingga jam menunjukkan pukul dua belas malam pun Mas Arif tak kunjung memberiku kejelasan apapun. Hal itu membuatku semakin kecewa. Apa yang ada di pikirannya sekarang? Mungkinkah Mas Arif berpikir bahwa semua perilaku manisnya hanya sebuah sandiwara sehingga ia tak merasa bersalah sedikitpun?

Lagi-lagi tangisku pecah. Tanganku bergerak menyentuh kalung pemberian Mas Arif yang menggantung indah di leherku. Ku genggam liontin kalung tersebut, bayang-bayang perlakuan manis Mas Arif kembali terputar di pikiranku.

Jika memang hanya bersandiwara, lantas mengapa kamu begitu yakin atas semua perlakuanmu?

📃📃📃

Aku terbangun saat matahari sudah meninggi, Bu Surnani yang sudah bangun lebih dahulu hanya menatapku dari tempat tidur. Beliau tersenyum ketika aku sadar bahwa beliau jadi tidak dapat keluar dari kamar ini karena aku tertidur di balik pintu.

"Nak Lana tak apa-apa?" tanya beliau seraya duduk di hadapanku. Aku menggeleng pelan sembari memijat kepalaku yang pusing dan berat akibat menangis hebat semalam.

"Arif pasti akan memberi kamu penjelasan. Yuk bangun dulu, kita sarapan bersama," lanjut beliau. Aku menurutinya dan berdiri. Ku tarik napasku dalam-dalam, meyakinkan diri bahwa semua akan berjalan baik-baik saja seperti sebelumnya.

Saat pintu dibuka, hal pertama yang ku lihat adalah perempuan tersebut tengah tertidur pulas di atas bangku milik Mas Arif. Sedangkan Mas Arif, aku tak tahu ia ada di mana sekarang karena tidak ada tanda-tanda kehadirannya di sini.

Bu Surnani berjalan ke dapur dan menyiapkan sarapan untuk kami. Namun, baru saja beliau hendak menyalakan kompor untuk memasak air, suara Mas Arif dari pintu rumah terdengar.

"Bu, Arif habis dari pasar, beli sarapan," ucapnya dari arah pintu. Ia tak langsung menghampiri kami di dapur, tetapi ia justru menghampiri perempuan yang masih tertidur pulas di bangkunya. Huh, aku jadi semakin kesal! Kenapa Mas Arif sangat perhatian sekali sih padanya?

Setelah menghampiri perempuan tersebut, Mas Arif menaruh beberapa barang yang dibeli olehnya tadi di atas meja. Ia menatap ke arahku, lalu menarik tanganku tanpa aba-aba. Aku menepisnya, dasar Mas Arif tak tahu diri! Seenaknya ia menyentuh tanganku setelah membuatku menangis semalam!

"Lana ... kita bicara di luar dulu, ya?" kata Mas Arif dengan tatapan memohon.

Sesungguhnya aku membutuhkan penjelasan darinya, tapi entah mengapa aku enggan untuk mengiyakan perkataannya. Mas Arif mendekatiku, ia lalu menggenggam tanganku dan berkata, "Lana, ada yang harus aku jelaskan kepada kamu. Aku gak mau ini menjadi kesalahpahaman seperti waktu itu."

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang