25. Kekhawatiran di Kala Senja

3.6K 861 157
                                    

"Lana! Ada hal yang belum sempat aku ucapkan, aku mencintaimu!" teriak Mas Arif dari kejauhan. Aku mengulum senyum mendengarnya, Mas Arif benar-benar berhasil membuatku semakin jatuh padanya.

Bu Surnani menggelengkan kepalanya setelah mendengar teriakan Mas Arif, beliau lalu masuk ke kamar, sementara aku memilih untuk duduk di ruang tengah sembari memikirkan cara untuk kembali ke masa depan. Di saat aku tengah berpikir, suara panggilan dari Bu Surnani membuyarkan pikiranku. Aku pun langsung menghampiri beliau di kamar.

"Ada apa, Bu?" ucapku seraya mendudukkan tubuhku di sebelahnya.

Beliau menaruh tangannya di pundakku, kemudian bertanya, "Nak Lana, sudah rindu rumah?"

Aku bergeming, kenapa Bu Surnani tiba-tiba bertanya seperti itu? Sudah terlalu sering aku menemukan kejanggalan, rasa penasaranku kini kembali menyeruak. "Iya, Bu. Lana rindu rumah."

"Bu ... apa Lana boleh bertanya?" lanjutku dengan sedikit ragu.

Belum sempat aku mengajukan pertanyaan, Bu Surnani justru berkata, "Ibu sudah tahu apa yang mau kamu tanyakan, Nak."

Lagi-lagi aku kembali kebingungan, bagaimana bisa Bu Surnani mengetahuinya? Padahal aku belum mengajukan pertanyaannya. "Ibu tahu dari mana?"

"Pikiranmu, Nak Lana. Ibu tahu isi pikiranmu."

Kata-kata itu berhasil membuatku terkejut bukan main. Jadi, selama ini Bu Surnani bisa membaca pikiran? Pantas saja saat awal pertemuan kami dahulu, beliau sempat mengatakan hal yang membuatku terdiam. Kalau memang Bu Surnani benar-benar bisa membaca pikiran, itu artinya Bu Surnani tahu kalau semalam aku menguping pembicaraannya dengan Mas Arif?

Dari tempatnya duduk, beliau melanjutkan kalimatnya. "Iya, Ibu tahu, Nak. Bahkan asal-usulmu pun Ibu tahu."

Sial! Aku merinding sekarang! Bu Surnani tahu bahwa aku berasal dari masa depan dan hal tersebut membuatku merasa dibodohi oleh kenyataan. Bu Surnani tidak melanjutkan ucapannya, beliau hanya tersenyum.

"Bu, jadi Ibu sudah tahu kalau Lana dari masa depan?" tanyaku memastikan.

"Nak Lana, sejak awal kamu datang, Ibu sudah tahu," jawab beliau, "kejadian seperti ini tak hanya terjadi satu kali, Nak."

Aku membulatkan mataku ketika mendengarnya. Apa Bu Surnani tengah bercanda? Kenapa beliau terlihat sangat santai saat mengatakannya? Sejujurnya aku tak mengerti kenapa Bu Surnani memilih untuk diam selama ini, padahal beliau tahu bahwa aku tidak berasal dari dimensi waktu yang sama dengan mereka.

"Jangan terlalu dipikirkan, lebih baik kita tidur, Nak," ujar beliau setelah menguap. Kebetulan mataku juga mulai terasa berat. Aku pun mengangguk, kemudian membaringkan tubuhku di atas tempat tidur. Dengan keadaan mata terpejam, aku berusaha untuk tidur. Namun, pikiranku benar-benar diisi oleh banyak hal. Mulai dari rasa khawatirku terhadap Mas Arif hingga ucapan Bu Surnani yang membuatku terkejut bukan main.

Ah, semakin aku pikirkan, semakin pusing rasanya!

📃📃📃

Matahari hari ini bersinar sangat terik, saking teriknya aku bahkan jadi malas untuk keluar rumah. Pagi ini aku awali dengan membantu Bu Surnani merapikan rumah dan mencuci pakaian di sungai. Sekarang, aku tengah duduk di ruang tengah sembari menikmati teh yang baru saja diseduh oleh Bu Surnani. Rasa teh ini cenderung tawar, tak manis seperti teh yang biasa aku minum ketika di masa depan. Lagi-lagi aku kembali memikirkan bagaimana caranya agar aku dapat kembali ke masa depan. Aku tidak bisa terjebak selamanya di masa lalu.

Di saat tengah memikirkan berbagai cara untuk kembali ke masa depan, aku teringat dengan surat yang diberikan oleh Mas Arif semalam. Aku pun menaruh teh di atas meja dan bangkit untuk menuju kamar, mengambil sepucuk surat dari pemilik hatiku. Setelah surat itu berada dalam genggamanku, aku kembali duduk di ruang tengah dan membukanya perlahan, membaca untaian kata yang disusun Mas Arif.

Amarah dan egokoe diredam olehmoe
Kehadiranmoe memboeatkoe sadar
Doenia tak hanja oentoek pengoeasa
Tetapi djoega oentoek mereka jang maoe berdjoeang

Wahai engkaoe jang datang dari kemadjoean
Tolong beri tahoe akoe tentang kebebasan
Adjari akoe tjara menikmatinja
Bimbing akoe menoedjoe keabadian bersamamoe

Bila soeatoe hari nanti mimpikoe mendjadi njata
Kamoelah jang akan akoe pilih
Temani akoe hingga menoea
Bahkan waktoe tak akan mengalahkan cintakoe oentoekmoe

Doakan akoe, Jang Tertjinta.

-Arif Soerata

Ada sedikit sesak di dadaku saat membaca isi suratnya. Ternyata Mas Arif bersungguh-sungguh atas ucapannya kemarin. Aku jadi merasa bimbang karena tak dapat memberinya kepastian tentang hari esok. Toh, kami berasal dari waktu yang berbeda. Bukankah sangat tidak mungkin bagi kami untuk dapat bersatu?

Aku menghela napas berat dan menyimpan kembali surat tersebut. Pikiranku kembali diserang oleh berbagai macam permasalahan yang membuat kepalaku rasanya ingin pecah. Untuk mengalihkan pikiran, aku pun memilih untuk menyapu halaman rumah dengan sapu lidi. Sejak kecil aku memang terbiasa mengalihkan pikiranku dengan cara membersihkan rumah. Kebetulan pagi tadi bagian dalam rumah sudah dibersihkan. Oleh karena itu, aku memilih untuk membersihkan halaman rumah saja.

Sembari menyapu halaman, aku bersenandung ria dalam hati. Menyanyikan salah satu lagu yang lagi-lagi menjadi lagu yang sering dinyanyikan Gerald saat di kelas, yaitu "Sunset di Tanah Anarki".

Dalam gelisah kumenunggu
Berita tentang gerilyamu
Semerbak rindu kuasai
Udara panas ini ...

Sepucuk surat telah tiba
Dan senja pun ikut berdebar
Kalimat indah dan kisahmu
Tentang perang dan cinta ...

Andaiku malaikat, kupotong sayapku
Dan rasakan perih di dunia bersamamu
Perang akan berakhir, cinta akan abadi
Di Tanah Anarki romansa terjadi ....

Entah mengapa aku merasa kalau lirik lagu ini seolah tengah menggambarkan keadaanku sekarang. Menunggu Mas Arif yang tengah berjuang dengan teman-temannya dan memberontak kepada para penguasa yang memilih untuk mengabdi kepada pemerintah Hindia Belanda daripada memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.

Langit yang perlahan berubah menjadi jingga menjadi saksi atas kekhawatiranku terhadap Mas Arif. Perasaanku benar-benar tidak enak, tapi aku berusaha untuk menepisnya. Selesai menyapu halaman, aku pun masuk ke dalam rumah dan memilih untuk mandi, menyegarkan pikiran agar tak melulu memikirkan hal-hal buruk yang terus berputar di kepalaku.

Bahkan hingga malam menyapa pun Mas Arif tak kunjung pulang. Bu Surnani sudah terlelap lebih dahulu, sedangkan aku masih terjaga di ruang tengah, ditemani oleh beberapa nyamuk yang sedari tadi terbang di depan wajahku. Jam yang menempel di dinding kini menunjukkan pukul satu dini hari. Mataku pun mulai menutup tanpa aku sadari. Di saat aku sudah mulai memasuki alam mimpi, suara ketukan pintu yang cukup keras terdengar. Buru-buru aku bangun dan membukakan pintu.

Pemandangan pertama yang kulihat bukanlah Mas Arif, melainkan Salim dan seorang pejuang lainnya. Dengan kaki yang berlumuran darah dan pakaian yang robek di bagian bahu, Salim menyampaikan suatu pesan yang membuat tubuhku lemas seketika.

"Lan ... Arif, Lan! Arif ditangkap!"

📃📃📃

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang