"Maafin gue udah nuduh lo sampai diri gue benci. Walaupun ada sedikit perasaan gue yang bilang harusnya gue enggak boleh gini, gue tetep egois. Maafin gue, Kal."
"Gapapa, Jane. Salah gue juga enggak mau usaha lebih keras. Enggak masalah, yang terpenting sekarang lo tahu, gue bukan kayak apa yang lo pikirin."
"Iya, Kal."
"Kalo lo mau tahu, gue masih sayang sama lo, Jane. Dari dulu enggak pernah berubah."
"Haikal—"
"Gapapa kalo kita enggak bisa kayak dulu lagi, walaupun gue ngarep dikit hahaha. Lo 'kan udah sama Juna."
Percakapan yang seperti kaset rusak, berputar terus menerus diotakku. Hingga akhirnya menjadi sebuah cerita yang kuceritakan kembali kepada dua temanku waktu itu.
"Terus respon lo gimana?" tanya Gina setelah aku bercerita.
"Ya enggak gimana-gimana. Kana kan waktu itu nelpon, terus ya udah gue pamit gitu aja."
"Menurut gue semuanya tentang lo sama Haikal itu udah selesai. Cuma satu yang belum, yaitu perasaan dia ke lo," ujar Kana menanggapi kemudian tangannya terulur, mengambil sepotong pizza dan memakannya.
"Ah, rudet!" keluhku.
"Eh siapa tuh?" tanya Gina tapi matanya ke arah sebrang. Aku jadi mengikuti arah pandangan gadis itu yang aku yakin adalah ke Miniso yang ada di depan restoran ini.
"Siapa?" tanya Kana yang aku lihat juga lagi nyari objek yang dimaksud Gina.
"Itu cowok yang pakai hoodie putih!"
"Oh!"
Aku merasakan tatapan Kana dan Gina mengarah kepadaku waktu itu. Ah, pura-pura enggak ngerti aja. Jadi, aku malah senderan ke kursi, terus makan pizza nya santai.
"Na, denger suara patah? Tapi bukan ranting," celetuk Gina. Aku masih diam.
"Ah, bukan suara patah, Na. Ini suara gluduk kayaknya. Mau hujan, mereun?" balas Kana.
Aku jadi ketawa. Mengerti niat mereka berdua mau ngomporin aku, tapi sayangnya enggak kena!
"He, sinting lo?" tanya Kana ke aku. Gina juga ngeliatin aku heran. Sama mungkin, penyebabnya gara-gara tawaku yang tiba-tiba pecah.
"Bukan siapa-siapanya Asa. Itu kakaknya."
Jadi, cowok hoodie putih di sebrang yang dimaksud Gina itu Asa. Sedangkan kenapa mereka ngomporin aku itu gara-gara Asa di sana sama perempuan. Aku tahu perempuan bersurai panjang kecoklatan yang digerai bebas itu adalah Teh Cece—yang dipanggil Teteh Ceng sama Asa, kakak perempuannya yang punya toko buku di dekat rumahku.
"Pantes anying! Padahal gue udah siap api," kata Gina. Aku tertawa lagi.
"Udah sampe kenal kakaknya lo, Jane?" tanya Kana. Aku mengangguk.
"Mamanya juga udah."
"BUSET? Sejauh itu?" tanya Gina kaget.
"Enggak sengaja itu tahunya," elakku cepat.
Ah, aku lupa. Bahkan aku sudah pernah bertemu Papinya juga. Sama tidak sengajanya.
"Eh, tapi lo sama Asa tuh udah sampe mana sih? Maksud gue, kalo PDKT-an tuh berarti udah sampe mana? Telponan tiap malem? Atau chat tiap hari? Disamperin ke rumah bawa makanan? Atau nyempetin jalan berdua?" pertanyaan bertubi-tubi dari Gina membuatku hampir tersedak.
KENAPA PERTANYAANNYA GITU???
"HE NGACO MANA ADA PDKT????"
Gina dan Kana terlompat kecil dengan ekspresi mereka yang kaget banget. Aku sadar, buru-buru tengok kanan kiri dan lihat beberapa pelanggan yang duduk di meja sekitar kami menoleh. Aku menunduk sambil tersenyum tak enak, meminta maaf.
"Pelan pelan anjir ini bukan restoran punya bapak moyang lo!" omel Kana. Aku meringis pelan.
"Lagian pertanyaan Gina tuh!"
"Lo kayak gini bikin gue makin yakin tau enggak?"
Aku mengernyit, menatap bingung Gina, "apa?" kutanya.
"Fix. Lo beneran suka Juna."
***
Setiap harinya aku cuma jalanin semuanya kayak biasa. Senin sampai Jumat bangun pagi buat ke sekolah, akhir pekan waktunya bangun siang, kemudian main sama Gina dan Kana, pergi sama Ayah atau Aru, dan yang baru-baru ini kayak muncul karakter baru ... Asa.
Waktu itu aku mikir, dia ini asalnya dari mana? Masa iya aku enggak pernah lihat di sekolah? Terus akhirnya tiba-tiba malah jadi temenan. Kalau dipikir-pikir, rentetan kejadian di antara aku dan Asa itu kayak kejutan. Selalu kebetulan yang enggak pernah aku duga. Sayangnya, aku jadi terbiasa dengan kejutan-kejutan itu.
Kalau enggak ada dia, rasanya kembali ke awal. Biasa saja. Datar.
Gina sama Kana udah pulang duluan setelah bel sedangkan aku menetap di sekolah sampai sore karena ada ujian susulan. Aku berhenti di depan lobi sekolah. Hujan lebat dan aku malah enggak bawa payung. Jalan dari sini sampai halte depan walaupun aku lari bakalan tetap basah kuyup. Sedangkan besok seragam ini di pakai lagi.
"Di jemput?"
Aku tersentak pelan, lantas menoleh pada sumber suara. Ada Asa yang sudah berdiri di sebelahku.
"Enggak. Mau ke halte," jawabku. Kemudian aku lihat Asa buka payungnya. Aku kira dia mau langsung pergi, tapi dia natap aku.
"Ayo bareng. Saya juga mau ke depan."
Hujan kedua bersama Asa dan aku akhirnya benar-benar sadar.
Iya, aku menyukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorai [✓]
Teen FictionTentang segala yang gagu Kamu yang kaku dan rasa yang semu Karena kamu Aku tetap bersorai, walau segalanya berakhir pilu. Ditulis untuk laki-laki yang bernama Arjuna Asa Baskara. Sebab aku merasa senang, walau ia hanya bertandang.