"Aru, Teteh pergi dulu."
Aru yang waktu itu lagi main PS sama teman-temannya jadi menoleh. "Mau kemana?"
"Ngembaliin hoodie temen," sahutku sambil menunjukkan paper bag berisikan hoodie yang sudah aku cuci, setrika, dan kulipat rapih.
"Jangan kemaleman. Nanti Aru yang diomelin Ayah."
Aku terkekeh pelan kemudian mengangguk mengiyakan. Lantas ke luar dari rumah. Tepat saat aku membuka pagar, ojek online yang kupesan datang.
"Kang, ke Night Cafè tolong nyari jalan yang cepet, ya?" pintaku ke laki-laki muda yang akan mengantarku malam ini.
"Bisa, Teh lewat jalan tikus. Atuh Bandung mah malem Sabtu gini jalan biasa pasti macet."
"Iya, gapapa."
***
Aku menatap pemandangan di depanku. Dari atas, kendaraan terlihat sangat kecil dan padat, jadi seperti kunang-kunang karena lampu kendaraan saja yang terlihat jelas. Gedung-gedung yang lebih tinggi dari bangunan lantai tiga kafe ini juga terlihat cantik. Ditambah semilir angin yang membuat helaian anak rambut di sekitar wajahku seperti menari.
Aku sangat suka suasananya.
"Jane?"
Aku menoleh. Langsung tersenyum saat melihat Asa ikut memposisikan diri di sebelahku.
"Udah daritadi?" tanyanya. Aku menggeleng.
"Baru aja dateng, kok."
Waktu itu Asa memakai kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana jeansnya.
Ganteng.
"Oh iya, nih. Makasih," kataku sambil menyodorkan paper bag berisikan hoodie hitamnya.
Waktu hujan pulang sekolah, yang Asa bareng sama aku dari depan lobi sampai halte pakai satu payung, aku dipinjami hoodie nya. Biasanya aku selalu pakai cardigan atau hoodie kalau sekolah terus terbiasa bawa payung lipat juga, tapi hari itu seolah bukan aku. Enggak bawa payung, enggak pakai cardigan, bahkan almet aja aku enggak bawa karena pas berangkat sumpah, panas banget. Siapa yang tahu kalau pulang malah hujan deras?
Sedangkan Asa bawa almameter, jadi ia meminjamkanku hoodienya. Aku bilang juga apa, segala tentang Asa itu kayak kebetulan. Enggak sekali dua kali, setiap sama Asa rasanya seperti itu. Tapi anehnya aku suka. Senang sama hal-hal sederhana kayak gitu.
"Ini di laundry?" tanya Asa. Aku terkekeh pelan, menggeleng.
"Enggak lah. Tadinya enggak mau gue cuci malah," candaku. Asa tertawa kecil.
"Itu namanya magadir!"
Aku ikut tertawa.
"Asa!"
"Hn?" Dia menatapku.
Lagi-lagi, netra itu.
Aku benar-benar menyukai mata Asa. Irisnya legam, bening seolah ada telaga di sana. Diikuti dengan detak jantungku yang mulai berdetak tidak beraturan, rasa geli di perutku juga.
Rasanya benar-benar mau gila.
"Apa?" Pertanyaannya membuatku menerjap pelan, tersadar.
"Apanya yang apa?" tanyaku balik. Asa tertawa.
"Tadi kamu manggil saya."
"Eung ... apa ya? G-gue lupa mau ngomong apa," sahutku cepat sambil melempar pandang ke depan.
BENERAN TADINYA TUH AKU MAU MANGGIL ASA KARENA MAU NGOMONG SESUATU TAPI PAS LIHAT MATANYA JADI BUYAR!
"Mau di sini aja? Enggak mau duduk, minum atau makan, gitu?" tanya Asa memecah keheningan setelah sekitar lebih dari satu menit aku enggak bersuara lagi.
"Di sini dulu, deh. Suka suasananya," sahutku.
"Ya udah."
"Oh iya, Sa," panggilku sambil menoleh. Aku sudah ingat mau nanya apa.
"Lo ... sama bokap lo gimana?" tanyaku hati-hati.
Asa diam. Hanya membalas tatapanku.
"Anu ... kalo lo enggak mau jawab gapapa kok! Gue cuma—"
"Saya udah enggak tinggal sama dia," sahutnya sambil melempar pandang ke depan. Aku mengernyit bingung.
"Terus? Tinggal sama Teh Cece?" kutanya. Ia menggeleng lagi.
"Saya tinggal sendiri. Masih di dekat sekolah, tapi kost. Bareng Dery."
Aku tertegun sebentar. Bingung ingin bereaksi apa.
"Saya enggak bisa bikin khawatir, kalau saya tinggal bareng Teteh dan pergi dari rumah. Di satu sisi juga saya enggak mau lagi tinggal di tempat itu yang bahkan enggak bisa saya sebut rumah," ujarnya panjang. Aku menahan nafas.
Asa hanya anak SMA dan bungsu di keluarga. Tapi ia sudah mengalami semua ini.
"Asa, bukannya lebih baik lo jujur sama Teteh atau Nyokap lo?" tanyaku. Asa enggak jawab.
"Bukannya buat bikin mereka khawatir, seengaknya lo jujur. Kalau lo diem kayak gini terus, nanti pas mereka tahu sendiri mereka bakal lebih sedih. Mereka merasa bersalah, nyalahin diri mereka sendiri. Apalagi nyokap lo," lanjutku. Entah kenapa, dadaku merasa benar-benar sesak. Tenggorokanku seolah kering.
Aku ingat Aru. Entah kenapa aku mikir kalau aku jadi Teh Ceng, kemudian adikku ternyata merasakan ini semua. Siapa yang enggak sakit?
"Asa, lo punya Mama, Teteh, temen-temen lo, atau gue. Jangan nyimpen semua sendiri dan nyakitin diri sendiri. Lo juga pasti capek 'kan?" tanyaku. Asa masih diam, tidak menatapku.
"Walaupun enggak ngebantu, seengaknya bisa jujur dan angkat sedikit beban yang ada di bahu lo. Cukup satu orang. Bersandar dan jujur sama diri lo sendiri apa yang lo rasain ke seseorang. Hal itu enggak bikin lo kelihatan lemah sama sekali, karena justru mungkin itu yang lo butuhin."
Hening setelahnya.
Asa hanya menatap ke depan, sedangkan aku menatapnya.
Asa terlalu berharga untuk merasakan perasaan sesakit itu.
"Bener. Saya pernah sekali rasain itu," katanya. Giliran aku yang enggak bisa menyahuti perkataannya.
"Inget yang waktu kamu lihat saya di gang?" tanyanya sambil menoleh.
Aku tidak mungkin lupa. Bagaimana aku mendengar percakapan bersama papinya dan akhirnya aku tahu penyebab beberapa kali lihat Asa babak belur.
"Waktu kamu tahu saya selalu dipukul, itu sama sekali enggak bikin saya takut. Justru saya ngerasa lega."
Aku tertegun.
"Jane, kalau saya boleh jujur, saya bersyukur ketemu kamu," lanjutannya lagi-lagi membuat lidahku seolah kelu. Aku kayak beku.
"Saya udah ngelakuin hal itu. Saya cuma jujur sama kamu, Jane."
"Asa, kalau gitu janji," kataku sambil menatap netranya tepat.
"Janji kalau lo harus selalu jujur, buat diri lo sendiri."
******************************
📝 :
hey, chapter depan sudah ending. memang dari awal udah bilang kalau cerita ini cuman kayak cerita pendek dimana aku enggak mau memberatkan cerita ini. aku harap kalian tetap bisa menikmatinya hehe <3
dan jangan lupa kalau kalian menikmati ceritaku, support yaaaa! hihi love you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorai [✓]
Fiksi RemajaTentang segala yang gagu Kamu yang kaku dan rasa yang semu Karena kamu Aku tetap bersorai, walau segalanya berakhir pilu. Ditulis untuk laki-laki yang bernama Arjuna Asa Baskara. Sebab aku merasa senang, walau ia hanya bertandang.