6. Bukan Urusanmu, Kata Asa

157 64 2
                                    

      Selesai upacara waktu itu aku melemparkan pandangan ke barisan anak kelas duabelas IPA. Barisan belum dibubarkan karena di depan sana masih ada yang bicara. Sayup-sayup aku dengar sedang bicara tentang tata tertib. Enggak terlalu aku perhatikan sebab aku lagi nyari orang sambil nahan sakit diperutku. 

"Jane, ayo!"

Sampai aku enggak sadar ternyata sudah dibubarkan. Aku nahan tangan Kana sama Gina buat berhenti jalan. 

"Na, ke cowok lo coba. Tanyain Asa, gue ada perlu," kata aku ke Kana. 

"Siapa?"

"Juna maksudnya," jawab Gina mewakili aku atas pertanyaan Kana. 

      Akhirnya Kana jalan sambil bawa aku ke barisan anak IPA yang baru bubar. Sedangkan Gina aku tarik juga jadinya. Malu sih, tapi udah nyampur juga anak-anak di lapangan, jadi ya sudah. 

"Mark!"

"Ah, iya yang?" Mark langsung senyum pas lihat Kana. Abis itu aku enggak mau perhatiin lagi, aku nyari Asa. Daritadi aku cari di barisan juga enggak lihat.

"Juna? Enggak masuk sekolah dia," Aku langsung noleh waktu dengar suara Mark. 


***


"Temenin ih," rengekku. Sukses membuat dua gadis berambut hitam itu mendelik. 

"Stress nih anak," kata Gina sambil geleng-geleng kepala. 

"Kalo kita bertiga disini, siapa yang bakal izinin lo, Jane? Lagian pelajaran Pak Cahyo nih! Lo tahu sendiri gimana," ujar Kana yang aku dengar seperti berusaha lemah lembut.

"Lo tinggal tidur aja disini. Miss Ayu lagi bikinin lo teh hangat dan bakal dikompresin juga perut lo." Sekarang, Gina yang berujar. 

      Jadi, di jam pelajaran kedua hari itu aku udah enggak bisa nahan rasa sakit di perutku yang sebenarnya sudah aku rasa sejak berangkat sekolah. Aku sampai keluar keringat dingin saking merasa perutku berasa diremat-remat.  Kemudian kata teman-teman kelas juga aku sudah kelihatan pucat. Tadinya aku ditawari untuk pulang saja, tapi aku enggak mau. Akhirnya aku disuruh Romeo, si ketua kelas buat ke UKS.

"Kita ke kelas dulu, nanti keburu Pak Cahyo datang. Kalo ada apa-apa telepon," kata Gina lagi. Aku mengangguk menurut dan akhirnya, Kana dan Gina beranjak pergi. 

"Anindhita?"

Aku baru aja menaikkan kaki ke atas ranjang, kemudian ada yang buka tirai putih dan masuk aku jadi urung.

"Enggak apa-apa, tiduran aja. Miss kompresin perutnya," kata Miss Ayu, penanggungjawab UKS di sekolahku. 

"Miss, saya ngompres sendiri aja, enggak apa-apa. Miss Ayu—"

"Eh, mana bisa gitu?"

"Miss, malu kalo dikompresin ih," lanjutku. Miss Ayu ketawa. Bingung, emangnya lucu gitu? 

"Ya udah. Kalo ada apa-apa mah, panggil aja yah?"

"Siap!"

Akhirnya Miss Ayu yang sesuai namanya, cantik banget itu meninggalkan nampan berisi baskom kecil berisi air, handuk kecil, dan segelas teh diatas meja tepat di sebelah kanan ranjang. 

      Aku ingat betul kala itu selesainya aku ngompres perut setelah merasa lebih baik, aku sudah ambil posisi tidur bersiap ingin menyelami alam mimpi. Tapi aku dengar ada suara pergerakan seperti suara decitan brankar yang aku yakin asalnya dari sebelah yang dipisahkan oleh tirai putih.

Karena penasaran, aku jadi bangun kemudian duduk di pinggir brankar. Setelah aku buka sedikit tirainya,

"Asa?"

      Posisi laki-laki itu duduk juga menghadap kearah brankarku, jadi kita duduk berhadapan lurus dengan jarak sekitar tiga meter. Aku merasa, setelah tahu Asa, hidupku jadi penuh kejutan tiba-tiba. Seperti yang satu ini, dimana Mark bilang dia enggak masuk sekolah, tapi ternyata aku malah bertemu dia di UKS dengan wajahnya yang terdapat lebam. 

"Lo kenapa?" tanyaku setelah yakin bahwa di rahang kanannya terdapat lebam dan disudut bibirnya terdapat luka sobek sedikit sudah diobati. 

"Bolos kelas?" Malah balik nanya! 

"Lo abis berantem?"

"Enggak."

"Kata Mark lo enggak masuk sekolah."

"Enggak masuk kelas," sahutnya meralat. Aku berdecak pelan. 

"Kamu nyari saya?" tanya Asa yang entah kenapa langsung membuaku merasa malu. Padahal 'kan aku nyari dia juga karena ada perlu! 

"Mau ambil dompet gue," jawabku. Setelahnya dia enggak menyahuti apa-apa lagi melainkan beranjak, kemudian mengambil tasnya di meja dekat brankarnya.

"Ini." Tangannya terulur memberikan dompet kecil berwarna biru muda milikku yang langsung saja aku terima. 

"Enggak pernah saya buka buka."

Aku mengangguk dua kali. "Percaya."

"Kalo enggak berantem, kenapa?" tanyaku lagi. Laki-laki itu menggeleng. 

"Bukan apa-apa. Bukan urusanmu juga. Jadi, bisa berhenti tanya?"

Aku kesal enggak? Ya enggak lah, waktu itu ucapan dia benar kok.

"Bisa. Tapi buat informasi aja, gue nanya bukan cuman mau tahu," sahutku. Asa tidak menyahuti apa-apa lagi, hanya menatapku lurus.

"Luka lo jangan sampai ditutupin pakai apa-apa, biar cepat kering," lanjutku kemudian menutup tirai dan merebahkan diri.



***********************************

📝 :

paham nggak, jadi inituh sebenarnya kayak menceritakan ulang. dari prolog ini aku udah selalu nulis "waktu itu" "hari itu" jadi jatuhnya jane ini seperti menulis diary dan flashback saja. kalau dilihat dari deskripsi cerita sebelum kalian sampai ke dalam ceritapun sudah dituliskan "ditulis untuk laki-laki bernama arjuna asa baskara karena aku senang walau ia hanya bertandang" gitu. kalau nggak paham dipaham pahami aja ya, HAHAHAHA.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sorai [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang